Mohon tunggu...
semutmerah
semutmerah Mohon Tunggu... Psikolog - Bukan untuk dikritisi, tapi untuk direfleksikan

Serius tapi Santai | Psychedelic/Progressive/Experimental | Memayu Hayuning Bawana

Selanjutnya

Tutup

Money

Malu Kepada Tuhan Sendiri

28 Juni 2017   09:06 Diperbarui: 27 Mei 2020   21:13 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu sore, saat saya sedang bermain kerumah salah satu sahabat, ibunya berkata "Kamu jangan lupa solat magrib ya, main boleh tapi jangan lupa ibadah." Begitulah ucapan beliau, yang sejak dulu sudah saya anggap sebagai ibu angkat. Ini terjadi belasan tahun yang lalu saat saya masih menempuh Sekolah Dasar.

Keluarga sahabat saya adalah umat Kristiani, dirumahnya pun ada seekor anjing yang ditugaskan untuk menjaga rumah tersebut. Namun tidak menjadi masalah ketika saya dipersilahkan untuk bermain, bahkan ibu tersebut mengajak saya untuk menetap disana. Perihal ibadah, mereka tetap beribadah sesuai keyakinan mereka, sedangkan saya tetap dijalur saya. Tidak ada yang namanya kristenisasi atau islamisasi antar kami.

Bagi sebagian umat Islam saat ini, apa yang dilakukan ibu tersebut mungkin suatu hal yang salah karena beliau non muslim dan mengingatkan yang muslim untuk tidak lupa beribadah. Namun menurut saya itu hal yang bagus karena saya melihat adanya suatu penghormatan yang ia lakukan terhadap saya, lalu saya melihat adanya motivasi karena apa yang beliau ucapkan kepada saya adalah motivasi untuk tidak melupakan kewajiban saya, dan lagi saya melihat adanya keyakinan dimana saya diyakinkan untuk tetap pada pendirian saya.

Beliau bukanlah satu-satunya orangtua angkat saya yang berbeda keyakinan, masih ada lagi yang berasal dari Papua. Untuk kesekian kalinya hal yang sama terjadi, mereka mengingatkan saya untuk tidak lupa beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Bahkan pada waktu itu antara saya dengan mereka sama sekali tidak ada gesekan dalam hal keyakinan atau kepercayaan.

Namun saya sekarang bertanya-tanya : Mereka adalah umat nonmuslim, berada di wilayah yang mayoritasnya muslim. Namun bagaimana bisa mereka tetap bersikeras untuk toleransi, menghargai, menghormati, bahkan menyayangi yang bukan sesama mereka.? Apa landasan mereka berbuat demikian.? Apakah mereka berbuat karena "Hati".? Lalu bagaimana dengan muslim terhadap nonmuslim.? Memakai "Hati" kah..?

Kebaikan Tidak Mengenal Identitas

Pada masa Sekolah Menengah Pertama di Medan, ruang lingkup bermain saya lagi-lagi tidak jauh dari berbeda keyakinan. Ada yang Islam namun kepercayaan lokal, ada juga teman-teman dari Budha serta Kong Hu Cu. Namun sama sekali ruang-ruang pribadi dalam hal kepercayaan, tidak pernah diusik atau singgung-menyinggung apapun agamanya, kepercayaannya, apapun kitabnya. Satu makan semua makan, satu minum semua minum, tidak lagi tersekat oleh batas-batas keyakinan. Baik ramadhan maupun tidak ramadhan, mereka tetap baik terhadap yang berbeda keyakinan bahkan tetap merangkul ketika ada kesusahan.

Menyandingkan masa sekarang dengan masa lalu, sungguh jauh perbedaanya. Masih ada yang menilai kebaikan dari sudut pandang agama, ras, atau suku. Ketika umat Kristiani membagikan takjil untuk pejalan yang ingin berbuka puasa, pernyataan nyinyir pun terucap. Ketika umat Budha dan Hindu berbagi minuman atas landasan hati dan kemanusiaan, pernyataan tidak enak pun keluar. Lucunya pernyataan dan sikap ini keluar dari pribadi-pribadi "Islam Tertutup".

Bagaimana bisa kita menyalahkan nonmuslim yang berbuat baik dan mengisi kegiatan dengan kebaikan, sedangkan kita yang muslim atau yang islam mengaku paling benar dan paling suci. Padahal tidak ada agama yang tidak mengajarkan bahkan mewajibkan pemeluknya untuk berbuat baik kepada siapapun terlepas dari apapun kepercayaannya. Bagaimana bisa kita --umat muslim- masih menutup diri dan menolak kebaikan-kebaikan dari orang lain yang berbeda agama. Maka ada baiknya kita merefleksi diri dan bertanya pada diri sendiri : Posisi ku dimana, Kebaikan kah atau Keburukan? Mengapa aku tak bisa berbuat baik dan menerima kebaikan orang terhadapku.?

Sertakan Hati dan Rasa Dalam Berbuat

Saya teringat laku hidup Jawa yang bijaksana yakni "Bisalah Merasa, Jangan Merasa Bisa". Ketika hati dan rasa dilibatkan dalam kehidupan, maka kepekaan untuk menerima dan berbagi pastilah kuat. Namun sayang, dibeberapa waktu logika atau nalar bisa mengalahkan hati dan rasa, sehingga untuk mengembalikan kekuatan hati dan kepekaan rasa dibutuhkan "Olah Rasa". Dimana setiap individu melihat sesuatu dari perspektif hati, tidak lagi mempersekat diri atas dasar agama, suku, rasa, atau kepercayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun