Restorasi film Tiga Dara berhasil dengan memuaskan. Fihak yang melakukan restorasi bukan saja berhasil menyelamatkan aset nasional yang bisa jadi punah akibat rusak, tetapi juga melahirkan kembali film itu yang disutradarai oleh Usmar Ismail seolah-olah penonton seperti saya hadir pada 1950-an. Bagi saya film selain merupakan cerminan masyarakat pada zamannya, ia juga merekam suasana pada zamannya. “Tiga Dara” misalnya merekam gaya rambut, mode pakaian, suasana kota, termasuk juga gaya hidup pada masanya.
Restorasi film sama dengan menyelamatkan dokumen sejarah. Nilainya sejajar sumber primer untuk penulisan sejarah sosial, sama kuatnya dengan surat kabar, naskah kuno, arsip yang terbit pada suatu zaman. Kalau sebuah surat kabar 1950-an rapuh tentu hanya memberikan informasi yang sepotong, tetapi kalau maish utuh informasi yang disajikan dan direkamnya lebih sempurna. Begitu juga dengan restorasi film jadul,
Catatan pertama pada sinematografi. Kalau sebelum restorasi sosok aktrisnya karena gambarnua buram, tak tampak apa daya tariknya. Tetapi setelah restorasi, saya bisa membayangkan pantas saja Mieke Widjaja menjadi aktris menghebohkan pada pesta di Hotel Homann Bandung pada Februari 1957 [1]. Indriati Iskak karirnya melesat setelah membintangi Tiga Dara bahkan ke dunia tarik suara. Pada akhir 1950-an Indriati popular sebagai penyanyi dalam grup vokal yang dinamakan Baby Dolls yang juga mahir memainkan lagu-lagu irama Cubana dan Rumba. Selain Indriati Iskak kelompok vokal ini berisi nama Baby Huwae, Gaby Mambo dan Lientje Tambayong. Publik kemudian mengenal nama terakhir ini sebagai Rima Melati [2] Adiknya pun juga terdongkrak menjadi aktris. Filmnya dan para bintang-bintangnya praktis menjadi pop art Indonesia 1950-an seperti yang saya ungkap di tulisan sebelumnya [3].
Lagu-lagunya juga populer. Selain lagu “Tiga Dara” sendiri pada awal film, “Pilih Menantu” yang diyanyikan Bing Slamet dan Ratna dengan latar belakang suasana Blok M 1950-an, Sam Saimun, penyanyi asal Bandung yang populer di era 1950-a, hingga Said Effendy yang menjadi sulih suara Bambang Irawan dalam lagu “Tamasya”. Hanya saja dalam “Tiga Dara” hasil restorasi, lagu-lagunya dinyanyikan ulang oleh penyanyi masa kini seperti Bonita, Aimee Saras, Aprila Sari, Monita Tahalea, Anda Perdana, Nesia Ardi, Danilla, Indra Aziz, dan Mondo Gascaro. Hasilnya? Saya terkecoh rasanya saya mendengar lagu itu dinyanyikan dengan cara, suasana dan juga penyanyi “tempo doeloe”. Rasanya riset termasuk juga mencari instrumen musiknya bukan pekerjaan mudah. Ini kelebihan kedua Tiga Dara hasil restorasi selain berhasil membersihkan gambar.
Jadi begitu besar dampak berantai kehadiran Tiga Dara di jagad perfilman Indonesia, maka pihak yang melakukan restorasi sudah tepat memilih Tiga Dara.
Tiga Dara adalah film kedua yang direstorasi setelah Lewat Djam Malam, kebetulan kedua-duanya karya Usmar Ismail dan kedua menjadi wakil era awal 1950-an di mana isu Perang Kemerdekaan Indonesia menjadi tema utama sineas masa itu, sementara Tiga Dara yang dirilis pada 1956 adalah momen untuk era berikutnya, di mana penonton sudah menghendaki tema yang lebih menghibur tetapi tetap membumi. Sebagai catatan film hollywood yang mendominasi bioskop Indonesia di Jakarta dan Bandung pada pertengahan 1950-an adalah drama musikal.
Berdasarkan berbagai sumber proses restorasi film yang telah berusia 60 tahun ini tidak mudah. Bukan saja biayanya mahal. Dalam sebuah konferensi Manajer Film Indonesia, Lintang Gitomartoyo mengungkapkan tantangan utama adalah ia belum pernah memperbaiki film dalam bentuk fisik celluloid. Praktis ia menjadi orang pertama yang melakukan tahap restorasi film Tiga Dara di Bologna, Italia. Perbaikan ada dua tahap, yakni inspeksi dan reparasi [4]. Bahkan Tiga Dara menjadi salah satu film Indonesia pertama yang direstorasi ke format 4K dan juga di Asia dan akan disiarkan ke publik [5]
Saya mengusulkan film berikutnya yang direstorasi dan dirilis adalah Asrama Dara. Film yang juga karya Usmar Ismail ini ramai diiklankan di bioskop awal 1960 juga drama musikal. Bintang-bintangnya sebagian sudah membintangi Tiga Dara,misalnya Chitra Dewi, Bambang Irawan, Hasan Sanusi, Fifi Young, Rendra Karno, namun yang terpenting debut aktris legendaris era berikut Suzanna, yang kelak menjadi ikon film horor 1970-an dan bagi yang ingin tahu bagaimana Aminah Cendrakasih waktu masih muda hingga Baby Huwae juga dalam film ini. Jika film merupakan cerminan masyarakatnya, maka Asrama Dara mencerminkan perubahan dari era demokrasi liberal ke era demokrasi terpimpin tampaknya juga disinggung dalam film ini secara komedi. Memang seperti trilogi Usmar Ismail, tetapi yang penting bagaimana Usmar Ismail berhasil mengorbitkan aktris film hingga puluhan tahun mendatang.
Pilihan lain ialah film anak-anak “Djendral Kancil” yang dirilis sekitar 1958. Film ini dibintangi oleh Achmad Albar ketika ia masih anak-anak. Saya pernah mewawancarai Ade Indira Sugondo beberapa tahun lalu untuk keperluan sebuah majalah berita, kebetulan pernah menjadi anak-anak di Bandung pada 1950-an. Mantan tokoh PDI Perjuangan ini mengaku menjadikan film ini sebagai favoritnya. Dia menyebutkan film itu disukai anak-anak masanya. Itu artinya “Djenderal Kancil” bisa memberikan informasi bagaimana kehidupan anak-anak pada era. Ceritanya juga sebangun dengan dan mungkin memberikan ide pada film anak-anak pada era beriktunya, seperti “Petualangan Sherina”.
Ditunggu film-film Indoneasi jadul hasil restorasi berikutnya.
Irvan Sjafari