Dalam setiap debat, acara kampanye, maupun saat tampil di berbagai media, Ahok-Djarot selalu mengkalim kepemimpinan mereka terbukti berhasil merubah wajah DKI Jakarta. Para pendukungnya pun seringkali mengatakan kepada warga untuk memilih yang sudah ‘terbukti’. Mereka juga mengkontraskan kata ‘terbukti’ dengan ‘yang hanya janji’ untuk menyindir pasangan lawan yang berniat menggantikan mereka sebagai pucuk pimpinan pemerintahan di DKI Jakarta.
Karena itu Ahok-Djarot dan para pendukungnya mengklaim layak diberikan “kali kedua” seperti salah satu lagu penyanyi cantik Raisya. Kali kuda yang merujuk pada harapan Ahok-Djarot untuk diberikan kesempatan yang kedua kali untuk memimpin warga DKI Jakarta. Pertanyaannya adalah layakkah Ahok-Djarot diberikan kesempatan kedua?
Secara jujur harus diakui bahwa ada perubahan wajah Jakarta, terutama semenjak Presiden Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta dan Ahok menjabat wakil. Kita tahu bahwa beberapa kebijakan besar, seperti pembangunan infrastruktur, dimulai pada masa Jokowi-Ahok ini. Namun, setelah Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, persis pembangunan di Jakarta terbilang tidak berubah banyak. Memang paras Jakarta terlihat lebih rapih, tapi di tempat-tempat tertentu.
Sementara itu pembangungan sumber daya manusia di Jakarta pada dasarnya tidak banyak berubah. Jumlah warga miskin kota masih tinggi, anak putus sekolah juga masih tinggi, terlebih jika kita merujuk pada problem-problem laten di Jakarta, seperti kemacetan, banjir, dan tingginya harga kebutuhan pokok dan biaya hidup.
Gaya kepemimpinan Ahok sebenarnya mirip rezim pembangunan, yang sekedar peduli pada bukti fisik dari pekerjaan pemerintahannya. Sementara itu, aspek-aspek lain menyangkut kebutuhan dasar setiap hati warga Jakarta masih menjadi persoalan mendasar. Misalnya, biaya transfortasi masih terbilang tinggi dan pada akhirnya mempengaruhi harga kebutuhan pokok. Pendidikan memang disubsidi, tapi anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan dibiarkan terlantar.
Yang terdengar sebagai prestasi Ahok justru penggusuran dan keahliannya membuat masyarakat marah dan sakit hati. Karena itu, kegagalan kepemimpinannya kemudian tertutupi oleh sikap kasar dan arrogant selama ia masih menduduki orang nomor 1 di DKI Jakarta. Karena itu wajar jika ia justru banyak mengumbar janji di masa kampanye ini.