Mohon tunggu...
Kusno Haryanto
Kusno Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Apoteker yang Merdeka

Assessor Of Competency BNSP No.Reg.MET.000.003425 2013, Apoteker alumni ISTN Jakarta, Magister Farmasi Universitas Pancasila Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Beginilah Senang-susahnya setelah Lulus Jadi Apoteker

19 November 2016   11:47 Diperbarui: 19 November 2016   20:31 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - apoteker. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Boleh disimpulkan 100% mereka yang kuliah mengambil jurusan S1 Farmasi setelah diwisuda punya keinginan melanjutkan ke jenjang profesi untuk mengambil profesi apotekernya melalui program studi profesi Apoteker. Distribusi program studi profesi Apoteker yang ada di baik universitas atau institut baik negeri maupun swasta yang sesungguhnya tidak merata di Indonesia menyebabkan banyak sekali anak muda yang bergelar Sarjana Farmasi dari berbagai perguruan tinggi di luar pulau Jawa berbondong-bondong datang dan merantau ke Pulau Jawa untuk menggapai impiannya menjadi seorang apoteker. 

Kebanyakan dari mereka umumnya menjadikan Jakarta sebagai kota pilihan untuk mengejar cita-citanya itu dengan berbagai alasan, yang di antaranya ingin pula sekolah sambil merasakan hingar-bingar kehidupan di kota besar Jakarta yang menjadi ibu kota dari negara Indonesia. Setelah menjadi mahasiswa dari program studi profesi Apoteker sampailah mereka pada kenyataan bahwa tugas dan kegiatan kuliah Apoteker sungguh sangat mengganggu rencana mereka untuk sekadar menikmati gemerlap kehidupan di kota besar seperti Jakarta ini, walau tidak sedikit pula dari mereka yang benar-benar mampu membagi waktu untuk berpelesiran di sela-sela kesibukannya bahkan sampai keluar Jakarta sekalipun.

Kemarin di tahun ini, tiga atau empat bulan yang lalu mereka yang mengambil program studi profesi Apoteker pada tahun 2015 rata-rata sudah menyelesaikan pendidikan Apotekernya. Mereka sudah diwisuda sebagai apoteker dan bahkan sudah pula dikukuhkan sebagai apoteker dengan prosesi acara pengucapan sumpah apotekernya. Ada rasa haru dan bangga bagi mereka pada kedua acara tersebut yang umumnya juga dihadiri oleh orang tua dan handai taulannya yang melihat langsung acara-acara yang hanya dilakukakan sebagai tradisi luhur bagi seorang apoteker. 

Saat upacara pengucapan sumpah selesai, kepada mereka biasanya dibagikan tiga dokumen yang langsung bisa diterima pada saat itu juga. Ketiga dokumen yang sebenarnya sudah melegalkan mereka untuk sah menjadi seorang apoteker di negeri ini adalah Surat Tanda Registrasi Apoteker, Sertifikat Uji Kompetensi Apoteker, dan Surat Pengucapan Sumpah sebagai Apoteker. Sampai pada peristiwa ini, mereka sangat senang dan bahagia walau sebenarnya kepada mereka belum dibagikan ijazah dari perguruan tinggi tempat mereka belajar apoteker.

Setelah euforia keberhasilan mereka menjadi apoteker yang bisa menghabiskan waktu seminggu itu berlalu, barulah mereka menyadari bahwa mereka harus segera bekerja untuk setidaknya segera dapat menghidupi dirinya bila ingin tetap tinggal di Jakarta. Dimulailah kehidupan mereka yang sesungguhnya untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Tahapan awal mereka dimulai dengan beramai-ramai mendatangi kampus masing-masing untuk membuat surat keterangan lulus yang lebih familiar diucap sebagai SKL di kalangan mereka. Bukanlah perkara yang mudah dan ringan untuk mendapatkan SKL itu. Mereka harus menunggu bahkan bisa sampai memakan waktu seminggu walau tidak sedikit pula yang bisa mendapatkan SKL dalam hitungan jam. 

Variatifnya waktu untuk mendapatkan SKL ini lebih dikarenakan ”sibuk” atau tidaknya seorang Dekan yang akan menandatangani SKL yang diminta oleh mereka. Bila mereka ternyata mendapatkan dekan yang merasa dirinya sebagai tokoh penting yang sedang dicari-cari untuk mendapatkan SKL, tidaklah mudah untuk mendapatkan selembar kertas itu. Sebaliknya, jika mereka memiliki seorang dekan yang bertanggung jawab kepada alumninya, mereka hanya dalam hitungan jam bahkan menit sudah bisa mendapatkan SKL. Kesimpulan penulis, apa pun alasannya dekan yang berlama-lama dalam urusan SKL adalah dekan yang “sibuk”. Dari urusan SKL yang sulit inilah peristiwa senang dan bahagia mulai melarut menjadi susah dan menyebalkan.

Peristiwa senang kembali muncul ketika biasanya ada pengumuman akan dilaksanakan tes seleksi dari “perusahaan anu” yang sedang membutuhkan banyak apoteker untuk ditempatkan di berbagai apoteknya. Tes dilaksanakan di kampus. Rasa senang dan bahagia kembali muncul karena pada persyaratan bagi mereka yang berminat mengikuti tes tidak diwajibkan membawa SKL apalagi ijazah karena si “perusahaan anu” sudah memiliki MoU dengan pihak kampus. 

Setelah diumumkan hasil dari tes itu didapat dua perasaan lagi, yakni senang dan susah, di mana rasa senang tentunya hanya bagi mereka yang diterima dan akan segera bekerja di apotek “perusahaan anu”. Bagi yang tidak lulus tes umumnya kembali melanjutkan perjuangannya. Mereka segera membuat KTA IAI (Kartu Tanda Anggota Ikatan Apoteker Indonesia) untuk pengurusan mutasi atau lolos butuh. Nah, sampai peristiwa ini mulailah mereka mengeluh kepada seniornya atau yang dianggap lebih senior tentang susahnya mencari pekerjaan kalau belum menerima dan memegang ijazah apotekernya. Di akhir cerita mereka pun meminta diberi informasi bila ada lowongan kerja sebagai apoteker. Sampai sini rasa susah kembali menghinggapi perasaan mereka.

Banyak kawan penulis yang bahkan sampai seorang Kaprodi Apoteker (yang terhormat dan kami banggakan Bpk. Tahoma Siregar) terus berbagi informasi soal lowongan kerja bagi apoteker-apoteker muda di banyak tempat dengan harapan agar mereka segera bekerja dan mengaplikasikan ilmu yang didapat agar mereka terus berkembang. Tapi sayang beribu sayang, apoteker-apoteker muda ini lebih memilih tidak melanjutkan informasi soal lowongan kerja sebagai apoteker dikarenakan upah yang akan mereka terima sungguh tidak memadai dan cenderung tidak menghargai profesi yang disandangnya. 

Penolakan mereka terhadap upah yang kecil bukanlah suatu kesombongan, tetapi lebih kepada menjaga kehormatan dan martabat profesi apoteker itu sendiri. Walaupun sesungguhnya ada juga beberapa teman dari penulis yang mendapatkan upah yang mewah di tempat kerjanya dan bahkan menjadi pengusaha dengan membuka banyak apotek, tetapi persoalan upah murah bagi seorang apoteker masihlah menjadi momok yang menakutkan bagi para apoteker muda. 

Entah di mana akar masalah dari upah yang murah ini terus berlaku bagi apoteker. Solusi sederhana dan paling mungkin adalah memberi mata kuliah entrepreneur bagi mahasiswa program studi profesi Apoteker sehingga istilah senang-susah setelah lulus menjadi apoteker berubah menjadi “senang-senang setelah lulus menjadi apoteker”. Selamat datang apoteker muda, selamat datang apoteker 30, semoga kalian mampu mendunia seperti slogan yang kalian banggakan “menjadi Apoteker dunia”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun