Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Anomali Metode "Orang Kaya Menyubsidi Orang Miskin" Dalam Program JKN

23 Agustus 2017   05:33 Diperbarui: 23 Agustus 2017   09:05 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di berbagai negara di dunia termasuk negara maju, pembiayaan pada sub-sektor kuratif (pengobatan) adalah yang paling besar menyerap anggaran kesehatan dibandingkan sub-sektor promotif, preventif dan rehabilitatif. Hal ini tidak dapat dihindari. Oleh karena pada sub-sektor kuratif ini penyelenggaraan pelayanannya adalah padat karya dan padat modal. Mulai dari membangun infrastruktur rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan (faskes) tingkat rujukan lanjut yang memerlukan uang yang tidak sedikit, masih belum cukup sampai di sini, penyediaan alat kesehatan (alkes), obat-obatan serta sarana penunjang medis lainnya tidak ada yang murah.

Setelah semua sarana dan prasarana (sarpras) inipun tersedia, penyediaan sumber daya manusia (SDM) juga memakan biaya operasional yang tidak sedikit. Coba hitung saja berapa biaya mempekerjakan tenaga-tenaga profesional dan tenaga ahli baik sebagai tenaga medis, tenaga kesehatan, tenaga administrasi termasuk direksi serta tenaga penunjang lainnya pada sebuah rumah sakit? Sungguh harus mengeluarkan uang bermilyar-milyar rupiah. Silahkan menghitung sendiri biaya yang harus dikeluarkan mulai dari penyediaan lahan, perijinan dan pembangunan gedung beserta kelengkapan isinya sampai pada SDM dan operasional, dll.

Meskipun secara kasar, biaya membangun sebuah rumah sakit tipe C, bisa setara dengan membangun 10-15 Puskesmas atau klinik Pratama. Belum lagi isinya. Operasionalpun biayanya rata-rata 20-30 kali lipat. Jadi sangat jelas membangun dan mengoperasionalisasi satu unit saja rumah sakit memakan ongkos yang tidak sedikit.

Dengan memperhitungkan hal dasar ini saja, kita tidak bisa elakkan bahwa alokasi anggaran untuk sub-sektor kuratif menyedot persentasi yang sangat besar dari total pagu anggaran kesehatan. Hal ini berbanding lurus dan terlihat dengan jelas pada besarnya sub-sektor kuratif ini menyedot anggaran dari program JKN yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dimana hampir 4 tahun berjalan semenjak BPJS Kesehatan bertransformasi dari PT. Askes, setiap tahun neraca keuangannya defisit. Tahun 2017 ini Menteri Kesehatan (Menkes) telah resmi menyatakan bahwa akan defisit Rp. 9 triliun.

Adapun alasan penyebabnya oleh Menkes sama persis dengan awal tulisan di atas, yaitu tersedot pada pembiayaan sub-sektor kuratif. Hal ini tentu saja secara langsung ataupun tidak langsung, sama saja mengakui kegagalan berbagai macam metode dan cara dari Kementerian Kesehatan R.I. dalam mengembangkan dan mengoptimalisasi sub-sektor promotif dan preventif kesehatan. 

Sayangnya pemahaman dan penjelasan Menteri Kesehatan saat ini, terkesan mengambang dan tidak lengkap secara kronologis ataupun historis. Sehingga seolah-olah lari dari tanggung jawab dan seperti menuding bahwa yang "salah" adalah mayoritas rakyat Indonesia yang kurang menjaga dan memperhatikan aspek pencegahan penyakitnya ataupun tidak mampu melaksanakan pola hidup sehat. Memang pernyataan Menkes mungkin ada benarnya, tetapi tidak bisa melepaskan dirinya dari tanggung jawab sebagai pemegang otoritas tertinggi di sektor kesehatan di Indonesia. Bahkan malah tidak menyelesaikan masalah.

Seorang Menteri Kesehatan seharusnya paham bahwa sampai kapanpun anggaran pembiayaan kesehatan akan tersedot pada pengobatan dan penyembuhan penyakit (kuratif). Dalam perencanaan hal ini adalah biasa dan tidak akan terhindari. Oleh karena demikian, maka hal inilah yang menjadi dasar dari sistem pembiayaan (asuransi) kesehatan yang menerapkan suatu pola "orang kaya membantu/ menyubsidi orang miskin" yang menjadi landasan dari dirancangnya program JKN dengan regulatornya Kementerian Kesehatan dan penyelenggaranya BPJS Kesehatan.

Akan tetapi, sampai lebih dari 3 tahun program ini berjalan malah terjadi anomali, dimana yang terjadi di lapangan malah justru "orang miskin yang membantu/ menyubsidi orang kaya" pada para peserta JKN. Yang mana cakupan kepesertaannya sampai pada tahun 2017 ini sudah lebih dari 70% total penduduk (cakupan terbesar di dunia). Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini jawabannya akan sangat bias karena multifaktorial. Lebih baik kita menentukan prioritas masalah apa saja yang secepatnya dapat kita lakukan untuk mendapatkan solusinya.

Langkah-langkah yang bisa diambil diantaranya adalah memilih orang yang tepat sebagai "leader" di sektor kesehatan, sehingga dapat menguasai masalah dan membuat kebijakan yang cepat, tepat, tegas dan solutif. Mampu berkoordinasi lintas sektoral dan memiliki lobi yang kuat kepada Presiden. Menambah alokasi anggaran khususnya pada premi peserta dengan bantuan iuran (PBI), Pemerintah cukup menambah sedikit saja mendekati atau sama dengan hitungan para ahli pembiayaan kesehatan. 

Memperkuat sub-sektor promotif dan preventif dengan mengoptimalisasi fasilitas kesehatan tingkat pertama/ primer (FKTP), tentu saja dengan anggaran yang efektif dan optimal untuk memperluas dan memperbanyak program pelayanan promotif dan preventifnya. Pengawasan terhadap pembayaran kapitasi dan paket INA-CBGs/ INA-DRG, tentu saja termasuk memperlancar pembayaran jasa sarana, jasa pelayanan dan jasa medisnya. 

Menggaet orang-orang super kaya ataupun pihak swasta termasuk perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk membiayai program-program promotif dan preventif, bila sudah ada maka perbesar jumlah yang ikut serta dan jumlah sumbangannya ataupun perbanyak jenis programnya, tentu saja hal ini perlu teknik dan pendekatan khusus. Untuk melakukannya secara serius, maka dapat dibentuk tim kecil yang fokus melakukan koordinasi dan pendekatan. Tentunya yang sangat penting juga adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi anggaran kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun