Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jika Ahok Jadi Gubernur (Lagi)

20 Februari 2017   19:27 Diperbarui: 20 Februari 2017   19:44 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama (Ahok) sumber : poskota

Putaran pertama Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta telah dimenangkan oleh pasangan nomor 2 Ahok – Djarot dengan perolehan suara sebanyak 42, 91%. Di urutan kedua, ada pasangan nomor urut 3 Anies-Sandi dengan perolehan suara sebanyak 40,05% dan di urutan terakhir pasangan nomor urut 1 dengan perolehan suara sebesar 17,05% seperti dikutip dari KPU DKI Jakarta.

Dengan demikian, Pilkada DKI Jakarta harus diselenggarakan kembali mengingat tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara 50% plus 1 suara. Maka, pasangan nomor urut 2 akan bertarung melawan pasangan nomor urut 3 pada putaran kedua untuk memperebutkan singgasana Jawara Jayakarta. Sedangkan pasangan nomor urut 1 harus angkat koper terlebih dahulu dari perhelatan Pilgub DKI Jakarta karena suara mereka berada di posisi paling buncit.

Jika tidak ada hambatan berarti, maka 19 April menjadi hari perhelatan berikutnya untuk menentukan siapa yang layak untuk duduk kembali di kursi 1 dan 2 DKI Jakarta. Mengacu pada hasil putaran pertama dan prediksi berbagai pihak, suara perolehan Ahok tidak akan jauh berbeda dengan perolehan Anies karena di putaran pertama saja hanya berbeda 2,86% saja dari jumlah total perolehan suara.

Hanya, yang menjadi pertanyaan, siapa yang menjadi nomor satu, Ahok atau Anies? Memang sangat sulit untuk menerka siapa yang menang karena masing-masing calon memiliki basis massa yang sangat kuat. Nah, kita andaikan saja misalnya Ahok yang menang di putaran kedua nanti, kira-kira apa yang akan terjadi?

Peluang Ahok untuk menang memang lebih besar, meskipun diperlemah oleh alasan sosiologis dari calon pendukung dan pendukung Anies-Sandi. Tetapi, jika Ahok menang, ada berbagai hal-hal yang menarik yang akan terjadi nantinya.

Jika Ahok menang, maka sudah dipastikan akan lebih banyak tuduhan “manipulasi” suara oleh pihak-pihak yang tidak menyukai kembalinya Ahok ke Balai Kota. Tuduhan ini akan semakin membesar dengan manipulasi berbagai bukti sehingga akan berbuntut panjang ke meja Mahkamah Konstitusi. Setelah sampai ke Meja Konstitusi, akan lebih banyak perdebatan yang terjadi didalam ruangan, pers, dan berbagai elemen masyarakat tentang kemenangan gubernur “kafir” ini.

Jika sudah diputuskan bahwa Ahok tetap menjadi gubernur oleh Mahkamah Konstitusi, maka yang akan terjadi selanjutnya adalah akan adanya aksi. Ya, aksi ini disinyalir akan lebih besar dari aksi-aksi sebelumnya, bahkan lebih besar dari aksi 2 Desember 2016 silam yang diikuti oleh jutaan umat.

Akan banyak tuntutan-tuntutan untuk menurunkan Ahok, penjarakan Ahok, bahkan eksekusi Ahok. Semuanya akan serba dipaksakan karena keinginan selama ini tidak pernah terpenuhi oleh hasrat oknum-oknum tersebut.

Hari berikutnya, akan banyak aksi dari ormas-ormas tertentu untuk mendemo Ahok. Ada yang longmarch ke Balaikota, kantor DPRD DKI Jakarta, Istiglal, Kantor DPR RI, hingga Istana Negara. Suasana macet dijalanan tentu tidak akan terhindarkan lagi.

Jika Jokowi sampai melantik Ahok jadi gubernur kembali di Istana, maka amarah ormas-ormas tertentu akan semakin menjadi-jadi karena harapan mereka telah pupus, setidaknya lima tahun kedepannya. Selama lima tahun lagi ormas-ormas tersebut akan terhalangi aksi dan kegiataan dalam beraktivitas sesuai dengan keiginan kelompoknya.

Tetapi, Jika Ahok jadi gubernur lagi, kemungkinan isu sara tidak akan terdengar lagi untuk Pilkada 2022 nanti karena Ahok tidak bisa lagi mencalonkan diri di kursi Gubernur DKI Jakarta. Dengan demikian, ormas-ormas tersebut akan melancarkan aksinya semaunya dan seingin-ingin hatinya. Mereka akan kembali kepada hakekatnya sebagai manusia biasa karena tidak ada lagi calon gubernur “kafir” dan “cina”. Tidak ada lagi finah berbau rasis di DKI Jakarta, kecuali jika ada lagi calon gubernurnya yang berbeda identitas dari mayoritas warga Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun