Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter di Tangan Pendidik-Plus

4 Desember 2011   11:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:51 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tampil memberikan pembekalan kepada Peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan XLVI Lemhanas, Wapres Boediono menegaskan pentingnya pendidikan karakter dalam mempersiapkan generasi muda Indonesia yang berkepribadian mulia (Suarapembaruan.com edisi 17/11/2011). Apa yang dikatakan bukan hal baru karena sudah menjadi kebijakan pemerintahan SBY-Boediono. Dalam praktik, pendidikan karakter sudah dijalankan di seluruh Indonesia, dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Alasan pentingnya pendidikan karakter dapat disimak dari pandangan Presiden SBY pada hari pendidikan nasional, 2 Mei 2011 ketika dia meminta seluruh masyarakat mewujudkan pendidikan karakter. Bagi pemerintah, pendidikan karakter dapat menjadi jalan keluar bagi terbentuknya bangsa yang unggul, tidak saja dari segi ilmu dan teknologi, tetapi juga moral dan budi pekerti.

Meskipun Boediono hanya menegaskan kembali pentingnya pendidikan karakter yang sedang dipraktikkan di Indonesia, masalah seputar pendidikan karakter tidak jelas dengan sendirinya. Di seluruh dunia, masalah utama dalam pendidikan karakter adalah apakah pendidikan karakter dipraktikkan sebagai sebuah mata pelajaran/mata kuliah atau sebuah praktik keutamaan (nilai) yang terintegrasi dalam seluruh kegiatan pendidikan? Pemerintah memilih opsi pertama dengan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah.

Bahaya Indoktrinasi Nilai

Tentu kedua pendekatan memiliki problem metodologis tersendiri. Persoalan utama yang dihadapi beberapa sekolah menengah yang penulis ketahui, misalnya, menunjukkan betapa sulitnya mengevaluasi pendidikan karakter. Desain kurikulum pendidikan karakter terpusat pada upaya mengajarkan nilai-nilai unggul (keutamaan) yang sudah ditentukan, misalnya kejujuran, keadilan, ketangguhan, kerja sama, pluralitas, dan sebagainya. Atau, berdasarkan nilai-nilai yang biasanya diacu secara universal sebagai nilai-nilai unggul pendidikan karakter, seperti sifat pantas dipercaya (trustworthiness), hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), rasa kebangsaan (citizenship), kejujuran (honesty), keberanian (courage), ketekunan (diligence), integritas (integrity), dan sebagainya.

Mengingat desain kurikulum selalu merupakan rekayasa pendidikan demi mewujudkan cita-cita pendidikan nasional, pertanyaannya adalah apa kriteria yang digunakan dalam menonjolkan nilai-nilai tertentu dan mengeliminasi nilai-nilai lainnya? Pertanyaan ini tentu tidak relevan ketika pendidikan karakter dipraktikkan sebagai pendidikan moral atau pendidikan agama dalam institusi pendidikan berdasarkan agama tertentu. Tetapi ketika pendidikan karakter bersifat nasional dan wajib dilaksanakan di seluruh sekolah dan perguruan tinggi, mengapa ada pembatasan nilai moral? Kalau pun pendidikan karakter dipercaya sebagai jalan keluar memecahkan krisis moral bangsa ini, apa jaminannya bahwa seseorang akan berperilaku moral setelah menempuh pendidikan karakter? Praktik pendidikan karakter di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa para pendidik mengejar konten pengajaran karena sudah ada “Tujuan Instruksional Umum” dan “Tujuan Instruksional  Khusus” yang harus dicapai dalam beberapa kali tatap muka, dan ini yang paling mudah diukur. Sementara para pendidik tetap saja terbentur dengan masalah bagaimana mengukur kemajuan karakter peserta didik.

Bagi penulis, ada dua bahaya yang membayangi praktik pendidikan karakter di Indonesia. Pertama, terjadinya indoktrinasi nilai ketika penentuan nilai-nilai unggulan dalam kurikulum pendidikan karakter ditentukan secara terpusat. Kita khawatir pemerintah akan membentuk Pusat Pendidikan Karakter Nasional atau apa pun namanya yang mirip BP-7 di masa Orde Baru dengan tugas utama mengindoktrinasi nilai-nilai unggulan sebagai kebijakan politis tanpa hasil real yang bisa diukur di lapangan. Kedua, pendidikan karakter direduksikan sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah dengan kurikulumnya yang sudah jelas, tak ubahnya Pendidikan Agama atau Kewarganegaraan dengan muatan kognitif yang kental tetapi tak berdaya dalam mengubah sikap moral.

Peran Pendidik-Plus

Setelah hampir satu dekade menjadi pendidik karakter dan etika yang menekankan konten (kognisi), penulis yakin bahwa arah pendidikan karakter harus diubah dari pendidikan formal kepada pengembangan nilai luhur melalui seluruh kegiatan kependidikan. Dalam arti itu, pendidikan karakter dengan nilai-nilai unggulannya harus terintegrasi dalam seluruh kegiatan pendidikan dan perkuliahan. Tantangannya tentu terletak pada bagaimana seluruh pelaku pendidikan (guru, dosen, dan karyawan kependidikan) memaknakan profesinya sebagai “pendidik-plus” dalam pengertian mengajarkan konten mata pelajaran dan mata kuliah sekaligus membentuk kepribadian.

Dr. Thomas Lickona, salah seorang pendidik-plus menegaskan, “Pendidikan karakter adalah upaya sistematis, terencana, dan konsisten demi membantu peserta didik memahami, peduli, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral unggul”(Thomas Lickona, Educating for Character, New York, Bantam, 1991). Bagi dia, setiap pendidik terpanggil menjadi pembentuk watak sekaligus, dengan catatan upaya itu dilakukan secara terencana, sistematis, dan konsisten. Itulah sebabnya Lickona menekankan pentingnya “deliberate effort” dalam arti usaha yang “dipertimbangkan secara matang, intensional, lintas disiplin ilmu, dan didukung oleh institusi pendidikan yang pro pembentukan watak.” Dalam arti inilah kita memahami panggilan menjadi pendidik-plus, ketika  setiap pendidik tidak hanya menekankan isi materi tetapi juga perubahan sikap dan perilaku. Nasihat Lickona kepada setiap pendidik dalam buku itu menarik untuk direnungkan. “Ketika kita menimbang nilai tertentu sebagai karakter yang baik bagi para siswa kita, sesungguhnya kita ingin agar mereka mampu menimbang apa yang baik, menjaga dan mempertahankan nilai yang baik itu, dan berperilaku sesuai nilai yang baik itu – bahkan ketika mereka harus berhadapan dengan tekanan dari mana pun atau godaan dari dalam dirinya.”

Tentu tidak mudah mempraktikkan hal ini dalam kehidupan nyata. Bagi penulis, pemerintah tidak perlu mendesain sebuah kurikulum pendidikan karakter yang sifatnya nasional. Kebijakan pendidikan karakter yang sifatnya nasional itu penting dan perlu, tetapi pelaksanaannya diberikan sepenuhnya kepada sekolah. Kalau teknis pelaksanaan berdasarkan regio atau kabupaten sulit diwujudkan karena keragaman sifat insititusi pendidikan, pelaksanaan berdasarkan sifat sekolah (negeri, swasta umum, swasta berdasarkan agama, dan sebagainya) bisa menjadi jalan keluar. Pemerintah tentu memainkan peran pengawasan, memantau sejauh mana pembentukan karakter sesuai dengan kepentingan bangsa, merencanakan pertemuan berkala bagi sharing pengalaman pembentukan karakter, memantau pelaksanaannya di lapangan, membimbing dan mengarahkan, membantu pendanaan, merencanakan pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan, memberikan insentif bagi pendidik-plus yang berprestasi, dan sebagainya.

Tidak kalah penting adalah kebijakan setiap institusi pendidikan yang seharusnya mengubah paradigma pendidikan dari semata-mata content based kepada konten plua pembentukan kepribadian. Yang juga mendesak adalah melatih para pendidik untuk menjadi pendidik-plus. Kesulitan yang langsung menghadang adalah bagaimana mendesain “model pendidikan karakter” yang sanggup menggerakkan seluruh proses pendidikan sebagai pendidikan nilai. Model pendidikan karakter yang tidak lain adalah “pendekatan” itu diharapkan menjadi semacam “mesin penggerak” yang dapat dioperasikan dalam setiap mata pelajaran atau kuliah. Ke dalam model inilah ditautkan nilai-nilai unggul yang hendak ditanamkan ke dalam diri peserta didik.

Di titik inilah kita boleh bermimpi. Segera tiba waktunya ketika setiap pendidik terlahir kembali sebagai pendidik-plus karena dia tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga sanggup menyemai dan membentuk karakter. Akan datang saatnya ketika model pendidikan karakter yang mengintegrasikan materi ajar dan pembentukan watak menyatu dalam darah dan daging setiap pendidik-plus dan menggelorakan hasratnya untuk melahirkan generasi muda yang “cerdas, terampil, dan berkarakter unggul”. Mimpi itu sebagian telah menjadi kenyataan ketika kita menjalankan profesi sebagai pendidik, saat kita membentuk karakter meskipun masih belum konsisten dan sistematis, atau saat kita mendidik nilai semata-mata sebagai konten pengajaran. Sebagai pendidik, kita butuh sedikit perubahan orientasi penghayatan profesi kependidikan.

Kita perlu terlahir kembali sebagai pendidik-plus. Pendidik-plus itulah makna menjadi guru dalam artinya yang otentik, yakni “digugu dan ditiru”. Guru-plus adalah mereka yang setelah menjadi orang berkarakter unggul, tampil mendampingi peserta didik dan membagikan keunggulan wataknya sebagai nilai pengatur kehidupan. Itulah guru yang pantas dipercaya (digugu) dan ditiru, karena bagi dia, “Pendidikan adalah berbagi makna atau nilai moral” sebagaimana dikatakan D.B. Gowin (Educating, 1981). Itulah panggilan sebagai pendidik seperti yang diserukan David H. Elkind dan Freddy Sweet, katanya, “You are a character educator. Whether you are a teacher, administrator, custodian, or school bus driver, you are helping to shape the character of the kids you come in contact with. It’s in the way you talk, the behaviors you model, the conduct you tolerate, the deeds you encourage, the expectations you transmit. Yes, for better or for worse, you already are doing character education. Character education is everything you do that influences the character of the kids you teach” (David H. Elkind & Freddy Sweet, PhD, “You Are A  Character Educator”, dalam Today’s School, September/Oktober 2004).

Tidak mudah menjadi pendidik di zaman di mana segala hal diukur dengan efisiensi dan materi. Tetapi itulah makna sesungguhnya dari profesi kependidikan. Di tangan para pendidiklah masa depan generasi ini dipertaruhkan. Sebagai pendidik, kitalah yang menyemai karakter unggulan, menjaga, memupuk, dan merawatnya, serta mendampingi pertumbuhannya demi menghasilkan generasi yang cerdas dan bermoral. Dan proses itu sudah kita mulai sekarang.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun