pic: http://opinikampus.com/rok-mini/
Di beberapa Negara sebetulnya rok mini sudah menjadi perhatian sejak dulu. Sebut saja Italia, Rusia, Meksiko, Uganda dan di beberapa Negara lain. Di Stabia, salah satu kota di Italia, rok mini sudah dilarang penggunaannya oleh para wanita yang bekerja di pemerintahan sejak dulu kala. Dengan alasan menghindari asusila. Pelanggaran atas aturan ini adalah denda sekitar lima juta rupiah.
Begitu juga di Meksiko, memiliki aturan yang sama terhadap pemakaian rok mini. Pemberhetian kerjapun dialamatkan kepada pihak yang melanggarnya. Bagaimana di Indonesia? Indonesia sempat memperbincangkannya setelah banyak kasus pelecehan seksual, termasuk di dalamnya skandal di gedung anggota dewan. Tadinya rok mini sepertinya tidak menjadi concern, karena masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak banyak pengaruhnya. Namun sekarang sepertinya efek negatifnya mulai dirasakan.
Meskipun pelarangan pemakaian rok mini di tempat tertentu menimbulkan kontroversi dan menuai protes dari ‘penggila’ rok minim, ketegasan adalah sebuah keniscayaan karena dua alasan. Pertama masalah kultur. Warga Indonesia lebih ngetrend pada budaya timur (walaupun hegemoni budaya barat tidak bisa terbantahkan), yang notabene pemeluk agama Islam. Kultur ketimuran lebih menekankan etika kesopanan berpakaian (menutup aurat) dibandingkan dengan budaya barat yang penuh dengan kefulgaran.
Agama (Islam terutama), memperbincangkan masalah pakaian dan perilaku seksual secara mendalam. Islam memberikan ultimatum jauh-jauh hari agar manusia berpakaian sebagai mana layaknya manusia (QS. Al-Ahzab: 59). Di sisi lain, Islam juga memerintahkan kepada umatnya untuk menjaga pandangannya terhadap hal-hal yang tidak patut dan tidak halal untuk dipandang (QS:24:30).
Ada dua poin menarik dari paragraf terakhir di atas, yang saat ini sering menjadi bahan perdebatan. Yaitu: Memakai pakaian dan menjaga pandangan. Para pembela rok mini berpandangan bahwa terjadinya: pelecehan seksual, pemerkosaan adalah akibat dari otak dan mata lelaki yang tidak bisa dikontrol. Maka jangan salahkan rok mini jika terjadi penyimpangan. Sebaliknya, penentangnya berasumsi, terjadinya asusila akibat dari rangsangan objek pandangan. Maka objeknya harus dibenahi. Perdebatan ini kian tak terselesaikan karena/jika masing-masing pihak yang bersengketa memegang teguh egonya.
Masalah ini sulit untuk dipecahkan jika masing-masing menggunakan role-nya sendiri-sendiri. Jadi, mana yang seharusnya diperioritaskan atau dibenahi? Jika dibawa ke ranah agama, maka keduanya menjadi benar. Kesalahannya terletak pada pandangan yang parsial. Secara tegas agama menyuruh bahkan mewajibkan untuk berpakian sesuai dengan anjuran-Nya dan mengontrol pandangan bagi siapa saja, lelaki atau perempuan.
Rok Mini dan Produktivitas
Apa hubungannya produktivitas dengan rok mini? Sepertinya mereka berbeda alam, perbedaannya bagaikan langit dan bumi, jauh sekali dan tidak ada hubungannya. Secara langsung mamang tidak ada. Pertanyaannya mungkin lebih lucu lagi, apa hubungannya rok mini dengan kecelakaan lalu lintas? Namun pertanyaan ini bisa dijawab oleh studi di Uganda yang menyatakan ada korelasi positif antara angka kecelakaan kerja dengan rok mini.
Secara psikologis, seorang lelaki yang sering melihat perempuan ber-rok mini atau melihat (maaf) paha mulus perempuan, akan menimbulkan faal tubuh, seperti meningkatnya kadar dopamine, adrenalin sehingga memacu gairah seksual kaum pria. Hal ini juga bisa terjadi pada seseorang yang sering mengakses video atau gambar ‘dewasa’ melalui dunia maya atau internet (cybersex). Seseorang yang kadar dopamine, adrenalin-nya sedang miningkat, akan menurunkan bahkan menghilangkan konsentrasi terhadap pekerjaannya.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dunia seksual menyangkut banyak aspek, seperti aspek medis, psikologis, dan aspek moral. Dibalik kenikmatan sebagai pemuas kebutuhan psikologis atau pemuas kebutuhan seksual, pelaku juga harus memperhatikan sudut pandang medis dan moral. Secara medis, hubungan intim harus aman. Tidak membayakan atau menimbulkan penyakit.
Penyakit seksual biasanya timbul akibat dari perilaku seks menyimpang (free sex). Baik yang dilakukan secara premarital seksual intercourse yaitu dilakukan oleh orang-orang yang belum terikat tali pernikahan. Atau dilakukan secara ekstramarital seksual intercourse, yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki hubungan pernikahan, namun tidak dengan pasangan legalnya. Perilaku seks menyimpang seperti ini akan membawa dampak negatif terhadap moral pelakunya, dan reputasinya akan buruk karena dicap sebagai tindakan asusila.