Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Glodok, Mangga Dua, Thamrin City Tutup, Takut Razia dan Gagal Paham Para Pedagang

27 Oktober 2015   18:37 Diperbarui: 29 Oktober 2015   13:50 112547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di pusat perbelanjaan elektronik Glodok, Mangga Dua dan Thamrin City, Senin siang (26/10/2015) mendadak sepi. Sebagian besar toko-toko yang biasanya ramai, mendadak tutup. Begitu para pedagang mendengar ada razia dari  petugas, sontak para pedagang langsung menutup tokonya. Pasar pun lumpuh. Pembeli yang datang gigit jari. Para pedagang takut dan tidak berani membuka toko, takut dirazia. Aktivitas pusat perbelanjaan Glodok, Mangga Dua dan Thamrin City yang biasanya ramai pengunjung untuk bertransaksi handphone, kamera, televisi dan barang elektronik lain, tiba-tiba sepi.

Ketakutan para pedagang itu sebetulnya sangat beralasan. Dari informasi yang cepat beredar melalui mulut ke mulut, tersebar isu bahwa ada razia non standar nasional Indonesia (SNI) dan produk impor illegal. Menurut pengakuan para pedagang, razia memang dilakukan pada Senin pagi. Petugas razia menyisir sisi depan hingga belakang toko di Thamrin City. Lalu informasi di Thamrin City segera menyebar ke Glodok dan Mangga Dua. Akibatnya, para pedagang ketakutan lalu secepat kilat menutup kios atau tokonya.

Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa para pedagang ketakutan jika mendengar kata ‘razia’? Bukankah razia itu hanya menyasar mereka yang bersalah? Apakah para pedagang yang menutup toko mengaku salah menjual barang illegal atau takut dikadali alias dipalak oleh oknum-oknum petugas yang tak bertanggungjawab? Mari kita teropong ketakutan pedagang itu, wewenang para petugas razia dalam kaitannya dengan perang terhadap barang-barang impor illegal yang dilakukan pemerintah dengan hati damai dan pikiran jernih.

Indonesia adalah surga bagi barang bajakan, barang palsu dan barang impor illegal. Indonesia sama dengan China, sebuah negara yang ahli meniru dan memalsukan barang. Indonesia berguru pada China. Dan karena para pedagang Indonesia kiblatnya ke China, maka tak heran barang-barang impor dari China baik yang illegal, legal, asli, palsu yang disebut kw 1, kw 2, bajakan, membanjiri Jakarta, Surabaya dan Medan. Tak peduli apakah ada label SNI-nya atau tidak. Bahkan label SNI itu pun bisa dipalsukan dengan amat cerdiknya. Peniru, pemalsu dan penjual lebih cerdik dari pemerintah.

Para pedagang bersorak dan para pembeli bersuka cita. Mereka berpesta pora atas jerih payah orang lain, tidak membayar pajak karena diselundupkan. Penjual untung besar karena barang asli namun karena diselundupkan harganya murah namun dijual mahal, sama dengan barang lainnya yang legal. Penjual manggut-manggut karena barang idamannya didapat dengan harga yang agak murah. Seringkali barang selundupan itu palsu namun persis dengan aslinya. Harga murah-meriah, asli tapi palsu, palsu tapi asli merocoki otak penjual dan pembeli. Antara pedagang dan pembeli saling membutuhkan. Terjadi simbiosis mutualisme.

Pedagang memperoleh keuntungan yang besar. Pembeli mendapat barang murah namun asli, asli namun palsu. Keduanya menari di atas pembajakan hak cipta, berkelit dari pajak seharusnya dibayar dan makmur serta merasa nikmat di atas penderitaan orang lain. Praktek semacam ini telah berlangsung lama dan menciptakan segelintir orang-orang yang kaya raya, yang hartanya dan rumahnya, tokonya, propertinya tersebar di seantero nusantara dan berbagai belahan dunia. Lihatlah uang WNI yang disimpan di Singapura, ada 4.300 triliun yang disimpan di sana atas nama WNI. Belum lagi di Swiss, Swedia, Taiwan dan Hongkong.

Hasil bumi Indonesia diisap dan mengalir kencang ke luar negeri. Indonesia hanya dipandang sebagai ladang untuk mencari duit, ladang untuk bertarung, ladang untuk 'bermain curang nan cerdik'. Setelah uang terkumpul, lalu dialiri ke luar negeri untuk kemudian dinikmati di rumah, apartemen, kondominium paling mewah, hotel paling mewah, kapal pesiar paling mewah, makanan, pakaian yang serba brand nomor satu. Sementara itu ratusan juta rakyat Indonesia tetap miskin, miskin di tanah kelahirannya, di alam yang sebetulnya serba kaya.

Pemerintahan Jokowi sadar betul atas ketimpangan dan permainan itu. Pemerintahan Jokowi mencari penyebabnya. Dan salah satu penyebabnya adalah banyaknya oknum pengusaha yang sangat pintar menghindari pajak, memalsukan barang, menyelundupkan barang, membajak hak cipta. Itulah sebabnya pemerintah menyatakan perang terhadap barang impor illegal dan pembajakan hak cipta. DVD bajakan, obat palsu, spare part palsu, jam tangan palsu, mainan anak palsu bercampur dengan asli baik yang dibuat di ruko-ruko atau rumahan maupun yang diimpor secara illegal menciptakan keriuhan pasar yang kalau tidak hati-hati konsumen yang tidak mengerti kerap kali terkadali.

Sudah lama pemerintah dengan berbusa-busa mulut, memberi penyuluhan tiada henti kepada semua elemen masyarakat  agar jangan menjual barang barang palsu dan membelinya. Pemerintah sampai lidahnya kelu meminta kepada penjual agar jangan menjual barang bajakan, palsu, tiruan, expire, tak bermutu. Namun pedadang, tak mau tahu, yang penting untung, untung, untung, kaya, kaya,kaya.  Pemerintah juga sudah mengerahkan kemampuan untuk mensosialisakan daftar barang-barang yang wajib berlabel SNI itu seperti mainan anak demi generasi masa depan bangsa. Undang-undang telah dibuat untuk memberi sanksi baik kepada pengedar maupun kepada pembeli, namun masih belum ada nyali pejabat berwewenang untuk menerapkannya secara tegas dan keras.

Akan tetapi fakta di lapangan mengatakan bahwa ada permintaan, maka ada upaya-upaya berbagai cara untuk memenuhi permintaan itu. Ditambah dengan oknum-oknum aparat yang seharusnya menjaga, mengawasi, menangkap para pembuat barang-barang palsu, tak sesuai dengan SNI atau mengimpor secara illegal, turut serta melindungi para pelaku importir dan para pedagang itu sendiri. Pembeli apalagi. Jarang sekali pembeli barang tiruan misalnya barang DVD bajakan yang ditangkap lalu dimasukkan ke penjara akibat perbuatan membeli barang bajakan itu. Padahal undang-undangnya ada.

Maka Kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memerangi barang-barang impor ilegal dan belum memiliki SNI adalah usaha sah dan konstitusiona. Juga implementasi atas Permendag Nomor 72 dan 73 Tahun 2015  dengan wewenang merazia dan melakukan penindakan terhadap barang-barang para pedagang adalah dibenarkan oleh undang-undang. Hal itu juga sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 tentang kenyamanan berusaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun