Mohon tunggu...
Juan Fransiska
Juan Fransiska Mohon Tunggu... -

Tegur sapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tren Pasar Loak

10 Oktober 2011   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 1983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sejarahnya pada sebuah pasar loak selalu dilekatkan sebuah stigma sebagai tempat transaksi ekonomi kelas bawah, miskin, seret serta kepepet uang. Dan dalam pengertian lain, juga berfungsi hampir  serupa dengan tempat pengadaian. Di pasar loak  diperjual belikan barang-barang bekas layak pakai, baik itu milik sendiri maupun barang curian.

Tapi semenjak  banjirnya barang smokel (selundupan) berupa bal-bal pakaian dan  barang  bekas luar negeri – Singapura, China, Korea – ke berbagai wilayah Indonesia, pasar  loak dengan deskripsi yang seperti itu sepertinya sudah ketinggalan jaman. Pasar loak pun memasuki defenisi nya yang baru.

Pemerintah menempatkan banjir bal-bal pakaian dan barang bekas itu sebagai  masalah, baik  dari segi lingkungan, ekonomi  dan hukum.  Dari segi lingkungan berarti sampah global,  dari segi ekonomi berarti berpeluang mematikan industri pakaian jadi dalam negeri dan transaksi di toko-toko baju, sedangkan dari segi hukum karena masuk secara illegal.

Berlawanan dengan pemerintah, dengan segala keterbatasan yang ada masyarakat justru menempatkannya sebagai peluang mata pencaharian baru dan juga alternatif pilihan berbelanja kebutuhan akan  pakaian dan barang rumah tangga lainnya.

Saya masih ingat bagaimana pada awalnya, sekitar tahun 1990-an, masyarakat memiliki rasa enggan bercampur jijik untuk membeli pakaian bekas luar negeri di pasar loak yang terletak di area pasar atas Bukittinggi. Keengganan ini tidak saja berasal dari stigma pasar loak  terdahulu tapi juga pada pengetahuan kesehatan masyarakat, yang beranggapan pakaian-pakaian bekas  dapat menularkan penyakit, terutama AIDS. Sikap paranoid masyarakat itu   berkaitan dengan posisi Bukittinggi sebagai Kota Wisata yang lebih rentan terhadap  penularan penyakit AIDS, terutama bersumber dari minimnya pengetahuan masyarakat terhadap cara-cara penularannya.

Ketika krisis ekonomi mengalami puncaknya, serta pengetahuan kesehatan akan penularan AIDS menjadi lebih baik, pasar loak Bukittinggi telah menjadi alternatif baru tempat berbelanja masyarakat . Dengan memberi nama pasar Butiq – yang beranonim dengan gerai-gerai pakaian high class di Eropa-  para pedagang pakaian bekas nampaknya sepakat untuk keluar dari stigma sosial dan sejarahnya sebagai pasar kepepet terutama bagi ekonomi kelas bawah. Sebuah penamaan yang bertujuan untuk memperkenalkan diri secara lebih bergengsi tetapi juga pengertian yang  absurd kepada masyarakat.

Redefenisi makna pasar loak yang dilakukan pedagang pada prosesnya tampak tidak berjalan sendiri. Penyuka/pembeli pakaian bekas pun melakukan hal serupa. Mereka merekonstruksi ulang makna pakaian bekas, terutama yang berasal dari  re use value barang-barang bekas branded. Kelompok ini biasanya diwakili oleh anak-anak muda gaul dan  melek barang bagus atau branded tertentu, seperti Levis 505, Nike, Adidas, Converse, Lee,Armani,  Gucci, Luis Vitton. Tak memperdulikan harga barang yang semula murah kemudian menjadi mahal karena banyak di minati.

Sementara kelompok pembeli lain cenderung membeli dengan alasan-alasan yang lebih natural, berdasarkan fungsi atau kelayakan pakaian  seperti warna ( kusam) dan kelembutan kain. Kelompok ini biasanya didominasi oleh kelompok paruh baya dan anak muda yang benar-benar membutuhkan dan menggunakan  pakaian secara lebih fungsional.

Model produksi dan konsumsi  sosial serupa itu sepertinya juga terjadi di pasar loak Jambi, yang dikenal dengan  nama  PJ. Penggunaan istilah PJ sendiri kadang kala kabur ataupun tumpang tindih dengan istilah BJ yang umum di tengah masyarakat. Dari beberapa kali obrolan dengan para pedagang dan masyarakat pembeli, sepertinya ada ketidakpastian dan keberagaman dalam mendefenisikan penggunaan istilah PJ ataupun BJ terhadap pasar loak.

Beberapa diantaranya menyatakan ketidaktahuannya malahan mempertanyakannya.  Dan secara bergantian ada yang berpendapat bahwa BJ adalah berarti Butiq Jambi, yang mungkin kurang lebih maknanya sejalan dengan pengertian Pasar Butiq Bukittingggi. Sedangkan yang lain memaknai BJ sebagai Buruak-an Jambi, dan ini berarti tidak jauh berbeda dengan makna dan sejarah awalnya sebagai pasar loak.

Ada juga yang berpendapat bahwa telah terjadi pengeseran penyebutan terhadap PJ dengan BJ. Penyebutan PJ menurut mereka, dapat ditelusuri dari sejarah pakaian bekas di Provinsi Jambi. Sekitar tahun 1981, pakaian bekas ataupun barang-barang smokel masuk ke Propinsi Jambi pertama kali di daerah Kuala Tungkal dan Nipah Panjang langsung dari Singapura melalui Tembilahan. Dalam bal-bal pakaian bekas itu, ada sebuah merk celana jeans yang banyak di temui dan menjadi salah satu barang yang diminati. Celana bermerk Peter and Jeans atau biasa di singkat PJ, pada akhirnya menjadi sebuah penyebutan yang dilekatkan pada pakaian dan barang bekas. Istilah ini lah yang kemudian juga digunakan di kota Jambi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun