Mohon tunggu...
Leo Star
Leo Star Mohon Tunggu... -

Ups, mau tau aja

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Keprihatinan Seorang Awam dalam Pilpres 2014

2 Juli 2014   04:17 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:54 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiap kali selesai membaca berbagai berita di berbagai media terkait dengan isu-isu di seputar kampanye pilpres 2014 yang akan datang, saya sebagai orang awam selalu tercenung mengikuti berbagai komentar pembaca yang disajikan oleh beberapa media online di negeri ini. Tak disangka pertarungan sengit perebutan pengaruh dalam mendulang suara pemilih di tingkat elit telah menjalar sedemikian jauh menyentuh ke akar rumput. Berbagai trik, taktik dan strategi yang dipertontonkan para elit tersebut turut pula mempengaruhi cara berfikir pemilih akar rumput ini. Mulai dari trik, taktik dan strategi halus hingga yang sangat kasar menjadi semacam virus ganas menyerang para pendukung, menulari cara berfikir mereka. Seringkali para elit ini dipandang hampir seperti dewa dari khayangan dengan kata-katanya yang tidak mungkin salah dan dijadikan ilham menginspirasi para pendukung. Akibatnya menjadi sangat mengkhawatirkan menurut beberapa pengamat.

Ada yang mengatakan penjalaran virus kampanye telah memakan korban retaknya hubungan pertemanan, persaudaraan hingga hubungan keluarga karena perbedaan pandangan dan pilihan pribadi masing-masing hanya akibat ketidaksukaan melihat anggota keluarga atau teman sendiri memilih pilihan berbeda. Kemudian diantaranya muncul saling serang dengan kata-kata makian dan sebagainya. Sampai beberapa pihak yang berada di posisi netral dan prihatin akan kejadian ini berulang kali meneriakkan seruan agar tetap menjaga persatuan diantara mereka yang berbeda pendapat.

Miris hati ini melihat kenyataan seperti ini. Kenapa harus sampai sebegitu seramnya kedengaran dampak pertarungan pilpres bagi kehidupan bangsa kita? Apakah kita harus memaklumi keadaan ini sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi?

Seyogyanya kita bertanya pada diri sendiri, apakah keuntungan yang kita petik dari gonjang-ganjing serang menyerang dan saling melecehkan yang terjadi dalam kampanye pilpres ini? Apakah setelah tanggal 9 Juli esok jagoan anda menang, maka dengan serta merta anda mendadak menjadi kaya raya. Atau jika anda seorang pegawai negeri, apakah dengan mendukung salah satu capres yang menang, serta merta membuat jabatan anda di kantor naik satu tingkat? Kalau itu yang terjadi, saya dapat memaklumi kengototan anda dalam mempertahankan pilihan anda. Saya pun dapat memaklumi ketika anda dengan segenap daya upaya anda mengusahakan cara-cara tak beretika menyerang lawan politik anda. Akan tetapi menjadi sangat tak masuk akal jika setelah kemenangan capres pilihan anda, ternyata posisi anda sekarang tidak akan beranjak lebih baik, meski anda telah berjuang mati-matian dengan segala cara mendukung pilihan anda. Yang tersisa hanyalah keletihan mental.

Saya dapat maklum jika hal itu terjadi ditingkat elit. Mereka mempertaruhkan segalanya demi mengejar target yang mereka bidik. Mereka tahu target mereka apa dan bagaimana harus mendapatkannya dengan segenap daya upaya. Mereka juga tahu jika mereka gagal mendapatkan target itu, kegagalan akan bisa berbalik menjadi bumerang yang fatal. Mungkin jabatan mereka yang semula dimiliki hilang lenyap. Atau mereka tidak akan mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek yang diharapkan diperoleh dengan faktor kedekatan dan dukungan yang diberikan kepada capres yang kalah. Wajar mereka bertarung habis-habisan sampai bonyok-bonyok, mereka tentu sudah memperkirakan sebelumnya, dan mereka sudah siap menanggung resiko. Jelas saja mereka harus berjuang memenangkan pilihan mereka. Lebih lagi jika mereka adalah elit partai koalisi yang diam-diam mendambakan terpilih sebagai pejabat baru di lingkungan pemerintahan pemenang pilpres.

Atau jika anda adalah seorang anak pejabat atau paling tidak keluarga pejabat yang turut menikmati imbas jabatan mereka, rasanya normal bila muncul kekhawatiran bila capres dar kubu lawan anda memenangkan pilpres karena itu bisa berarti lonceng kematian bagi posisi jabatan mereka. Anda patut tidak menyukai figur capres kubu lawan. Saya sekali lagi dapat memaklumi sikap anda yang cenderung pedas terhadap kubu lawan.

Herannya, jika anda bukan siapa-siapa, tidak memiliki kepentingan apa-apa, dan setelah pilpres kehidupan anda kembali lagi berjalan normal tanpa meninggalkan jejak pengaruh apapun secara langsung bagi peningkatan karir anda, mengapa harus ngotot mempertahankan pendapat sampai bersitegang urat leher memaki-maki, menyudutkan dan membuat pendukung lawan jengkel? Apa benar kepuasan anda setelah melecehkan capres kubu lawan meninggalkan kebahagian tersendiri di hati anda? Apakah anda merasakan arus kedamaian di hati setelah mencaci maki orang yang berseberangan pendapat dengan anda? Jikalau yang demikian yang terjadi dengan anda, yakinlah nasihat apapun yang diberikan tak akan mempan buat anda. Semuanya menjadi sia-sia belaka hilang terbakar dibawa luapan sikap emosional kita.

Alangkah mengerikannya negeri ini jika dihuni oleh orang-orang yang lebih percaya pada kekuatan otot dan caci maki demi menaklukkan orang lain. Dapat dibayangkan negeri ini seperti neraka rasanya. Teror dan intimidasi merajalela dimana-mana. Kita telah berubah menjadi robot-robot tak berperikemanusiaan terhadap saudara-saudara kita sendiri. Kita adalah robot-robot yang bergerak dibawah kendali para elit yang rakus kekuasaan dengan mengirimkan memori kebencian dan ketidak sukaan ke dalam benak kita untuk bergerak secara mekanis mengikuti kehendak para elit di atas. Sebagai akibatnya kita berubah pula menjadi sosok-sosok manusia tidak rasional, menjadi orang-orang yang berfikir kusut, yang dengan cepat terbakar emosinya menanggapi berbagai isu dari pihak lawan. Kita juga berubah menjadi zombie mematikan dengan menyebar berbagai fitnah dan pelecehan yang ditujukan pada capres lawan. Dimanakah akal dan nurani kita telah kita tempatkan? Dimanakah kejernihan berfikir orang timur yang terkenal santun dengan kearifannya itu? Sudah hilangkah ditelan jaman, dimakan pertarungan sengit pilpres?

Oleh karenanya, saya, sebagai bagian anak bangsa yang prihatin ingin mengajak kita semua untuk mengkaji ulang semangat kita yang agak kebablasan. Mari kita renungkan untung ruginya bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi sahabat-sahabat kita, bagi siapapun insan di negeri ini. Ijinkanlah rem kesadaran kita bekerja mengendalikan sikap emosional kita. Mari kita kedepankan cara-cara yang santun dan beretika. Kedepankan sikap arif dalam menimbang berbagai persoalan. Timbanglah semua isu dengan semangat keadilan dalam mendapatkan informasi yang benar. Berfikirlah dengan hati nurani dalam kapasitas nalar kecerdasan kita, tidak dengan menggunakan cara-cara yang membutakan nurani atau menularkan kebutaan nurani kepada orang lain. Apabila kita menetapkan pilihan, pertimbangkanlah dari segala sudut pandang. Janganlah melihat sudut pandang yang hanya ingin kita lihat sendiri. Lihat juga sudut pandang dari sisi lain yang biasanya selalu kita tolak karena kita sudah terpaku akan pilihan kita. Masih ada beberapa hari kedepan sebelum 9 Juli nanti, memberi kita cukup waktu untuk menimbang dengan seksama apa yang selama ini menjadi pilihan kita.

Sebaiknya kita tidak memilih berdasarkan hasutan orang lain akan tetapi berdasarkan pertimbangan hati nurani dan rasionalitas berfikir. Jaman ini segala informasi yang kita butuhkan dengan mudah dapat kita peroleh di laman-laman terpercaya. Dengan ketersediaan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan, maka saya percaya pertimbangan pilihan kita dapat diharapkan menjadi lebih akurat. Mari kita buat riset kecil-kecilan dengan membuat table kemungkinan dari masing-masing capres secara cerdas. Jauhkan segala rasa sentiment terhadap masing-masing capres. Dengan begitu, kita mampu membuat kalkulasi politik mendekati realitas sesungguhnya. Dengan begitu pula kita tidak gegabah dalam menentukan pilihan. Ini demi menghindari diri dari rasa penyesalan kelak apabila capres yang kita dukung ternyata bertindak diluar harapan kita kelak. Siapa yang dirugikan? Tentunya kita sendiri, bukan?

Saya sudah melakukan kalkulasi itu dengan segenap upaya yang saya anggap sangat rasional dengan menyingkirkan rupa-rupa sentiment di hati saya pada yang lain. Pilihan saya akan saya jalankan nanti di bilik suara mengikuti kalkulasi itu. Apakah anda tertarik melakukannya juga?

Akhir kata saya mengucapkan selamat menentukan pilihan secara cerdas dan bermartabat!

Wassalam

dari sudut kota Jakarta, 1 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun