Mohon tunggu...
Man Suparman
Man Suparman Mohon Tunggu... w -

Man Suparman . Email : mansuparman1959@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebebasan Berekspresi Perlu Filter, Filter Itu Namanya Pancasila

7 Juni 2017   12:10 Diperbarui: 7 Juni 2017   12:20 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ERA reformasi telah membuka kran kebebasan yang luar biasa sebagai wujud dari demokrasi. Kebebasan kita dalam berdemokrasi, suka tidak suka, banyak disesalkan, karena dinilai kebablasan.

Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya era teknologi informasi, perkembangan media internet, media digital, semakin maju pesat. Media sosial (medsos) salah satu contohnya, kini semakin akrab dengan warga masyarakat apapun sukunya, agamanya.

Media sosial lahir, sejatinya dimanfaatkan untuk saling sapa, silaturachmi, menebarkan kebaikan kesejukan dan kebersamaan atau persatuan dan kesatuan dalam bermasyarakat. Disamping sebagai media untuk menyampaikan informasi, sehingga lahir dengan yang namanya netizen.

Dalam perkembangannya, penggunaan medsos khususnya di tanah air, sebagaimana kita ketahui selama ini banyak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan mengacau tatanan kehidupan masyarakat seperti menyebarkan kebencian, adu domba, menghujat, gibah, membongkar aib atau urusan pribadi orang dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya yang disenangi syaitan dan iblis.

Dalam menyikapi permasalahan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa penggunaan media sosial. Fatwa ini dibuat berdasarkan kekhawatiran akan maraknya ujaran kebencian dan permusuhan melalui media sosial.

Setidaknya ada beberapa hal yang diharamkan yang tercantum dalam fatwa tersebut yakni setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan gibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.

MUI juga mengharamkan aksi bullying, ujaran kebencian serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan. Haram pula bagi umat Muslim yang menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik.

Merebaknya persoalan tersebut, sehingga MUI menganggap perlu menetapkan fatwa, boleh jadi merupakan ekses dari kebebasan berekspresi yang kebablasan. Kebebasan berekspresi seperti itu, merupakan kebebasan berekspresi yang sangat liar, bahkan brutal.

Kenapa itu, terjadi. Siapapun yang menyampaikan kebebasan berekspresi yang poin-poinnya sebagaimana difatwakan MUI, karena mereka dalam berucap dalam menyampaikan kebebasan berekspresi tidak memiliki filter atau saringan. Baik filter dari ajaran agama masing-masing maupun filter berdasarkan dasar negara yang bernama Pancasila.

Dengan menjadikan ajaran agama dan Pancasila sebagai filter dalam berucap dan bertindak, siapapun akan dapat menahan diri atau memilah-milah pelbagai ujaran yang bertentangan dengan ajaran agama dan Pancasila sebagai dasar Negara sebagai bentuk tanggung jawab moral dirinya dan tanggung jawab terhadap terciptanya ketenangan, ketenteraman dalam bermasyarakat dan berbangsa.

Bagaimana pun sudah jelas, ujaran kebencian, menebarkan permusuhan, SARA sangat bertentangan dengan sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, karena akibat  ucapan atau ujaran-ujaran seperti itu dapat memecah belah, merontokan persatuan kesatuan bangsa yang sekarang ini  tengah melanda bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun