Mohon tunggu...
Kanopi FEUI
Kanopi FEUI Mohon Tunggu... -

Untuk artikel terbaru dari Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) FEBUI, silahkan kunjungi dan ikuti akun baru kami: http://kompasiana.com/kanopi_febui

Selanjutnya

Tutup

Money

High Cost Economy di Indonesia dan Implikasinya terhadap Daya Saing Indonesia

10 April 2011   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 2513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemberlakuan ASEAN - China Free Trade Area (ACFTA) dapat dikatakan sebagai suatu peluang bagi industri domestik untuk melakukan ekspansi ke pasar Cina dan Asia Tenggara. Namun, pendapat ini masih diragukan karena dalam kenyataannya daya saing industri domestik Indonesia relatif masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan Cina dan negara-negara anggota ASEAN lain. Berdasarkan analisis Kementrian Perindustrian, daya saing produk-produk industri dan manufaktur Indonesia ke sesama negara ASEAN hanya 15% yang memiliki saing kuat dan hampir 60% produk memiliki daya saing yang lemah. Lain halnya terhadap Cina, daya saing produk Indonesia yang bersifat kuat hanya 7%, sisanya memiliki daya saing sedang 29% dan lemah 55%.

Lalu, apakah sebenarnya yang menjadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia apabila dibandingkan dengan Cina. Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, dalam suatu wawancara pernah menjelaskan bahwa daya saing atau competitiveness itu ditentukan oleh banyak faktor, meliputi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal sendiri berkaitan erat dengan daya saing dan keunggulan komparatif dari negara lain yang menjadi pesaing Indonesia. Sebagai contoh, produk X buatan Cina yang memiliki harga yang sangat murah dan skala produksi yang amat besar sulit untuk disaingi oleh Indonesia sehingga membuat daya saing Indonesia rendah untuk produk X tersebut apabila dibandingkan dengan Cina. Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang menentukan daya saing produk, khususnya yang berkaitan dengan faktor domestik, meliputi sumber daya manusia/tenaga kerja, investasi, biaya produksi, dan teknologi. Faktor-faktor internal inilah yang memerlukan pembenahan dan perbaikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yang menyeluruh.

Rendahnya daya saing produk Indonesia dalam perdagangan internasional yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dari dalam negeri dapat dikaitkan dengan adanya ekonomi biaya tinggi atau high cost economy yang masih eksis dalam perekonomian nasional. Terdapat beberapa aspek yang menimbulkan high cost economy di Indonesia, antara lain masalah tenaga kerja, masalah suku bunga kredit/biaya pinjaman yang tinggi, masalah birokrasi/politik yang memakan biaya tidak sedikit, dan masalah infrastruktur. Kelima aspek tersebut akan dipaparkan lebih lanjut untuk menganalisis penyebab high cost economy di Indonesia yang berimbas pada lemahnya daya saing produk dalam negeri dibandingkan dengan produk buatan Cina.

Masalah Tenaga Kerja

Masalah tenaga kerja/buruh merupakan salah satu penyebab timbulnya high cost economy di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan daya saing produk mainan anak buatan Indonesia sulit bersaing dengan produk serupa buatan Cina. Widjanarko Tjokroadosumarto, Chairman Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) mengungkapkan terdapat perbedaan perlakuan terhadap buruh yang kemudian menimbulkan pada high cost economy. Buruh di Cina memperoleh fasilitas lebih baik dibandingkan buruh di Indonesia. Meskipun hanya menerima gaji sebesar USD 100, buruh di Cina pada umumnya tidak perlu mengontrak rumah karena pemerintah daerah menyediakan mess pekerja yang disewakan dengan harga yang murah. Lain halnya dengan buruh di Indonesia yang 30% dari gajinya digunakan untuk biaya kontrak rumah.

Walaupun labor costs di Indonesia relatif lebih rendah daripada negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Vietnam), biaya untuk memberhentikan tenaga kerja di Indonesia sangat tinggi apalagi saat terjadi pemberhentian karyawan dalam jumlah besar. Saat isu terjadinya PHK massal biasanya buruh di Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pemberian pesangon yang tinggi. Hal ini kemudian turut pula menjadi penyebab high cost economy.

Selain itu, upah minimum regional di wilayah urban yang lebih tinggi membuat perusahaan banyak membangun pabrik dan mempekerjakan buruh di wilayah rural yang upah minimumnya lebih rendah. Hal ini kemudian akan berimplikasi pada meningkatnya biaya transportasi dan pengeluaran infrastruktur penunjang (kedua aspek ini akan dibahas pada bagian berikutnya).

Masalah Birokrasi

Masalah birokrasi dan faktor politik diyakini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya high cost economy di Indonesia. Biaya birokrasi, baik yang resmi maupun tidak resmi di beberapa daerah dapat mencapai 20% dari biaya produksi. Tingginya biaya birokrasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan harga output yang diproduksi Indonesia menjadi lebih mahal bila dibandingkan dengan produk buatan Cina. Lebih lanjut, biaya high cost economy yang disebabkan biaya birokrasi ini juga akan membuat biaya ekspor Indonesia lebih tinggi daripada para kompetitornya, termasuk Cina.

Masalah birokrasi ini semakin diperparah dengan mental korup para pejabat pemerintahan. Untuk menjamin kelancaran usaha dan kemudahan dalam mengurus perizinan, tak jarang pengusaha-pengusaha harus memberikan uang pelicin kepada pejabat terkait. Jumlah uang pelicin yang diberikan pun jumlahnya tidak sedikit sehingga total biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk menjalankan usaha semakin membengkak.

Masalah Suku Bunga Kredit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun