Membahas tema kepenulisan sungguh menarik. Bagaimana tidak. Bukankah saat berinteraksi dengan Kompasiana juga dalam rangka urusan penulisan? Tema yang satu ini juga bisa memunculkan demikian banyak sudut pandang.
Saya tertarik untuk membahas korelasi antara jumlah dan kualitas artikel yang ditayangkan dengan tingkat keterbacaannya. Saya menggunakan istilah "tingkat keterbacaan" sebagai pengganti kata asing pageviews. Entah tepat entah juga tidak. Sebab secara teknis pengertian pageviews sendiri ada bermacam-macam.
Dengan metode penghitungan yang berbeda, hasilnya akan juga berbeda. Untuk sederhananya, saya menggunakan angka-angka yang tercantum dalam artikel yang tayang di Kompasiana.
Minim Tulisan, Minim Pembaca
Hingga akhir Oktober yang lalu, sepanjang tahun 2019, saya menghasilkan 104 artikel di Kompasiana. Jadi, rata-rata saya hanya mampu menayangkan 10 artikel per bulan. Minim sekali, bukan?
104 artikel tersebut mendatangkan 24.557 orang "pembaca", sehingga rata-rata tingkat keterbacaan artikel-artikel saya sebesar 236 per artikel. Ini pun bilangan yang sangat kecil dibandingkan angka yang diperoleh para Kompasianer yang lain.
Kategori artikel yang menurut sebagian orang bisa mendatangkan kunjungan yang banyak, yakni politik, tidak ada dalam daftar saya. Hingga saat ini saya belum memiliki keberanian untuk menayangkan tulisan jenis yang satu ini.
Sementara itu, pada papan bagian bawah, artikel-artikel bergenre fiksi dan beberapa artikel yang tayang dalam program khusus Ramadan, Samber THR, mendapatkan pembaca paling sedikit. Tulisan-tulisan yang saya tayangkan pada kedua kategori itu masing-masing mendapatkan tingkat keterbacaan rata-rata di bawah 100.
Begitulah kondisi saya di jagat Kompasiana. Frekuensi tulisan saya masih sangat sedikit, ditambah dengan rata-rata keterbacaan yang juga minim.
Kualitas Tulisan