Oleh Lindung Silaban
Dengan penampilannya hari ini, orang pasti mengira hidup Aling Ester berjalan mulus dan sepertinya ia tidak pernah hidup susah. Orang bisa saja menyebutnya sebagai perempuan keberkatan karena sukses sebagai pengrajin aksesoris dari manik-manik.
Tetapi setiap manusia memiliki cerita hidup masing-masing. Cerita itu pasti memiliki sisi unik tersendiri. Cerita kehidupan itu tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihan. Sepasti Aling. Tidak ada yang taju kalau ia nyaris mengakhiri hidupnya sebanyak dua kali, karena frustasi dan putus asa. Seperti apa kisahnya? Mari saya ceritakan.
***
PAGI itu 21 September Aling duduk di sebuah kursi di ruang kerjanya di jalan Ternak nomor 56, Medan Polonia Sumatera Utara (Sumut). Senyumnya menyapa ketika tiba di pintu rumahnya.
Ini kali pertama kami bertemu. Ia mengucapkan salam. Tampaknya dia orang yang ramah. Aling tinggal bersama keluarga kakaknya. Tanpa menunggu lama, ia mengajakku menaiki anak tangga ke lantai dua. Ia tidak bisa naik sendirian, karena kondisi fisikmya tidak mendukung. Ia kemudian dibantu seorang pendamping, Elisabeth Simanjuntak. Kemudian kami masuk ke ruang kerjanya.
Di ruang kerjanya dipenuhi hasil karyanya, beberapa tumpukan manik-manik dan alat-alat kerjanya yang terbungkus di dalam plastik. Kami duduk berselonjor di lantai karena di dalam ruang itu hanya ada satu kursi. Kemudian ia mulai bercerita dengan sesekali terbata. Ia terbata karena syaraf otaknya terganggu hingga mempengaruhi kemampuan berbicaranya.
Aling lahir normal. Perilakunya seperti bayi pada umumnya. Namun naas menimpanya. Ketika umur 7 bulan, ia mendadak demam tinggi. Step berkali-kali. Step itu terjadi berkala selama 1 tahun. Dokter menyebut, ada suatu gumpalan di otak Aling. Akibatnya, ia mengalami kelumpuhan syaraf. Semua anggota tubuhnya kaku tidak bisa digerakkan.
Selama setahun orangtuanya berusaha keras membawa Aling berobat ke berbagai dokter syaraf yang ada di kota Tanjung Balai. Tetapi tampaknya sia-sia. Orangtuanya berjuang tak kenal putus asa. Mereka kemudian memboyong Aling ke Medan.
Selama 8 tahun di Medan, Aling menjalani berbagai pengobatan dan puji Tuhan, akhirnya membuahkan hasil. Akan tetapi, Aling diperhadapkan dengan dua pilihan: Kaki bisa berjalan atau tangan lumpuh total, juga sebaliknya.
Pilihan itu sulit bagi kedua orangtuanya. Namun sebelum orangtuanya memilih, Tuhan Yang Maha Esa menitipkan kaki yang bisa berjalan tetapi tangannya lumpuh dan kaku seumur hidup.
Sejak saat itu juga Aling harus menerima keadaannya. Semua serba dibantu. Dia tidak pernah mengecap pendidikan. Tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Hari demi hari ia hidup serba dibantu oleh kedua orangtuanya. Aling melatih kakinya untuk melakukan semua aktivitas.