Lapisan O3(ozon) berperan sangat penting bagi kehidupan dibawahnya. Lapisan ini mampu memantulkan radiasi ultraviolet dari matahari yang berbahaya bagi manusia pada konsentrasi tinggi, seperti kanker kulit dan kebutaan. Data dari NASA menunjukkan bahwa lapisan ozon sebagai perisai yang berada pada lapisan stratosfer Bumi terjadi penurunan konsentrasi. Hal ini pertama kali diketahui oleh para peneliti pada tahun 1980-an dengan citra satelit berupa lubang pada lapisan tersebut diatas kutub selatan.
Pada bangku sekolah kita telah mengenal berbagai gas rumah kaca yang dapat merusak lapisan ozon. CFC (Chlorofluorocarbons) sebagai pendingin kulkas terlalu familar bagi siswa sekolah dasar dan menengah. Pada bangku SMA kita baru mengenal berbagai macam gas rumah kaca terutama Karbon Dioksida (CO2)Â yang bertanggung jawab atas kenaikan suhu permukaan bumi dari tahun ketahun. Siapa bilang bahwa pembangunan gedung pencakar langit, perpipaan industri minyak dan gas, dan aktivitas milyaran manusia dengan energi fosil merupakan penyebab utama peningkatan suhu permukaan bumi dari tahun ke tahun. Selama ini kita beranggapan bahwa asap kendaraan merupakan penyebab utama dari pemanasan global.
Berbagai macam kegiatan berbasis ramah lingkungan terlah digalakkan untuk menghemat energi dan menjaga bumi. Melilah dan mengelompokkan sampah lalu mendaur ulangnya, mengganti semua bola lampu menjadi LED jauh lebih hemat energi, menghemat air dengan mamatikan keran air saat menyikat gigi didepan wastafel, mematikan lampu dan elektronik lain ketika tidak sedang menggunakannya, dan berbagai hal positif lain yang mampu menahan gejolak suhu permukaan Bumi. Namun, pada kenyataannya dari tahun ke tahun, hal tersebut tidak meninggalkan efek apapun bahkan kondisi semakin buruk. Perubahan iklim tidak lebih disebabkan karena penggunaan energi fosil
"Perubahan iklim tidak lebih disebabkan karena penggunaan energi fosil"
Pada tahun 2006, United Nations (UN) merilis hasil penilitian yang menunjukkan bahwa kegiatan agrikultur atau peternakan ekuivalen dengan seluruh emisi Karbon Dioksida dari penggunaan energi fosil baik sebagai bahan bakar kendaraan maupun pembangkit listrik. Hal yang sama sekali tidak terpikirkan bagi kebanyakan orang. Data dari Food and Agriculture Organization(FAO) menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca dari peternakan mengambil porsi 18% dan angka tersebut ekuivalen dengan bahaya gas CO2. Hal ini dapat terjadi karena gas CH4atau Metana yang dihasilkan oleh hewan ternak khususnya sapi, 84 kali lebih destruktif dibandingkan CO2. Kepala bagian informasi dan kebijkan FAO saat itu, Henning Steinfeld, merilis laporan tentang kontribusi emisi gas rumah kaca dari peternakan yang menjadi masalah lingkungan yang utama dan paling serius. Â
Degradasi lahan merupakan salah satu permasalahan yang diangkat pada laporan tersebut. Ekspansi lahan untuk penanaman makanan ternak menjadi kasus yang luar biasa saat itu, deforestasi pada hutan hujan amazon bahkan memakan korban 1100 jiwa aktivis brazil yang ditembak secara misterius karena mengangkat masalah ini.
Permasalahan yang tidak kalah gentingnya yaitu air. Penggunaan air dan pencemarannya menjadi perbincangan hangat dikalangan aktivis lingkungan. Data menunjukkan bahwa 1 buah beffyang dijual di restoran berupa burger, membutuhkan sedikitnya 660 galon air (1 galon = 3,88 liter). Sesuatu yang jelas tidak terpikirkan oleh masyarakat awam. Disatu sisi kita sudah berhemat air mati-matian namun ternyata hal yang sangat dekat dengan kita mengonsumsi sangat banyak air hanya untuk 1 buahbeff. Sebagai perbandingan, sebuah platform pengeboran minyak di amerika membutuhkan sedikitnya 100 miliar galon air sedangkan untuk peternakan 34 triliun galon air setiap tahunnya. Hal ini belum termasuk pencemaran aliran air yang dapat menyebabkan zona air tersebut mati.
Permasalahan yang menjadi pokok bahasan dari artikel ini yaitu emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor bisnis tersebut. Tidak heran bahwa federasi setinggi FAO angkat bicara mengenai permasalahan global ini. Emisi yang dihasilkan peternakan memiliki porsi 37% antropogenik Metana yang berasal dari hasil fermentasi dari ruminan hewan ternak, 63% antropogenik Nitro Dioksida (NO2) berasal dari kotoran hewan ternak, yang ternyata 300 kali lebih destruktif dibandingkan CO2. Lebih parahnya, sektor peternakan menyumbang 2/3 (64%) emisi antropogenik Ammonia yang menyebabkan terjadinya hujan asam.