Istilah buzzer atau pendengung tengah menjadi pusat perbincangan. Sayangnya, narasi yang muncul membuat aktivitas ini mendapatkan label/image yang buruk.
Buzzer (sebagaimana sebagian orang telah menganggap peran ini sebagai profesi berbayar) memang berkontribusi besar dalam pembangunan opini publik.Â
Tak hanya di bidang politik, ragam sektor bisnis jamak menggunakan jasa buzzer untuk menggaungkan produk mereka. Sebutlah kecantikan, transportasi, medis, kuliner, perbankan, hingga sektor publik. Tujuannya tak selalu demi membangun opini publik atas kampanye tertentu, tetapi juga mengedukasi, meningkatnya awareness, dan membangun diskusi.
Pegiat Media Sosial, Pepih Nugraha, mengatakan pendengung adalah sebuah keniscayaan di era digital. Mereka tidak bisa dihilangkan, karena setiap netizen punya keunggulan dalam menyampaikan informasi lantaran daya injeksinya ke masyarakat level mikro.
"Menghantam buzzer berarti menghantam kemuskilan. Ini fenomena sosial," seperti dikutip oleh Kompas.id.
Meski tak memungkiri peran buzzer, di sisi lain ia juga mengingatkan agar para buzzer memberi dampak positif.
Menurut Mohammad Rinaldi Camil peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), kemunculan fenomena buzzer perlu dibarengi dengan upaya pencerdasan publik. Hal ini perlu digalakkan supaya masyarakat memiliki filter menghadapi buzzer yang melakukan manipulasi opini.
"Intelektual perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan dan tahu mana yang positif dan negatif," kata dia seperti dilansir Kompas.com.
Nah, Kompasianer, bagaimana Anda menanggapi fenomena buzzer belakangan ini? Apakah kehadiran buzzer memberikan dampak positif, atau justru berdampak negatif? Bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi buzzer di era digital saat ini? Atau Anda ingin memberi tips cara menjadi buzzer yang beretika?
Tuliskan ulasan/opini Anda di Kompasiana dengan menyematkan label Fenomena Buzzer (menggunakan spasi) pada tiap artikelnya.