Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilham Aidit dan Agus Widjojo, Bersahabat tapi Punya Beban Sejarah yang Berbeda

22 September 2017   07:20 Diperbarui: 22 September 2017   10:55 8856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti yang kita cermati banyak tafsir atau penjelasan yang berkaitan dengan G30 S PKI. Sikap resmi Pemerintah dan juga yang diyakini oleh sebagian masyarakat bahwa G 30 S PKI adalah gerakan kudeta yang dilakukan oleh PKI. 

Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa Mayor Jenderal Suharto, Pangkostrad mengetahui gerakan ini yang antara lain dikatakan pada malam 1 Oktober, Kolonel Latif, Komandan sebuah satuan militer di Kodam Jaya ketemu Suharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Menurut versi ini Kolonel Latif melaporkan kepada Suharto bahwa pada malam itu akan ada gerakan pembersihan jenderal.

Ditengah-tengah berbagai pendapat dan tafsiran yang demikian nyatanya memang pada malam satu Oktober 1965 itu terjadi sebuah gerakan. Gerakan ini diawali oleh penculikan 7 orang Jenderal dan kemudian enam orang Jenderal tersebut dibunuh di Lubang Buaya sementara Jenderal Nasution, lolos dari penculikan dan kemudian selamat dari pembunuhan.

Pada malam 1 Oktober itu salah seorang Jenderal yang diculik di rumahnya dan kemudian dibunuh di Lubang Buaya adalah Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Ketika para penculik datang di rumah itu antara lain ada Agus Widjojo, putra Jenderal Sutoyo. Remaja siswa SMA itu sekitar pukul 3 pagi mendengar pintu rumah mereka digedor-gedor. Remaja itu juga mendengar dari kamarnya, jumlah yang datang banyak sekali dan berperilaku sangat kasar. 

Agus kemudian mendengar ayahnya dibawa pergi. Sejak ayahnya dibawa pergi Agus tidak pernah lagi ketemu, malahan beberapa hari kemudian jenazah ayahnya tiba di rumah dan mereka, para anak-anak Sutoyo tidak diperbolehkan lagi melihat jenazahnya karena keadaannya sudah membusuk.

Pada malam 1 Oktober tersebut sekitar pukul 11 malam di tempat lain di Jakarta, Ilham Aidit putra bungsu DN Aidit yang berusia sekitar enam setengah tahun melihat ayahnya pergi meninggalkan rumah dan sejak saat itu Ilham tidak pernah lagi ketemu ayahnya karena pada 22 November 1965 hingga Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC PKI) itu tewas di Boyolali Jawa Tengah. 

Malam 1 Oktober itu dua orang anak, Ilham Aidit dan Agus Widjojo mengalami penderitaan yang sama. Walaupun keduanya mengalami penderitaan yang sama tetapi jalan hidup mereka sangat jauh berbeda. Ilham Aidit berada pada posisi yang kalah karena  kemudian sesudah penculikan dan pembunuhan jenderal itu terjadi, rakyat menjadi bereaksi. Berbagai demonstrasi muncul mengutuk PKI.

Di berbagai tempat dan daerah, kantor dan rumah pengurus PKI didatangi massa bahkan banyak diantaranya yang dibakar. Amuk massa sepertinya tak terbendung lagi. Anggota PKI ditangkapi, dipenjarakan dan kemudian yang muncul adalah duka cerita yang memilukan.  Kisah-kisah yang berkaitan dengan amuk massa ini sudah banyak ditulis dan film tentang ini pun sudah dibuat antara lain "The Act of Killing" oleh Josua Oppenheimer dan juga film lainnya yang bertajuk  "The Silence".

Ilham Aidit pun berpindah-pindah rumah bahkan dua kakak perempuannya memilih kabur ke Prancis. Oleh karena berada pada posisi yang kalah maka secara pergaulan sosial pun Ilham menemui berbagai hambatan. Ilham menceritakan, sebagai anak Aidit, seminggu sekali ia harus berkelahi  dengan orang yang mengejeknya yang menyatakan "Kalau Bapaknya digantung (maksudnya Aidit) maka anaknya juga harus digantung. Ya saya tidak punya pilihan harus berkelahi walaupun kalah" ujar Ilham.

Dengan berbagai penderitaan yang dialaminya akhirnya Ilham dapat menyelesaikan kuliahnya dan menyandang gelar insinyur dari Universitas Katolik Parahiyangan. Sesudah menggondol gelar kesarjanaan itu, Ilham pernah mencoba melamar jadi PNS. Tentu saja lamaran itu ditolak karena ia memakai nama Aidit. Ilham adalah seorang aristek dan di Nusa Tenggara Timur dia menjadi arsitek pembangunan beberapa rumah sakit. Sementara Agus Widjojo setelah 1965 dan sesudah menyelesaikan SMA-nya masuk ke Akademi Militer dan lulus pada tahun 1970. 

Selanjutnya Agus mengalami berbagai penugasan militer dan karirnya pun semakin cemerlang. Ia pernah menjabat sebagai Kasdam II/Sriwijaya dengan menyandang pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya ia terus dipercayai menduduki jabatan militer lainnya. Pada akhir karirnya di TNI, Agus Widjojo menyandang pangkat Letnan Jenderal dengan jabatan Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI(Seskoad) dan juga Kepala Staf Teritorial Mabes TNI. Sekarang ini sesudah purnawirawan, Agus Widjojo diberi kepercayaan sebagai Gubernur Lemhanas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun