Mohon tunggu...
Mayasari Noer
Mayasari Noer Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Saya Bertemu Margriet Megawe di Lapas Kerobokan

17 Mei 2017   15:16 Diperbarui: 17 Mei 2017   22:23 3248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

    Saya tidak akan membahas kasusnya lagi, tapi saya akan bercerita tentang pertemuanku dengannya, walau hanya dibatasi jeruji besi. April 2016, diantar driver Pak Warna, saya tiba di halaman Lapas Kerobokan. Sekitar jam 9 pagi, matahari sudah sangat terik. Saya berjalan memasuki pintu besar utama sambil memeluk kardus yang berisi kopi sachet, biskuit, roti, beberapa jenis kue jajan pasar dan 2 botol minyak kayu putih. Sebelumnya, sudah ada seseorang yang mengatur nomor antrian saya untuk menjenguk. Setelah menitipkan KTP di loket petugas, saya berjalan ke pintu metal detector untuk pemeriksaan selanjutnya. HP juga dilarang, supaya tidak repot harus pakai locker khusus, HP saya titipkan di Pak Warna.

    Petugas wanita dengan sarung tangan karet membuka kardus, memeriksa semua isinya dengan hati-hati. “Aman mbak, tapi mbak tidak bisa masuk dengan celana pendek.” katanya sambil menunjuk dengan dagunya ke celana pendek abu-abu yang kukenakan. “Di seberang ada penjual celana panjang, ke sana dulu. Kardusnya taruh sini saja.”

    Aduh, maklumlah saya mabuk terkena aroma Bali yang panas. Baju kaos tanpa lengan, celana pendek dan sandal jepit termasuk high fashion di sini. Saya lupa menanyakan aturan menjenguk. Ya sudahlah…saya bergegas menyeberang jalan, persis di depan lapas berjejer beberapa toko pakaian yang sepertinya sudah stand by untuk pengunjung.

    Saya membayar Rp.70.000,- untuk sehelai celana panjang hitam yang langsung saya kenakan di luar celana pendek abu-abu. Serasa seperti MC Hummer, saya kembali menyeberang jalan dan bergegas masuk ke pintu metal detector, menunjukkan ke petugas wanita tadi bahwa saya sudah “aman”.

    Petugas wanita yang berwajah cantik dan putih itu tersenyum setuju, menyerahkan kembali kardus kepadaku. Kardus kembali kupeluk, dan sambil berjalan agak menunduk, saya melewati pintu kokoh dari besi plat yang berkusen rendah.

   Sampai di dalam, petugas wanita yang lain sudah menunggu untuk melakukan body checkterhadap setiap pengunjung wanita dan petugas pria ke pengunjung pria. Setelah memeriksa semuanya, ibu berperawakan bak banteng namun bergincu merah tebal tersebut mengangguk puas, “Lewat!” katanya angkuh sampil mencap pergelangan tanganku dengan stempel segitiga bertinta biru. Segera aku merasakan terpaan angin panas, begitu melangkah ke ruangan memanjang di samping kiri.

    Lupakan hingar bingar kafe dan night club di Bali pada malam hari, lupakan wisata kulinernya yang kaya rempah, lupakan hamparan sawah hijau dan bujur pantainya yang termashyur! Selamat datang di Lapas Kerobokan, kampung internasional…tempat terperosoknya berbagai jenis anak manusia! Mulai dari gembong narkoba kelas dunia, teroris, bandit bengis, pembunuh, pemerkosa, pedofil, koruptor kakap, pengusaha hitam sampai hanya sekedar maling handphone dan tabung gas.

    Panas, pengap, kering, ruangan penuh kabut asap rokok dari pengunjung maupun dari para napi itu sendiri. Saya juga merasakan aroma penderitaan yang kuat, hati pun ikut merana. Saya mulai awas, mengamati sekelilingku dengan cermat. Saya mengambil tempat duduk agak di tengah, di dudukan dari beton bertegel. Ibu yang ingin kujenguk belumlah kelihatan.

    Di hadapanku, berjarak sekitar 2 meter…berdiri kokoh tembok batu bertegal putih setinggi dada menyerupai loket-loket di rumah sakit jadul dan berjeruji kokoh ke atas dan terbingkai beton. No wayout no way in! Semua napi melepas rindu lewat jeruji tersebut. Ada sekitar 30 pengunjung berjejal-jejal di sepanjang tembok. Tampak olehku beberapa napi wanita berambut pirang dan tinggi, dijenguk oleh mungkin rekan senegaranya. Lelaki di sebelahku berbisik, “Bule-bule gembong narkoba,” mau tak mau saya menoleh padanya, tersenyum sopan.

    Ah itu dia, Ibu itu melangkah perlahan, dan maju ke depan jeruji hampir paling pojok kanan yang paling cepat dijangkaunya. Ibu itu berdiri di samping seorang lelaki muda berperawakan pendek yang sedang dijenguk oleh istrinya dan bocah laki-laki berumur paling tidak 3 tahun.

    Saya tersenyum, Ibu itu tersenyum membalas, kami bertatapan seolah-olah Ibu itu telah mengenalku sebelumnya. Berbeda dengan saya yang tentu saja telah terbiasa dengan Ibu tersebut. Berita tentang kekejamannya, kehidupan pribadinya, foto-fotonya dan rekaman teriakannya diputar berulang-ulang di televisi. Media cetak setiap hari terbit dengan up date terbaru tentang kasusnya. Media sosial terutama, juga tak kalah sengitnya membahas a-z kehidupannya. Caci maki, sejuta hujatan, hinaan dan segala hal yang paling merendahkan sebagai seorang manusia telah diterimanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun