Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penodaan Agama : Sebuah Kesimpangsiuran Hukum

27 Juni 2017   09:53 Diperbarui: 27 Juni 2017   10:13 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menarik untuk berbicara seputar penodaan atau penistaan agama yang belakangan ini sangat panas naik ke permukaan, dan masyarakat dibuat bertanya-tanya apa maksud dari pasal penodaan atau penistaan agama tersebut. Tidak sedikit kasus-kasus yang dihasilkan dari pasal tersebut dan menjerat banyak pihak baik individu maupun kelompok-kelompok yang berbasis keagamaan, kepercayaan, keyakinan maupun yang berbasis budaya atau tradisi turun temurun.

Landasan hukum dalam konteks penodaan agama merujuk pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan "Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu".

Analisa saya : Dalam pasal tersebut tertulis "agama yang dianut di Indonesia", namun tidak menyebutkan apa agama yang ada di Indonesia. Jika pasal tersebut bermaksud hanya 6 agama yang diakui Indonesia, maka penulisannya adalah "agama yang diakui oleh Indonesia" bukan "agama yang dianut di Indonesia". Karena jika penulisannya adalah  "agama yang dianut di Indonesia" maka itu sudah termasuk dan sudah menjamin agama atau kepercayaan leluhur atau agama-agama lokal.

Namun jika penulisannya "agama yang diakui oleh Indonesia" maka merujuk pada ke enam agama yang diakui oleh Indonesia yakni : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.Agama-agama yang terlepas dari ke enam agama ini, tidak diakui keberadaannya dan boleh jadi tidak dijamin karena runutannya adalah "agama yang diakui Indonesia". Maka sudah jelas penulisan dalam pasal dan fakta dilapangan berbeda jauh.

Lalu kalimat "melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu". Agama dalam kalimat tersebut definisinya Agama apa dan Agama yang mana? Apalagi didukung dengan kata "itu" sehingga harus ada kejelasan : "itu" yang dimaksud artinya apa? Dan mengarah pada apa?. Ini menjadi tandatanya kesekian yang harus dikaji agar tidak simpang siur dan asal menjerat masyarakat.

Penjelasan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 ini menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu. Namun, tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka tetap dijamin keberadaannya. Persoalan paling mendasar adalah : Jika memang agama-agama ini dijamin keberadaannya, mengapa masih ada pembakaran Masjid atau rumah ibadah? Mengapa masih ada pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan seperti yang dialami oleh Jemaat Syiah, Ahmadiyah, Kristiani, serta agama lokal atau kepercayaan leluhur lainnya? Mengapa terjadi pengusiran-pengusiran serta stigma "sesat" kepada penganut kepercayaan yang diluar dari 6 agama tersebut.?

Pasal 156a KUHP dan Kesimpangsiuran Maknanya

Kasus-kasus yang dimasukan kedalam konteks penodaan agama juga melibatkan pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi "...barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Menurut saya : Dalam pasal tersebut definisi "penodaan" sama sekali tidak dijelaskan, dan kembali lagi memakai kata "dianut" yang secara gamblang pasal ini mengacu pada banyak agama yang dianut di Indonesia seperti kepercayaan leluhur, agama lokal serta kepercayaan-kepercayaan lainnya (terkecuali kata dianut diganti dengan diakui, maka beda maknanya). Maka pasal ini bisa dikatakan tidak ada kejelasan menjaga agama yang mana dan penodaan yang dimaksud definisinya sepertinya apa.

Jika komunitas agama, kepercayaan leluhur, serta agama-agama lokal dilarang aktifitas ibadahnya dan diusir dari wilayah (ditolak keberadaannya), bahkan di stigma sesat hanya karena tidak sesuai dengan pasal 156a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965, maka agama-agama yang diakui Indonesia yang mendiskriminasi agama lokal atau kepercayaan leluhur juga telah melanggar pasal dan UU tersebut. Karena tidak sedikit kasus-kasus Penyegelan Rumah Ibadah, Pembakaran Rumah Ibadah, Stigma Sesat, dan Pengusiran warga penganut kepercayaan berbeda yang dilakukan oleh mayoritas kepada minoritas. Bahkan ujaran-ujaran kebencian serta kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan ormas-ormas agama mayoritas kepada agama-agama minoritas, adalah bagian dari poin a pasal 156a, yakni bersifat menciptakan permusuhan. Dan itu sudah melanggar pasal tersebut (jika kita melihat pasal tersebut dari sudut pandang korban).

Dari hal diatas dapat kita lihat pasal tersebut relevan atau tidak, berperan sebagai apa (pembela pelaku atau alasan mayoritas menghakimi minoritas, dan berdiri disamping mana (pasal ini berdiri untuk siapa, karena masih samar dan bias agama apa yang dimaksud serta tujuan dari ayat ini kearah siapa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun