Mohon tunggu...
Gilang Mahadika
Gilang Mahadika Mohon Tunggu... Penulis - Social researcher

Graduate Fellow ARI-NUS (Asia Research Institute, National University of Singapore), AGSF (Asian Graduate Students Forum) 2021| Anthropology | Interested in Southeast Asian Studies

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tantangan Toleransi Menghadapi Perbedaan

26 November 2017   10:22 Diperbarui: 26 November 2017   15:16 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Farid Wong

Kita tidak dapat mengelak adanya perkembangan kehidupan manusia yang mengarah pada kompleksitas tiada tanding di mana teknologi menjadi penyebab nyata dari semua ini. Manusia terlelap dalam keagungan teknologi atas dipermudahnya mengakses informasi dari ujung ke ujung dunia yang lain, membuat kita bahagia dapat bertemu dengan orang yang barangkali berbeda dengan kita. 

Batas-batas, dinding-dinding wilayah satu dengan yang lain kini telah runtuh dan saling melebur, bercampur-aduk, membuat kita sulit mencari sekat-sekat sebuah perbedaan. Ini adalah sebuah perayaan manusia dapat saling menyatu dengan yang lain di dalam payung keberbedaan kultur dan pandangan hidup mengenai sang Pencipta barangkali. 

Rupanya, interaksi antar manusia yang berbeda-beda tidak semerta-merta mulus dalam perjalanannya, banyak kejadian yang menyedihkan di tengah perjalanan yang mengikat keberbedaan. Awalnya, hal ini menjadi sebuah perayaan yang diselimuti kegembiraan bertemu dengan seseorang yang berbeda kultur, berbeda pandangan hidup, berbeda cara makan barangkali, berbeda apa pun yang tidak pernah ditemui oleh kita, namun di tengah proses  mengapa menjadi sebuah penghinaan atas keberbedaan. 

Terkadang kita saling mencaci atas sebuah keberbedaan satu dengan yang lain, kita merasa kultur kita lebih benar daripada yang lain, kita merasa ajaran kita lebih benar daripada yang lain. Seakan-akan menganggap diri kita atau kultur kita yang paling tinggi dan benar daripada yang lain, yang berbeda itu dianggap tidak benar. Melalui hal ini lah menyulut api permasalahan toleransi satu sama lain. Ketika ditelaah kembali, toleransi memiliki batas-batas yang  seringkali kita acuhkan. Toleransi tidak menjadi istilah yang dimaknai sekedar saling mengetahui atas perbedaan, namun lebih dalam, menjadi sebuah pelajaran bagi kita, para manusia, dalam melihat sebuah perbedaan.

Toleransi dalam diskusinya sempat disinggung oleh pakar filsafat, Bambang Sugiharto, di suatu acara seminar kebudayaan dalam konteks ini, toleransi merupakan sikap terhadap perbedaan kesetaraan, sikap demokratis, sikap terhadap sebuah 'kebenaran', barangkali sikap yang terakhir ini yang membuat toleransi sangat berat dilakukan. Persoalan kini, dengan hilangnya batas-batas wilayah satu dengan yang lain karena adanya perkembangan pesat teknologi informasi, memaksakan diri kita untuk menghadapi sebuah perbedaan, menantang toleransi agar dapat memecah persoalan keberbedaan. 

Batas-batas yang hilang menjadikan kultur-kultur yang berbeda saling berbenturan satu sama lain justru mengakibatkan pengerasan identitas kultur masing-masing, seperti halnya ketika penganut Islam dengan Kristen berpapasan, mereka secara tak langsung memperkuat identitas masing-masing, ibarat minyak yang dimasukkan dalam satu wadah dengan air, seakan-akan bersama, namun tidak melebur menjadi satu. Hal tersebut juga dapat ditemui pada kehidupan para imigran Deutsch-Turken (Jerman-Turki) yang memiliki identitas hibrid, mereka tidak diterima oleh penduduk asli Jerman karena dianggap bermasalah, entah mereka dianggap memicu adanya tindakan kriminal karena kelas sosial bawah, dan permasalahan stereotipe mengenai ajaran yang konservatif dianggap tidak mungkin dapat melebur dengan orang Jerman asli.  

Bambang membagi toleransi ke dalam dua lapisan, yakni, toleransi 'dangkal' dan toleransi 'mendalam'. Toleransi 'dangkal' dimaknai sebagai ketidakpedulian, dalam artian kita hanya sebatas mengetahui sebuah perbedaan yang terjadi, namun tidak ingin mengusik lebih dalam--yang penting tidak saling mengganggu atas perbedaan satu sama lain. Toleransi 'dangkal' yang lain menurutnya terdapat superioritas terselubung (kasihan/maklum), dalam artian diri kita menganggap kultur kita yang paling benar, namun menganggap maklum yang lain (yang berbeda). Toleransi 'dangkal' akhir, menurutnya, adanya strategi persuasif, dimaknai sebagai strategi pedagogis (edukatif), berharap seseorang yang berbeda itu akan berubah, barangkali mengikuti ajaran lain.

Selanjutnya, Lapisan kedua, yaitu toleransi 'mendalam' yang mana Ia menyebut adanya koreksi timbal-balik antara satu kultur yang berbeda dengan yang lain. Toleransi 'mendalam' biasanya juga terdapat reduksi di satu sisi dan ekspansi di sisi yang lain, yang dimaksud di sini ketika diri kita mengetahui satu hal yang berbeda, maka kita akan menurunkan ego kita (anggapan kultur sendiri yang benar) dalam melihat suatu fenomena, pada waktu yang sama terjadi ekspansi, sebuah wawasan baru mengenai peristiwa, misalkan terdapat seorang pemusik klasik yang sangat mengagungkan musik klasiknya, ketika dia bersinggungan dengan suatu yang berbeda, barangkali musik gamelan, maka bisa jadi dirinya dapat menerima sebuah perbedaan dan wawasan baru mengenai keanekaragam musik. Toleransi 'mendalam' yang lain adalah dengan "melihat dari mata pihak lain", hal ini dimaknai bahwa toleransi yang mendalam adalah tidak hanya mengetahui sebuah perbedaan, namun berusaha memahami perbedaan tersebut melalui sudut pandang mereka yang berbeda. 

Tentu mereka melihat kita juga berbeda dengannya, agar lebih dapat mengerti satu dengan yang lain, perlunya kita saling mengerti dengan memahami mereka menggunakan sudut pandang mereka sendiri dalam memaknai kehidupan ini maupun dalam memaknai diri kita yang berbeda ini. Perlu ditekankan dalam tolernasi 'mendalam' bahwa 'kebenaran' itu perlu dilihat sebagai suatu yang berkembang yang bertujuan agar diri kita dapat menata ulang sistem nilai yang kita pegang menjadi suatu yang lebih baik dan tolerir.

Namun, bagaimana jika ada sebuah pernyataan kita tidak mungkin hidup di atas sebuah perbedaan. Ilustrasi sederhananya seperti kedua tangan kita saat ini ada dan saling berlawanan (kiri dan kanan), mungkin saja kita tidak dianggap normal apabila kedua tangan kita semua adalah tangan kanan. Agar dapat hidup kita perlu sebuah perbedaan, ibarat sebuah lampu agar bisa menyala perlu menyatukan antar kutub positif dan negatif dengan menekan tombol 'on' entah pada pada lampu belajarmu agar dapat hidup. Seakan kita sedang menghadap cermin yang membalikkan semua realita dirimu, tujuannya adalah agar dapat berintrospeksi diri, bahwa kita tidak segalanya. Sebuah konsep kebenaran yang kita agungkan barangkali diperoleh melalui ajaran mengucap syukur kepada sang Pencipta perlu dikembangkan ke arah bagaimana kita bersikap toleransi kepada sebuah perbedaan.

Semoga bisa menjadi renungan bersama untuk Indonesia yang pluralisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun