Pekan ini jagad pemberitaan dipenuhi oleh penolakan Kepala Badan Pengawas Obat dan  Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI) Penny K. Lukito yang melarang pencantuman label 'Palm Oil Free' (POF) pada setiap produk obat, makanan dan kosmetika yang beredar di Indonesia.
Menurut Penny gerakan POF yang diusung oleh negara-negara maju itu, justru akan memperlemah daya saing produk nasional, baik secara domestic maupun mancanegara. "Indonesia adalah salah satu produsen sawit dan turunannya yang  terbesar di dunia. Dengan mengikuti gerakan ini, jelas akan memperlemah daya saing industri nasional," kata Penny.
Seperti diketahui, gerakan POF telah bergema sejak beberapa tahun lalu di Eropa. Masyarakat negara itu beranggapan bahwa sawit dan turunannya mengandung kadar kolesterol yang sangat tinggi, sehingga membahayakan bila dikonsumsi.
Pengaitan tingginya kadar kolesterol yang berdampak buruk bagi kesehatan ini makin digencarkan pada tahun 2000-an. Berbagai konferensi kesehatan dunia sepakat untuk meminimalisasi penggunaan sawit dalam produk makanan, obat dan produk lain yang langsung dikonsumsi oleh masyarakat.
Bahkan, Menteri Lingkungan Prancis Sigolene Royal dengan tegas melarang produk coklat 'Nutella' yang memiliki kadar kandungan minyak sawit tinggi. Upaya Prancis ini pun diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya.
Gerakan ini kemudian surut karena terbukti berdasarkan sejumlah riset yang dilakukan oleh lembaga kesehatan internasional, kandungan minyak sawit tidak berkaitan secara langsung terhadap kesehatan, khususnya peningaktan kadar kolesterol.
Terbentur dengan langkah ini, negara-negara maju kemudia mengarahkan 'sasarannya' pada peningkatan suhu bumi yang disebabkan karena  'emisi' Green House Gas (GHG) yang berasal dari negara-negara tropis dan produsen kelapa sawit.
Tidak Empiris
Kita mengetahui bahwa gerakan itu tidak memiliki fakta-fakta yang empiris, dunia telah mengetahui bahwa peningkatan suhu bumi disebabkan oleh naiknya penggunaan energi fosil yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Negara-negara pensuplai tertinggi emisi GHG adalah Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok dan India. Negara-negara tersebut menyumbang lebih dari 50% GHG dunia. Data Badan Pangan Dunia (FAO) mengungkapkan kontribusi pertanian terhadap GHG hanya 11% saja. Indonesia hanya berkontribusi 4% dalam GHG internasional.