Mohon tunggu...
Julia Novrita
Julia Novrita Mohon Tunggu... Konsultan - Living my life to the fullest!

Educate yourself, submit to no one but your Creator!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Day School "One Size Fits All" untuk Atasi Radikalisme?

14 Juni 2017   12:05 Diperbarui: 14 Juni 2017   12:16 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebijakan Full Day School (FDS) yang digulirkan sejak tahun lalu dan akan mulai diterapkan saat memasuki tahun ajaran 2017 / 2018 atau Juli mendatang masih menuai kontroversi. Hal ini sangatlah wajar mengingat akan ada perubahan yang signifikan tidak hanya bagi murid dan guru di sekolah tapi juga masyarakat luas yang selama ini telah berkontribusi baik positif ataupun negatif bagi perkembangan anak-anak diluar jam sekolah. 

Ada dua hal yang menarik bagi saya. Yang pertama adalah walau zaman semakin kompleks tapi kebiasaan pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang one size fits all tidak berubah. Disatu sisi, pemerintah mendorong masyarakat menghargai keberagaman budaya namun disisi lain kebijakannya tidak merefleksikan penghargaan terhadap keberagaman dimaksud. Disatu sisi mendorong otonomi sekolah dengan meningkatkan peran komite sekolah tapi dalam hal ini peran mereka justru dimandulkan.

Pemerintah masih melihat institusi pendidikan sebagai elemen yang terlepas dari konteks masyarakat setempat yang sebenarnya mampu untuk duduk bersama guna memikirkan yang terbaik untuk generasi muda mereka. Pemerintah harusnya memastikan kebutuhan spesifik tiap sekolah untuk bisa berfungsi secara maksimal dalam memfasilitasi tumbuh kembangnya anak didik secara optimal. Hal ini termasuk penguatan kapasitas guru, manajemen sekolah, komite sekolah dan juga fasilitas pendukung lainnya yang tidak bisa disediakan secara swadaya oleh anggota masyarakat. Urusan apakah itu full day atau half day, full week atau half week, harusnya menjadi agenda yang dibicarakan ditingkat komite sekolah. 

Kenyataan hari ini memang harus diakui kalau banyak komite sekolah  belum berfungsi secara maksimal. Tapi justru disinilah peran pemerintah untuk mencari solusinya. Karena besar kecilnya peran komite sekolah adalah cermin kekuatan modal sosial yang ada di masyarakat dalam penangkalan ajaran yang dianggap radikal atau yang tidak bisa ditolerir oleh pemerintah.  Saya belum menemukan satu penelitian pun yang menunjukkan bahwa lamanya anak di sekolah dengan segala kegiatannya dapat menangkal radikalisme. Bahkan SRMC menyebutkan radikalisme sudah mulai memasuki sekolah. Sebagian kita mungkin masih sulit memahami bagaimana mungkin seorang mantan pegawai keuangan bisa berkeinginan bergabung dalam organisasi radikal padahal dari segi pendidikan, bisa dibilang banyak menghabiskan waktu bersekolah. Jadi argumen yang mengaitkan kebijakan FDS dengan penangkalan radikalisme gampang dipatahkan. 

Jangan lupa juga survey ICRW yang dirilis Maret 2015 yang lalu menunjukkan 84% anak Indonesia justru mengalami kekerasan di sekolah. Persoalan kekerasan di sekolah ini masih belum bisa diatasi. Bagaimana mungkin pemerintah menjamin lamanya anak di sekolah justru tidak akan meningkatkan intensitas kekerasan yang akan mereka alami? Pemerintah harusnya lebih jeli melihat akar permasalahan masing-masing sekolah sehingga bisa menghasilkan solusi yang customized bukan one size fits all. Untuk melihat dengan jeli pastinya tidak cukup lewat teropong sekalipun itu dari gedung tertinggi atau puncak MONAS ibukota. 

Terakhir, penghargaan terhadap keberagaman harus tercermin dalam setiap kebijakan sehingga dalam implementasinya anggota masyarakat merasa memiliki yang tinggi terhadap agenda pemerintah, dalam hal ini bidang pendidikan. Dalam prosesnya, pendidikan harus mencerdaskan seluruh anggota masyarakat bukan saja mereka yang mengecap bangku sekolah. Caranya adalah menciptakan kesempatan bagi setiap anggota masyarakat berkontribusi secara maksimal dalam proses pendidikan itu sendiri.  Kesempatan ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekecil apapun pengetahuan mereka, mereka adalah anggota masyarakat yang dapat memberi arti positif bagi pendidikan bangsa. Disinilah budaya belajar seumur hidup dihidupkan. Membatasi interaksi peserta didik sebatas teman dan guru di sekolah serta orang tua dirumah justru akan menciptakan generasi muda yang apatis terhadap sekelilingnya sementara kesenjangan sosial terus melebar. Inilah bibit radikalisme yang harus diwaspadai. 

"Why should society feel responsible only for the education of children, and not for the education of all adults of every age?" (Erich Fromm) 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun