Mohon tunggu...
YAKOB ARFIN
YAKOB ARFIN Mohon Tunggu... Buruh - GOD LOVES TO USE WHO ARE WILLING, NOT NECESSARILY THE CAPABLE

Addicted by Simon Reeve which experts conflict resolution documentary with his journey around the Carribean

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nelangsa Ati, Mini Potret 'Tingkah' Pendidik

2 Mei 2016   11:39 Diperbarui: 2 Mei 2016   18:37 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Tempo.co

Mereka berdua bertemu di SPG (Sekolah Pendidikan Guru)  Ma’arif Selorejo, Blitar, tiga puluh enam tahun lalu. Sekolah menengah atas khusus keguruan, pada era itu. Di sanalah mereka sempat saling membenci, dan bermuara pada jalinan kasih tak bersyarat hingga kini.

Setelah lulus dan menikah, keduanya pun mencoba peruntungan ikut angkatan sebagai PNS. Dan keduanya cukup beruntung di antara remaja—remaja tanggung yang sebaya dengan mereka. Diangkat dan kemudian ‘dilempar’ ke sisi barat Pulau Garam yang minim pengajar.

Beradaptasi dengan budaya Madura yang asing dan terlihat sangar, cukup sulit bagi mereka kala itu. Berjalan kaki belasan kilo demi murid-murid lugu yang bersendal jepit, dan menenteng tas kresek berhias seragam lusu merah putih.

Ya, di sanalah bapak dan ibuku mengabdi, hingga kini. Dengan gaji PNS yang kembang kempis Rp 250, di mana kala itu tak sebanding dengan harga susu denko (Dancow) minuman wajib putri pertamanya yang tak mau lepas dari ‘puting’ sapi.

Lahir dan dibesarkan di tengah keluarga sebagai pendidik dan di lingkungan pendidikan. Digendong ibu ke sekolah, naik pick up bak terbuka menuju Desa Tagungguh,  tempat Ibu mengajar. Di sekolah yang sebagian besar wali muridnya bermata pencaharian sebagai buruh tani.

Sementara bapak berkutat mendidik dan belajar mencintai anak-anak nelayan, yang kala itu masyarakat di sana dihantui wabah lepra (Kusta).  

Namun sayang, di balik romantisme apik masa lalu mereka yang kerap ku dengar sebagai obat tidur, kondisinya jauh berbeda.

Terus terang aku kadang bosan, bila tiap akhir pekan mendengar suara ibu di jalur telepon, berakhir dalam kekalahan dan tak mampu melawan. Ia sangat membanggakan almarhum Pak Harun, kepala sekolah pertama di tempatnya mengajar  yang gigih dan keras kepala.

Racun-racun pengerat merasuki  pimpinan yang berotoritas itu. Helai-helai rupiah bantuan operasional sekolah  untuk bocah desa yang giat bersekolah itu tak mampu membuat mereka sumringah.

Kantung seragam kepala sekolah berbudi luhur itu mengembang tak tahu arah. Strategi dan intrik tak kuasa membuat gerah. Makin pilu rasanya, melihat anak-anak didiknya duduk sebangku bertiga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun