Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pencalonan Ahok, Eksprimen "Ke-Tunggal Ika-an" Yang Belum Berhasil

30 April 2017   11:14 Diperbarui: 30 April 2017   11:23 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Walaupun berdasarkan hasil hitung cepat beberapa lembaga survey dan hasil real count KPU DKI ,Ahok-Djarot telah dinyatakan kalah tetapi kehadiran dan keikut sertaan Basuki Tjahaja Purnama pada pilgub 2017 masih tetap menarik untuk dibicarakan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka artikel ini mencoba membahasnya dari sudut pandang yang lain.
Sebelum Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat mendaptar sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernut DKI pada 23 September 2016 pada saat itu spektrum politik ibu kota telah memunculkan warna penolakan kepada Ahok dari sebahagian ummat Islam dengan mengemukakan dalil haram hukumnya bagi ummat Islam memilih pemimpin yang tidak se akidah.Berbagai seruan dan juga fatwa yang merujuk kepada Kitab Suci Al Qur'an semakin kuat berkumandang agar jangan memilih Ahok karena ia bukan seorang Muslim.Gerakan skala besar untuk tidak memilih Ahok juga mulai mengemuka antara lain kegiatan Tabligh Akbar dan Silaturrahim Ummat Islam tanggal 14 September 2016 bertempat di Mesjid Istiqlal yang diikuti ribuan ummat serta dihadiri beberapa tokoh seperti Amin Rais,Hidyat Nur Wahid ,Yusril Ihza Mahendra,Didin Hafifuddin dan beberapa tokoh lainnya telah meneguhkan prinsip agar tidak memilih Ahok pada Pilgub.
Tahun 2014 sekitar bulan oktober sekelompok Ummat Islam yang dimotori oleh Front Pembela Islam dengan tokoh utamanya Habib Rizieq ,Imam Besar FPI telah menyatakan penolakan terbuka terhadap pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI menggantikan Jokowi yang telah diangkat menjadi Presiden RI.
Dalam lingkup spektrum politik yang demikianlah pada Juli 2016 ,tiga parpol yaitu Nasdem,Hanura dan Golkar menyatakan akan mengusung Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI pada pilgub 2017. Dukungan politik semakin menguat ketika Megawati Sukarnoputri menyatakan partainya akan mengusung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat pada kontestasi pilgub.Dengan kekuatan 4 parpol tersebutlah tanggal 23 September 2016 ,pasangan petahana tersebut mendaptar di KPU DKI.
Sepanjang yang dicermati alasan ke 4 parpol mendukung jagoannya karena pasangan tersebut telah menunjukkan berbagai keberhasilan dalam membangun dan menata Ibu Kota.Alasan lainnya karena tingkat elektabilitas pasangan tersebut cukup tinggi sehingga kemenangan akan diraih.
Pada waktu tersebut saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman kenapa dalam suasana psikologis penolakan sebahagian ummat Islam yang demikian tetapi ke 4 parpol terutama PDI P masih tetap mengusung Basuki Tjahaja Purnama .Kenapa misalnya parpol pimpinan Mega tersebut tidak mengusung kadernya sendiri seperti Rismaharini yang hampir dapat dipastikan tidak mengalami resistensi dari Ummat Islam.
Ada alasan yang dikemukakan beberapa teman yang dalam pandangan saya punya preferensi  politik ke  PDIP.
Menurutnya PDIP semakin bersemangat mengusung Ahok justru untuk menunjukkan perlawanan kepada issu atau sentimen keagamaan yang muncul.Kita lanjutnya tidak boleh menyerah dengan issu atau sentimen agama yang dikembangkan karena kalau kita menyerah atau mengikuti alur pikir mereka kebhinnekaan kita bisa terancam dan pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI.Dengan perkataan lain dia ingin menyatakan setiap issu primordial yang muncul harus dilawan dan siapapun tidak boleh mengikuti irama permainan yang mereka kembangkan.Saya tidak tahu apakah alur pikir dan alasan yang dikemukakannya itu memang merupakan sikap resmi partai besutan Mega atau hanya analisa pribadinya semata.Tetapi terlepas dari benar tidaknya alur pikir dimaksud berasal dari partai berlambang moncong putih namun substansi yang dikemukakannya menarik juga untuk membahasnya.
Sudah merupakan hal yang lajim di Republik yang penduduknya majemuk ini dalam setiap perhelatan demokrasi terutama pemilihan kepala daerah atau pilkada ,issu SARA selalu muncul dengan berbagai kemasan seperti pilihlah yang seagama pilihlah yang se suku atau pilihlah yang se marga.
Muncul pertanyaan sampai kapan sentimen primordial ini akan selalu muncul atau sekurang kurangnya berkurang .
Bung Karno ,proklamator dan presiden pertama Republik ini pada sepanjang masa pemerintahannya sangat gandrung mengucapkan kata " Nation Building" ,pembangunan bangsa.Kalau disimak pidato pidatonya sering mengemukakan tentang nation building ini yang juga merupakan kesadaran bagi Sang Proklamator bahwa proses kita menjadi bangsa belum selesai dan karenanya harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya.
Kita bisa bertanya kepada diri sendiri apakah saat ini proses Nation Building itu telah selesai atau sesuatu yang terus menerus masih berproses?.Rasanya proses Nation Building kita belum selesai malahan ada kesan muncul permasalahan dalam kehidupan kebangsaan kita.
Era Reformasi yang dibanggakan ini memberikan kebebasan yang sangat besar terhadap setiap warga mengemukakan pendapatnya terutama dengan menggunakan media sosial(medsos).Wabah penggunaan medsos yang muncul sekarang ini bukan tidak mungkin merupakan salah satu penyebab munculnya permasalahan dalam kehidupan kebangsaan kita karena dengan medium itu sesama kita menjadi bebas saling mengkritik bahkan saling caci dan maki.Betapa perlunya kita mawas diri terhadap medsos ini juga telah diperingatkan Presiden Jokowi dalam pidatonya di Pesantren Musthofawiyah Purba Baru,Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara tanggal 25 Maret 2017.Jokowi mengatakan bukan tidak mungkin adanya infiltrasi asing melalui medsos dengan tujuan menimbulkan perpecahan di bangsa kita.Sinyalemen Kepala Negara ini mengingatkan kita bahwa ada kekuatan asing yang punya keinginan untuk merobek robek kesatuan dan persatuan bangsa ini.
Menghadapi " serbuan" medsos hanya 2 hal yang bisa kita lakukan,1).menggunakan UU ITE terhadap per buatan yang melanggar ketentuan hukum dan ,2).menahan diri untuk tidak menggunakan kata kata yang bisa menyinggung perasaan sesama anak bangsa.
Kalau berbagai komentar yang menyinggung agama maupun suku bangsa bersileweran melalui medsos maka dipastikan keutuhan bangsa ini akan semakin rapuh.
Munculnya Ahok pada kontestasi pilgub dki serta mencermati reaksi yang muncul akibat pencalonannya memberi isyarat yang kuat bahwa proses nation building bangsa ini belum selesai dan penggunaan medsos yang mengiringi perhelatan demokrasi dki justru semakin menunjukkan bahwa betapa masih rapuhnya kesatuan dan persatuan bangsa kita.Diperkirakan pengelompokan serta penggunaan issu  primordial  tidak hanya terjadi di Jakarta tapi masih akan terus berlanjut pada tahun mendatang ketika pilkada serentak akan dilaksanakan lagi pada tahun 2018.
Saya tidak tahu apakah benar parpol yang mengusung Ahok -Djarot berangkat dari keyakinan bahwa prestasi pasangan petahana akan dapat mengalahkan sentimen primordial tetapi nyatanya pasangan tersebut kalah pada putaran kedua pilgub dki.
Seharusnya lah kita banyak belajar dari perhelatan demokrasi yang baru digelar di Ibu Kota Republik ini.
Salam Persatuan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun