Berdirinya sebuah perusahaan tidak bisa lepas dari kesatuan ekologi lingkungan, masyarakat sekitar dimana perusahaan itu berdiri. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa perusahaan berdiri dengan tujuan memperoleh laba demi keuntungan kelompok tertentu. Harus diakui bahwa kondisi yang tidak saling mendukung antara kehadiran perusahaan dengan masyarakat sekitar maupun ekosistem yang berada disekitar perusahaan tersebut kerap terjadi ketidakharmonisan, ketimpangan sosial, pencemaran lingkungan, dll. Contoh kecil saja misalnya, sebuah perusahaan pembuatan kertas tulis memerlukan kayu sebagai bahan baku. Perusahaan mampu berdiri apabila sumber bahan baku utama ini masih tetap ada kita katakan saja dibumi ini. Dengan demikian warga yang berada ditempat eksploitasi bahan baku ini merasa mereka diganggu karena terjadi penebangan pohon sehingga dapat menyebabkan ketidaknyamanan warga selain merasa gerah, kepanasan akibat pemanasan global, mungkin merusak produktifitas lahan pertanian mereka. Secara kasat mata perlahan-lahan masyarakat akan mengalami penurunan produktivitas sehingga semakin membawa mereka pada lembah kemiskinan. Adapun perusahaan itu sendiri sudah “memanage” stabilitas keuntungan yang akan diterimanya karena tidak ada perusahaan yang mau dirugikan.
Jika melihat Peraturan yang melingkupi CSR atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, pada dasarnya terdapat tiga rujukan; Pertama, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, menerangkan mengenai aturan Program Kemitraan (PK), sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 6 membahas mengenai bantuan terhadap peningkatan usaha kecil, dan Program Bina Lingkungan (BL) diatur dalam Pasal 1 ayat 7, dimana ruang lingkup BL diatur dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e, meliputi bantuan terhadap korban bencana alam, pendidikan atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan sarana dan prasarana umum, bantuan sarana ibadah, dan bantuan pelestarian alam. Peraturan lainnya yaitu Peraturan yang mengikat Perseroan Terbatas (PT), yaitu Undang-undang No.40 Tahun 2007. Dalam pasal 74 ayat 1 diatur mengenai kewajiban Tanggungjawab sosial dan lingkungan bagi perseroan yang menangani bidang atau berkaitan dengan SDA, ayat 2 mengenai perhitungan biaya dan asas kepatutan serta kewajaran, ayat 3 mengenai sanksi, dan ayat 4 mengenai aturan lanjutan. Peraturan yang lain misalnya Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyebutkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”.
Dengan memperhatikan UU ini, muncul pro dan kontra, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sendiri mengklaim bahwa hal ini sudah merupakan diluar dari tanggungjawab perusahaan karena UU juga sudah mengatur dalam perundang-undangan formal bahwa ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai upaya respon pembagian untung perusahaan. Sebagai rakyat biasa kita memang mengharapkan yang terbaik demi peningkatan Human Development Indeks di negeri ini. Tantangan ini yang memang cukup dilema bagi perusahaan-perusahaan, selain menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah mengintervensi perusahaan-perusahaan tersebut, perusahaan juga harus memiliki nilai etika kedermawanan yang tinggi dalam usaha turut meningkatkan kesejahteraan bangsa ini.
Menurut saya, perusahaan yang berdedikasi tinggi akan menumpahkan keuntungannya demi kepentingan bersama. Kepentingan kelompok adalah nomor dua menurut saya.
Semoga perusahaan-perusahaan di negara kita ini selalu ambil sikap positif dalam mengembangkan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat kita. Mengingat potensi negara dalam usaha -usaha peningkatan kesejahteraan tidak seimbang dengan masalah yang harus diatasi.