Mohon tunggu...
Wurry Parluten
Wurry Parluten Mohon Tunggu... wiraswasta -

Nama lengkap saya Wurry Agus Parluten. Saya manusia Indonesia biasa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Industri Hulu dan Hilir Perfilman Indonesia

26 September 2013   06:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ini adalah lanjutan obrolan masalah perfilman Indonesia. Kali ini pembahasannya ada di grup Praktisi Film dan Televisi. Lagi-lagi yang melontarkan materi adalah Om Abdullah Dudung Yuliarso, maklum, dia sudah banyak makan asam garam di dunia Film dan Televisi Indonesia. Tema kali ini adalah masalah... Film sebagai barang dagangan. Ibaratnya film itu seperti sebuah produk yang akan diperjual-belikan. Kejam, sih. Tapi memang esensi dari kacamata pebisnis ya begitu itu.

Obrolan pun berlanjut ke tulisan mas Toto Soegriwo di kompasiana. Judulnya tentang Bioskop Konvensional Riwayatmu Kini. Kurang lebih ada 7 permasalahan mengenai film nasional, terkait masalah bioskop. Padahal bioskop adalah kunci sebuah film bisa ditayangkan. Yang menarik di sini adalah, jika bioskop konvensional ingin memakai Digital Cinema Package, maka harganya berkisar 1 milyar untuk 1 layar. Kalau ada 4 layar di satu bioskop, berarti investasi teknologi ini berkisar 4 milyar. Belum yang lain-lain. Kira-kira begitu permasalahannya.

Lalu saya sambungkan dengan tulisan saya sebelumnya di kompasiana, tulisan ini berjudul, Ingin Dibawa Kemana Film - Film Indonesia? Ya, seperti lagunya Armada-lah kira-kira. Mau dibawa kemana hubungan kita? Hehe... Maksudnya begini. Kalau mau dibawa ke bioskop, jatah film Indonesia di bioskop itu hanya 2 film per minggu. Artinya, setahun cuma ada jatah sekitar 100 film. Untuk masuk ke TV Nasional, di jam-jam premiere ada sinetron yang sudah merajai. Jadi sesekali saja film bisa masuk, itu pun hanya film-film tertentu. Bahkan di Televisi sendiri ada program tayangan yang bernama Bioskop Indonesia, artinya memang sudah ada jatah di sana.

Sebenarnya yang jadi masalah adalah. Jika generasi baru Perfilman Indonesia ingin membuat film, nantinya karya mereka akan dibawa kemana? Akan dimasukkan ke bioskop? Akan dimasukkan ke TV Nasional? Atau ke tempat lain?

Maka saya waktu itu pernah menyimpulkan, mungkin perlu juga di setiap kampus perfilman (atau kampus yang berhubungan-lah), diberi semacam pengertian tentang Industri Hulu dan Hilir Perfilman Indonesia.

Yang dimaksud dengan Industri Hulu adalah, yang berkaitan dengan proses pembuatan hingga film jadi. Ya, model-model Penulis Skenario, Sutradara, Kamerawan, sampai Produser adanya di sini. Intinya berkarya.

Yang dimaksud dengan Industri Hilir adalah, yang berkaitan dengan promosi, distribusi, penayangan, pemasaran ke seluruh Indonesia bahkan ke Luar Negeri. Intinya daganglah.

Jadi konteks-nya sekarang mulai jelas. Film akan menjadi 2 industri, antara lain:

1. Industri Hulu (Berkarya)

2. Industri Hilir (Berdagang)

Saya dulu pernah tanya ke Robby Ertanto, sutradara muda kita yang sudah lumayan mendunia, kalau dihitung-hitung, komunitas film yang ada di Indonesia ini ada berapa, ya? Dia bilang banyak, namun sayang belum semuanya terdata.

Hal ini berkaitan dengan Industri Hulu Perfilman Indonesia. Dimana untuk mendata berapa banyak komunitas di Indonesia dan berapa orang yang terlibat di dalamnya perlu semacam survey. Beberapa sudah bergerak, seperti Om Dudung di Workshop PKPF, ini di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu Lulu Ratna dengan Boemboe-nya. Terus ada komunitas DSLR Cinematography Indonesia (grup paling rame yang saya tau sejauh ini), dsb.

Artinya, industri hulu Film Indonesia terus bergerak dan menciptakan sineas-sineas baru yang nantinya akan memperjuangkan Film Indonesia ke depan. Lalu bagaimana dengan industri hilir?

Industri hilir yang berkaitan dengan festival ada banyak. Bisa cek di 65 Grup Facebook Tentang Film dan TV yang saya kumpulkan ini. Sejauh ini saya sedang mengumpulkan hingga tembus menjadi 100 Grup. Pengen liat, seperti apa geraknya sejauh ini.

Lalu ada lagi yang namanya IMPAS, yang baru saja dibentuk. Membawahi 9 Asosiasi Perfilman Indonesia. Mereka, antara lain:

1. Asosiasi Casting Indonesia (ACI)

2. Asosiasi Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (PILAR)

3. Indonesian Directors (IFDC)

4. Indonesian Film Editors (INAFED)

5. Indonesian Motion Picture Audio Association (IMPACT)

6. Sisanya belum ketemu akun twitter-nya...

Intinya, Industri Hulu dan Hilir di Perfilman Indonesia ini menurut saya masih belum seimbang. Banyak person yang fokus di Industri Hulu saja. Kasarnya, lebih banyak orang yang pengen jadi Kamerawan, Sutradara, Penulis Skenario, Produser, dsb... Ketimbang jadi Distributor, Promosi Film, Penanggung Jawab Pemasukan Film Nasional, Macam-macam.

Saya berharap ada sosialisasi di setiap kampus yang memberi pelajaran tentang ini. Bahwa Industri Hulu dan Hilir di perfilman Indonesia itu penting. Kalau tidak, masalahnya akan begini...

Banyak berproduksi, tapi nggak tahu cara masarin. Atau...

Banyak bikin anak, tapi bingung mau membesarkan. Atau...

Banyak bini, tapi nggak tahu cara memberdayakannya.

Masak Industri Film Nasional kalah sama Eyang Subur? Demi Tuhaaaaan!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun