Bila digambarkan, seperti apa wajah dunia sekarang? bagaimana di masa depan?
Pertemuan dengan lima ribu pemikir sosial dari sekitar 126 negara selama seminggu kemarin, memberikan berjuta rasa, ada senang, bersemangat, tapi lebih banyak sedih dan gundahnya. Mengapa? Karena lewat pemikiran-pemikiran dan penelitian-penelitian mereka kita bisa mengetahui potret dunia saat ini dan di masa datang, masa dimana anak-cucu kita akan tumbuh dan berkembang, masa dimana kita menaruh harapan.
Berulang kali dalam sesi panel, para nara sumber menekankan bahwa dunia ini sedang krisis dan penuh bencana, dengan fenomena perpindahan manusia besar-besaran dari Timur Tengah ke Eropa karena bencana alam, perang, teror dan masalah politik lainnya, perubahan iklim yang drastis yang mempengaruhi semua sendi kehidupan manusia, dan masalah pelik lainnya. Brexit juga sempat disebutkan dan dibahas dalam satu sesi tersendiri dalam pertemuan akbar pemikir sosial tersebut. Kata Rudolf Richter, ketua panitia forum tersebut, "dengan fluktuasi persoalan sosial dewasa ini, menjelang pertemuan ini kami sudah mengganti dan menyesuaikan topik plenary beberapa kali," dengan mencontohkan masalah Brexit yang ia bilang cukup tidak terduga.Â
Apakah ini memang wajah dunia saat ini? Apakah penyebab semua ini? Dalam speechnya, Michael Buroway, profesor dari University of California, Berkeley berteori bahwa, "dunia ini rusak dengan sendirinya, namun lebih cepat rusaknya dengan bantuan kapitalisme." Sementara itu, presiden asosiasi menyebutkan, "dengan banyaknya hal-hal yang terjadi di dunia ini termasuk banyaknya phobia, seperti islamophobia, xenophobia dan sebagianya, maka kita harus bergerak bersama untuk mewujudkan masa depan yang kita inginkan." Apakah itu masa depan yang 'kita' inginkan? Siapa 'kita' ataukah 'kami'? Apakah memang 'kita' aku dan kamu, atau 'aku' dianggap sama inginnya dengan 'kamu'?Â
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini ada dalam setiap sesi kecil yang mengikuti plenary-plenary besar (audiens ribuan orang). Dalam sesi-sesi kecil (audiens puluhan hingga ratusan orang) ribuan peneliti, profesor, mahasiswa memaparkan update studinya, audiens memberikan pendapatnya, diskusi dan sebagainya. Begitulah bagaimana acara ini diarrange. Dengan judul besar, "The Futures We Want" presentasi-presentasi di sesi-sesi kecil berusaha menjawab dan memaparkan hal tersebut.Â
Contohnya dalam penelitian mengenai human agency yang mendasari LGBT, juga tentang anak-anak, yang saat ini dibahas lebih dalam dan eksplisit dari biasanya, yaitu tentang children agency. Contoh konkrit adalah ungendering anak-anak. Intinya, menurut para peneliti dari berbagai negara di Eropa dan Amerika, anak-anak dari kecil harusnya merdeka dari gender. Sejak dari anak-anak harusnya orang tua, masyarakat dan media tidak melabeli mereka dengan gender laki-laki atau perempuan, mereka bisa jadi laki-laki meskipun mereka perempuan dan sebaliknya. Meskipun kondisi biologisnya X, anak boleh menjadi Y jika mau. Orang tua harus netral dan tidak menyebut laki-laki atau perempuan dan tidak menyematkan atribut atau nilai-nilai khusus yang berhubungan dengan gendering...krn menurut mereka yang membuat seseorang jadi 'perempuan' atau 'laki-laki' itu adalah semua elemen masyarakat (social construction), dan itu dianggap tidak benar, karena manusia mempunyai hak menentukan mau jadi apa mereka. (lebih lengkap mengenai genderless dan ungendering di sini)
Dalam hal ini, the futures 'we' want adalah saat manusia, termasuk anak-anak, harus 'di-merdeka-kan' dari pranata sosial, termasuk agama. Agama nampaknya terus menjadi dan 'dijadikan' barang kuno dalam penelitian sosial kontemporer. Memuat faktor agama dianggap tidak lagi relevan dalam banyak bidang dan cenderung 'digunakan' sebagai kambing hitam atas berbagai persoalan dan krisis yang dialami dunia saat ini. Hal ini terekam dengan jelas dalam closing plenary lagi yang disampaikan oleh profesor senior dari Perancis yang berteori, "kekuatan agama itu selalu berbahaya untuk demokrasi.Â
Demokrasi bisa berhasil jika faktor agama... keluar." Ia juga menyebutkan bahwa, "yang kita butuhkan sekarang ini adalah 'super-human human-rights'." Dan disambut applause meriah dari seluruh audience. Lalu chair plenary yaitu profesor dari universitas ternama di Amerika pun menutup acara ini dengan mengatakan, "...suarakan apa yang sudah kita diskusikan dan dapatkan selama seminggu ini agar kita bisa mendapatkan dunia yang 'kita/kami' inginkan bersama." Apakah anda merasa terwakilkan dengan 'aspirasi' ini?
Inilah salah satu sisi wajah dunia di masa yang akan datang yang sedang terus 'digambar': menjadikan kebebasan manusia sentra kehidupan yang membawa positivitas, menyamarkan sekat-sekat yang telah lama dikonstruksi oleh norma sosial maupun agama, mengangkat semua hal tabu, menyajikan, dan menyantapnya di atas meja makan dengan dasar kebebasan dan hak asasi manusia. Ini sudah menjangkau di hampir semua negara di dunia lewat karya seni, lagu, film, fashion, buku, novel, media dan lainnya. Lebih kuat lagi dengan 'dukungan' para profesor dan peneliti yang hadir dan mendukung 'aspirasi' yang dibangun dalam pertemuan ini, karena mereka adalah corong untuk pendidikan ke para mahasiswa dan koleganya.Â
Jika 'we' itu juga berarti saya atau anda atau semua orang yang saat ini sedang menikmati gairah masa jayanya manusia lewat pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka wajah dunia akan lebih cepat berubah seperti yang 'we' inginkan. Jika 'we' itu bukan termasuk saya atau anda, maka terserah bagaimana kita mau bereaksi. Dan, jika anda tidak tahu dan memilih untuk tidak mau tahu, sebagai informasi saja, anda berada pada mayoritas populasi, dan ini mempermudah siapapun untuk 'menggambar' wajah dunia kita.
Vienna, July 2016