Mohon tunggu...
Maruasas Sianturi
Maruasas Sianturi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Widyaiswara P4TK bidang bangunan dan listrik Medan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Moral Kerja

23 Agustus 2013   09:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56 5348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Moral Kerja

Oleh: Maruasas Sianturi, M.Pd.

Widyaiswara P4TK Medan


Yang dimaksud dengan moral adalah suasana batiniah seseorang yang mempengaruhi perilaku individu dan perilaku organisasi. Suasana batiniah itu terwujud di dalam aktivitas individu pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Suasana batin dimaksud berupa perasaan senang atau tidak senang, bergairah atau tidak bergairah dan bersemangat atu tidak bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Proses manajemen dan leadership yang efektif memerlukan moral kerja yang positif dalam arti suasana batin yang menyenangkan hingga memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan. Moral kerja yang tinggi merupakan dorongan bagi terciptanya usaha berpartisipasi secara maksimal dalam kegiatan organisasi/kelompok, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya moral kerja seseorang. Dalam kegiatan manajemen dan leadership pendidikan, moral kerja yang tinggi dari setiap SDM yang terlibat di dalamnya, merupakan faktor yang menentukan bagi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Berbagai faktor itu di antaranya adalah sebagai berikut :

1.Sebagian orang memandang bahwa minat/perhatian terhadap pekerjaan berpengaruh terhadap moral kerja. Bilamana seseorang merasa bahwa minat/perhatiannya seusai dengan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan maka akan memiliki moral kerja yang tinggi.

2.Sebagian lainnya menempatkan faktor upah atau gaji penting dalam meningkatkan moral kerja. Upah atau gaji yang tinggi dipandang sebagai faktor yang dapat mempertinggi moral kerja.

3.Disamping itu ada kelompok orang yang memandang faktor status sosial dari pekerjaan dapat mempengaruhi moral kerja. Pekerjaan yang dapat memberikan status sosial atau posisi yang tinggi/baik (misalnya, sebagai kepala, staf pimpinan, kepala bagian dan sebagainya) menurut kelompok ini akan mempertinggi moral kerja.

4.Sekolompok lain memandang tujuan yang mulia atau pekerjaan yang mengandung pengabdian merupakan faktor yang dapat mempertinggi moral kerja. Tujuan dan sifat pengabdian diri dalam suatu pekerjaan mengakibatkan seseorang bersedia mendertia, berkorban harta benda dan bahkan jiwanya demi terwujudnya pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

5.Kelompok terakhir memandang faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang baik, sehingga setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat mempertinggi moral kerja.

Moral ditinjau dari motivasi dalam pekerjaan


Seseorang bekerja karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana kebutuhan dasar manusia itu banyak ragamnya. Menurut Maslow dalam Mar”at kebutuhan dasar manusia ini ada beberapa tingkatan :

1.Kebutuhan fisik (physical needs) yang meliputi kebutuhan sehari-hari untuk makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, berrumahtangga dan sejenisnya.

2.Kebutuhan keamanan (safety needs) yang meliputi kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau perlindungan dari ancaman-ancaman yang membahayakan kelangsungan hidupnya.

3.Kebutuhan Sosial (social needs) adalah kebutuhan untuk disukai dan menyukai, dicintai dan mencintai, bergaul, bermasyarakat dan sejenisnya.

4.Kebutuhan pengakuan (the needs of esteems) adalah kebutuhan untuk memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan.

5.Kebutuhan mengaktualisasikan diri .(the needs for self actualization) adalah kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan, keagungan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang memiliki kemampuan dan keberhasilan dalam mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang luar biasa.


Selain itu dalam melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan yang bersifat sadar, seseorang selalu didorong oleh maksud atau motif tertentu, baik yang obyektif maupun subyektif. Motif atau dorongan dalam melakukan sesuatu pekerjaan itu sangat besar pengaruhnya terhadap moral kerja dan hasil kerja. Seseorang bersedia melakukan sesuatu pekerjaan bilamana motif yang mendorongnya cukup kuat yang pada dasarnya tidak mendapat saingan atau tantangan dari motif lain yang berlawanan. Demikian pula sebaliknya orang lain yang tidak didorong oleh motif yang kuat akan meninggalkan atau sekurang-kurangnya tidak bergairah dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Semua faktor yang telah disebutkan di atas pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk motif yang mendorong seseorang melakukan pekerjaannya secara bersunguh-sungguh.

Dalam hubungan itu dapat dibedakan dua jenis motif yakni :

1.Motif intrinsik, yakni dorongan yang terdapat dalam pekerjaan yang dilakukan. Misalnya : bekerja karena pekerjaan itu sesuai dengan bakat dan minat, dapat diselesaikan dengan baik karena memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam menyelesaikannya dan lain-lain.

2.Motif ekstrinsik, yakni dorongan yang berasal dari luar pekerjaan yang sedang dilakukan. Misalnya : bekerja karena upah atau gaji yang tinggi mempertahankan kedudukan yang baik, merasa mulia karena pengabdian dan sebagainya.

Hubungan Moral Kerja dan Produktivitas

Harrison menjelaskan bahwa semenjak moral dilibatkan kedalam sikap-sikap karyawan, adalah penting untuk meninjau akibat dari moral tinggi (dipersepsi dengan kepuasan tinggi) dan moral rendah (persepsi kepuasan rendah).Drafke & Kossendalam Harrissonmengatakan bahwa hubungan langsung antara moral kerja dan produktivitas adalah moral yang tinggi akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Demikian pula jika moral rendah akan mengurangi produktivitas. Sedangkan Gellerman (dalam Harrison) meringkaskan berbagai penelitian yang dipublikasikan mengenai efek moral kerja terhadap produktivitas sebagai berikut:Dari seluruh survey yang dilaporkan, 54% menunjukkan bahwa moral yang tinggi berkaitan dengan produktivitas yang tinggi; sementara 35% lainnya menunjukkan bahwa moral tidak berhubungan dengan produktivitas; dan 11% lainnya menyebutkan moral tinggi berhubungan dengan produktivitas yang rendah. Hubungan itu tidak mutlak, tetapi terdapat cukup banyak data yang mendukung bahwa memberi perhatian pada karyawan berpengaruh terhadap meningkatnya keluaran karyawan. Korelasi yang rendah itu berarti bahwa selain sikap kerja tentu banyak faktor lainnya yang juga mempengaruhi produktivitas.


Selanjutnya Harrison mengatakan bahwa kemungkinan gejala hubungan antara produktivitas dengan tingkat moral harus dipertimbangkan dari tiga persepsi yang mempengaruhi tingkat moral seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu:

1.Persepsi karyawan terhadap keadaan organisasi yang tidak dapat dikendalikannya, seperti pengawasan, kerja sama dengan rekan sekerja, dan kebijakan organisasi terhadap pekerja. Bila faktor tersebut dipandang menyenangkan bagi karyawan, moral kerja akan cenderung tinggi

2.Persepsi karyawan terhadap tingkat kepuasan yang diperoleh dari imbalan yang diterima

3.Persepsi karyawan terhadap kemungkinan untuk mendapatkan imbalan dan masa depan serta kesempatan untuk maju.

Penutup

Bedasarkan kajian teori diatas menjelaskan bahwa apabila persepsi mengarah pada keadaan moral tinggi, efek positif lain akan dihasilkan, dan semua aktivitas dilakukan secara sukarela. Dengan moral tinggi, pegawai cenderung menunjukkan kemauan untuk dibawa kerjasama, lebih puas dengan kondisi yang ada, mau mematuhi peraturan, berhati-hati dalam menggunakan peralatan milik perusahaan, menunjukkan loyalitas dan hormat terhadap perusahaan, dapat bekerjasama dengan harmonis, dan bekerja tanpa keluhan. Moral tinggi juga cenderung mengurangi absen, mangkir dan pergantian pegawai. Dan tentu saja sebaliknya jika moral rendah, maka berbagai efek kebalikan dari hal di atas akan terjadi.


Pemeliharaan moral kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung jawab manajemen yang permanen, karena sekali moral kerja merosot, maka dibutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya kembali. Moral kerja yang jelek dapat menimbulkan pemogokan, pemerkerjaan karyawan yang berlebihan, kepurapuraan, dan berbagai reaksi lainnya. Selanjutnya moral kerja yang rendah dapat mempunyai akibat jangka panjang dan jauh lebih merusak organisasi dari pada hilangnya produktivitas temporal. Bakat manajerial dan profesional kiranya akan jauh lebih berkembang bila moral kerja dipertahankan pada suatu tingkat yang tinggi, dan gambaran yang diberikan perusahaan terhadap karyawan baru yang prospektif dapat sangat menunjang kondisi moral kerja intern secara luas. Oleh karena itu perlu untuk terus menerus menganalisa kekuatan yang mempengaruhi moral kerja dan mengambil langkah-langkah yang tepat guna memeliharanya sebelum muncul tindakan negatip yang lebih serius.

Daftar Refrensi:

Harrison Rosemary.1993. Human Resource Management. Issues and Strategies. Wokingham, England. Adison-Wesley. Pub. Co

H. Syarief. 1997. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Internesa

H.A.R. Tilaar. 1994. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya.

M. Armstrong. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia

Mar’at. 1982. Sikap Manusia Perubahan dan Pengukurannya. Indonesia: Galia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun