Dear, tuan Presiden! Salam hitam semesta!. Salam hormat pula bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam hangat juga kepada siapa saja, sebagai "mereka" yang telah memahat darat, laut serta langit Nusvantara hingga merupa sebagai negeri dengan cita mereka sendiri.
Agustus dan proklamasi. Nyata sudah bahwa pada bulan bersejarah bagi republik ini, kemerdekaan saya hingga detik ini belum juga kembali. Bertahun - tahun pula saya harus menghadapi ragam bentuk persoalan, gangguan bahkan hingga ancaman dari "mereka", yang masih saja berkutat dengan aksi pemaksaan kehendak tanpa henti terhadap seorang tokoh ulama demi perkara serta satu tuntutan: Bunuh!
Selama itu pula saya sudah melakukan berbagai upaya dalam menghadapi mereka. Mulai dari upaya selurus hukum langit, yakni diam, bersabar, mengajak dialog, bahkan hingga dengan ikhlas mempersilahkan "mereka" untuk segera membunuh saya tanpa perlawanan. Sampai pula harus terpaksa dengan jalan menantang atau hingga menyerang anggota TNI, dengan harapan agar "mereka" yang sakti mandra guna lebih leluasa untuk membunuh saya secara cepat tepat senyap.
Alhasil, inilah saya. Kali ini berkesempatan menuliskan tiap aksara rasa yang saat ini sedang tuan Presiden serta rakyat Indonesia baca. Alhasil inilah saya. Masih apa adanya, tak lupa pula untuk menyisipkan sebuah lagu yang saya cipta sebagai seorang seniman. Seniman yang masih apa adanya. Seniman yang belum berakhir. Tak lain tak bukan lewat lagu ini, agar tak perlu lagi terbata - bata ketika satu - persatu mengeja rasa sendiri:
---------------------------------------------
Maaf Izinkan Aku Sementara Menumpang...
Kali ini aku terpaksa kembali lagi.
Menapaki jalan yang sama beserta kalian,
tuk jalani aktivitas roda kehidupan.
Meski aku tak bisa lagi sebebas kalian.
Untuk cari sesuap nasi dan setetes minuman.