Jika boleh memilih profesi atau pekerjaan, tentu kebanyakan orang akan memilih menjadi pegawai atau orang kantoran. Pekerjaannya cenderung bersih dan jarang bersentuhan dengan barang-barang kantor. Ia selalu mengenakan pakaian bersih dan kadang berdasi. Pekerjaannya pun berada di tempat yang teduh dan jarang terkena matahari nan menyengat kulit. Namun, toh itu hanya menjadi angan alias impian.
Sebenarnya itu pun diimpikan oleh Mulyoto. Lelaki yang beranak tiga itu pun pernah bermimpi untuk menjadi orang-orang kantoran. Tapi apa daya, Mas Yoto – panggilan akrabku – hanya lulusan SMK. Sulit baginya untuk menjadi orang kantoran. Maka, tiada lain ia pun berusaha mencari pekerjaan. Dan pada tahun 1998, Mas Yoto menjadi sopir Angkudes 08 jalur Gemolong Sragen – Batangan Boyolali.
Pada awalnya, jalur sejauh sekitar 25 km itu terkenal ramai. Banyak anak sekolah dan pedagang melewati jalur itu. Maka, keramaian itu menjadi berkah tersendiri bagi Mas Yoto dan teman-temannya. Setiap hari, Angkudes 08 selalu dipenuhi anak sekolah dan pedagang. Jika sudah terkondisi demikian, Mas Yoto bisa membawa pulang uang dengan jumlah yang lumayan. Dan rerata sopir Angkudes 08 berpenghasilan lumayan. Buntut dari kondisi itu, jalur 08 sering diincar para pemodal. Mereka berani membeli pemilik Angkudes 08 dengan harga tinggi.
Tiga belas tahun telah berlalu. Seiring perjalanan waktu, zaman pun mulai berubah drastic. Mas Yoto kini bersedih. Bukannya jalanan rusak. Bukannya sepi anak-anak sekolah. Bukannya Angkudes 08-nya masuk bengkel. Semua itu disebabkan keengganannya anak sekolah dan pedagang naik Angkudes 08 jika ingin bepergian. Anak-anak sekolah dan pedagang memilih menggunakan motor.
Ya, sejak tahun 2007 hingga kini, penghasilan Mas Yoto teramat jauh berkurang. Anak-anak sekolah kini memilih naik motor daripada naik Angkudes 08. Selain lebih irit, gaya hidup masa kini telah memengaruhi gengsi jika anak-anak sekolah itu naik Angkudes 08. Maka, sejak saat itulah, penderitaan Mas Yoto dan kawan-kawannya mulai terasa. Satu-satunya keterampilan dan kekayaannya adalah menyopir Angkudes 08. Mas Yoto tidak memiliki keterampilan lain.
Memang diakui Mas Yoto bahwa naik motor terasa lebih irit daripada naik Angkudes. Jika naik motor, jelas jarak sekitar 20 km dapat ditempuh lebih cepat, hemat BBM, dan juga dinaiki berdua. Itu teramat berbeda jika naik Angkudes. Setiap penumpang harus membayar sekitar Rp 2000 atau Rp 4000 (pp). Banyak penumpang mengeluhkan lambannya Angkudes 08. Tentu saja Angkudes 08 berjalan lamban karena penuh penumpang dan jalanan berliku-liku dan kadang bergelombang. Maka, anak-anak sekolah sering terlambat datang ke sekolahnya.
Kini anak-anak sekolah memilih naik motor. Sejak anak SD hingga SMA, semua terlihat mengendarai motor. Memang kampungku termasuk di pelosok. Namun, gaya hidup konsumtif teramat terasa. Banyak orang berlomba-lomba menunjukkan keberhasilannya secara materi. Sayangnya, bukti kasih sayang kepada anaknya sering kebablasan. Anak SD pun dibelikan motor dan dibolehkan dikendarai ke sekolahnya. Kadang saya dipaksa mengelus dada jika menyaksikan anak-anak SD itu terlihat membahayakan diri ketika berkendara motor di jalanan nan ramai itu.
Nasib Mas Yoto memang apes. Dahulu Mas Yoto bisa meraup uang sekitar Rp 100.000 per hari. Jika dikurangi BBM dan uang makan, setidak-tidaknya Mas Yoto bisa membawa uang bersih Rp 30.000 – 40.000. Kini, semua terbalik. Boro-boro membawa pulang uang, tangki Angkudes 08 terisi bensin pun itu sudah beruntung. Sulit bagi Mas Yoto membawa pulang uang alias keuntungan dengan kondisi seperti ini.
Maka, Mas Yoto berusaha mencari peluang pekerjaan. Semalam, Mas Yoto bercerita bahwa ia akan membuka warung makan. Rumah Mas Yoto yang tidak terlalu besar itu memang berhadapan dengan jalan besar. Rumahnya hanya berjarak sekitar 50 meter dari ruko yang saya bangun. Mas Yoto berharap agar warung makannya dapat menjadi “sawah-ladang” rezeki bagi istri dan ketiga anaknya. Mas Yoto tidak lagi berharap rezeki dari Angkudes 08 yang dimilikinya.
Teriring salam,