Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menanamkan Jiwa "Entrepreneur" pada Anak Sejak Usia Muda

12 November 2017   13:33 Diperbarui: 12 November 2017   13:56 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Era pasar bebas yang terus bergulir merambah ke berbagai negara termasuk Indonesia sudah tidak bisa dihindari lagi. Ditengah gencarnya penetrasi pasar produk asing/luar negeri yang mengalir belakangan ini pastinya mengajak kita untuk tetap kritis dalam menyikapinya.

Dampak yang kasat mata atas berlakunya perdagangan antarnegara/internasional ini diantaranya banyak pilihan barang dan juga jasa yang ditawarkan kepada kita dengan harga maupun kualitas produk bersaing. Dulu ketika sebelum berlaku sistem pasar bebas, produk barang sangat terbatas untuk dikonsumsi, hanya produk tertentu yang bisa dipilih.

Namun pada saat ini, hadirnya berbagai penawaran barang dan jasa yang diproduksi secara massif, nampak telah memanjakan kita untuk tinggal memilih (baca: membeli), tentunya menyesuaikan dengan budget -- bahkan sistem pembayarannyapun tinggal mana yang disuka, mau cash atau sistem kredit.

Sejenak bila kita menengok catatan sejarah yang kita alami bersama, sebelum era pasar bebas atau perdagangan internasional berlaku di Indonesia -- kepemilikan barang-barang luks/barang mewah hanya terbatas dipunyai kalangan elite dan kalangan tertentu. Masyarakat menengah kebawah waktu itu hanya cenderung sebagai penonton saja.

Akan tetapi setelah resmi ditandatangani era perdagangan internasional/pasar bebas sekitar tahun 1993 -- maka produk barang dan jasa impor semakin membanjir, bahkan mobil, motor, maupun produk elektronik hingga yang berteknologi canggih (misalnya: handphone, smartphone, komputer, jaringan internet dan sejenisnya) sudah sangat familier dan dimiliki oleh hampir setiap rumah tangga di negeri ini.

Dampak atas kemudahan memperoleh produk impor ini pastinya bisa kita lihat sendiri, kemacetan lalu lintas di jalanan terutama di kota-kota besar kian hari semakin susah untuk dicarikan solusinya. Demikian halnya pemanfaatan kanal-kanal telekomunikasi demi tujuan bisnis menjadikan perebutan antaroperator sehingga menambah padatnya lalu lintas frekuensi yang jika tak terkendali bisa mengganggu lalu lintas udara.

Regulasi yang seringkali terlambat ditengah gencarnya produk impor terutama berkait teknologi pertelekomunikasian menjadi persoalan baru, belum lagi sampah elektronik yang cenderung bertebaran dimana-mana tidak terkendali akan merusak lingkungan hidup kita. Dampak semua ini memerlukan waktu dan tempat tersendiri untuk dikupas lebih jauh.

Kembali pada konteks tulisan, bahwa penetrasi produk impor yang terus membanjir ke negeri kita perlu disikapi. Salah satunya yaitu jangan sampai kita terjebak menjadi manusia konsumtif. Kitapun harus tergugah dan ikut ambil bagian dalam bersaing menghasilkan produk-produk yang bisa mendatangkan keuntungan sehingga profit tidak selalu mengalir keluar negeri.

Generasi muda sebagai penerus bangsa pastinya perlu diajarkan langkah-langkah produktif dengan cara membiasakan jiwa entrepeneur (wirausaha). Mengajarkan anak muda untuk berpikir proses produksi (menghasilkan), bukan hanya menjadi konsumem (pengguna) yang selama ini masih sering kita jumpai. Setidaknya diajarkan cara-cara berdagang untuk menghasilkan produk, mencipta lapangan kerja (minimal untuk dirinya) sehingga mulai belajar meningkatkan nilai tambah dalam proses produksi, distribusi, hingga konsumsi.

Seperti halnya penulis pernah diajarkan cara berdagang kecil-kecilan sejak usia sekolah dasar oleh orang tua yang kebetulan punya lapak di salah satu pasar, sehingga dalam proses menjual sudah menjadi kebiasaan. Lain halnya dengan anak yang diajarkan hanya terbiasa dengan membeli sehingga jiwa yang tertanam hanya cenderung konsumtif.

Membiasakan mengubah sikap pemakai/konsumtif menjadi pelaku usaha, bekerja mandiri merupakan "sekolah alam" yang akan menambah pengalaman nyata, berani jatuh bangun dalam menghadapi masalah untuk dapat dicarikan solusinya. Sisi lain dapat dipetik dari pengalaman ditempa berbagai masalah yaitu mendorong kita untuk berpikir kreatif, tidak mengenal cengeng atau manja dan selalu menggantungkan pada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun