Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mulai 2013, Guru Tak Boleh Mengajar?

17 November 2012   00:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:13 5291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Telah 13 tahun saya menjadi guru sejak pengangkatan pada 1 Maret 1999. Setelah diangkat menjadi guru, saya mulai memelajari tugas pokok dan fungsi guru atau yang lebih dikenal dengan tupoksi. Ada lima tupoksi guru, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakannya, mengevaluasinya, meremidinya, dan memerkayanya. Lima tugas itu akan menghasilkan out put yang luar biasa baiknya manakala guru sudah melakukan kelimanya penuh kesungguhan. Dan itu terbukti benar. Menurutku, out put atau lulusan terdahulu memiliki kompetensi lebih bagus daripada lulusan sekarang.

Namun, agaknya pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) kurang kerjaan. Bukannya mengoptimalkan tupoksi tersebut, melainkan menambah dan menambah beban guru seraya memberikan tuntutan-tuntutan agar guru tak lagi mengajar. Mengapa? Karena tuntutan itu selalu dan selalu berkaitan dengan ketertiban administrasi alias portofolio pekerjaan. Bukannya penilaian kinerja faktual, melainkan penilaian teoritis yang dibungkus fakta tertulis.

Masih teramat jelas terbayang manakala guru-guru diributkan oleh pelaksanaan sertifikasi guru. Begitu banyak kasus terjadi tentang penipuan dokumen-dokumen agar lolos dari penilaian tersebut. Mulai dari penipuan sertifikat, ijazah, dokumen adminsitrasi pengajaran dan lain-lain. Bagi yang dinyatakan lolos, ia dinyatakan lulus sertifikasi guru melalui jalur penilaian portofolio. Bagi yang tidak dinyatakan lolos, langsung ia diwajibkan mengikuti PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan selama PLPG, ribuan siswa menjadi telantar karena ditinggalkan gurunya. Maka, hasil pendidikan justru mengalami penurunan secara drastis!

Belum hilang dari bayangan kebijakan sertifikasi, guru-guru harus mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Jutaan murid telantar karena ditinggalkan para guru yang harus mengikuti UKG di seberang sana. Mungkin tak pernah terpikir oleh Kemendikbud bahwa guru-guru itu berdomisili dan mengajar nun jauh di pelosok pulau terpencil. Hasilnya teramat mencengangkan: nyaris 95% guru dinyatakan tak lulus UKG! Dan Kemendikbud diam seribu basa!

Belum hilang ingatan dari itu, mulai tahun 2013, lagi-lagi, pemerintah akan menggulirkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. PP 53 tahun 2010 jelas mengatur perilaku disiplin pegawai. Dalam PP 53 tahun 2010, pegawai tak boleh seenaknya melakukan tindakan-tindakan selama melaksanakan pekerjaan.

Selain PP 53/2010 tentang Disiplin Pegawai, pemerintah pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil PNS sebagai pengganti DP3. PP itu bertujuan untuk meningkatkan prestasi dan kinerja PNS.  PP ini merupakan penyempurna dari PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan hukum. Prestasi kerja PNS akan dinilai berdasarkan 2 (dua) unsur penilaian, yakni (1) SKP (Sasaran Kerja Pegawai), yaitu: rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS dan Perilaku kerja, yaitu: setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PP ini mensyaratkan setiap PNS wajib menyusun SKP berdasarkan rencana kerja tahunan instansi. SKP itu memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. Dalam PP itu juga disebutkan, bahwa PNS yang tidak menyusun SKP dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS.

Adapun penilaian perilaku kerja meliputi aspek: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan. Khusus penilaian kepemimpinan hanya dilakukan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural. Penilaian prestasi kerja PNS ini dilaksanakan sekali dalam 1 (satu) tahun, yang dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan paling lama akhir Januari tahun berikutnya. Ketentuan mengenai peraturan penilaian PNS ini juga berlaku bagi Calon PNS (CPNS).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, saya berpendapat bahwa PP itu sama saja melarang guru (PNS) untuk tekun mengajar anak didik di depan kelas. Dengan setumpuk pekerjaan itu, teramat sulit bagi guru (PNS) bekerja secara efektif. Mereka jelas akan menitikberatkan pekerjaan administrasi daripada pembelajaran. Terlebih, masih begitu banyak guru-guru membantu pekerjaan sampingan sebagai walikelas, bendahara BOS, wakil kepala sekolah, koordinator ekstrakurikuler, dan beragam tugas lainnya. Lalu, kapan guru mengajar murid-muridnya?

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun