Mendengar kabar Panji tewas dicabik komodo, saya dan anak-anak beradu cepat nge-brows ke google, mencari tahu dari berbagai sumber tentang kebenaran berita itu. Anak-anak teriak-teriak, “benar pah..benar pah...Panji udah tewas, ini banyak sekali beritanya.” Saya bukan tidak tau banyak beritanya, saya mencoba mengkorek database Kompas, Detik, Republika, Okezone dan lain-lain, baik berita kematian apalagi sanggahan kematiannya. Saya masih belum 100% percaya, namun karena didukung tidak satupun stasiun TV menyajikan acara Panji atau infotainmen, maka saya berbalik 99% percaya. Logikanya, ya boleh jadi karena itu berita sadis jadi tidak ditayangkan atau dibritakan. Kami sekeluarga berdiskusi dan membayangkan bagaimana tubuh ringkih Panji dibantai dan disobek habis-habisan oleh Komodo yang bergigi besar dan tajam, dengan bobot 3 hingga 4 ton, duh.....Panji. Itu terjadi satu tahun yang lalu, hingga suatu ketika saya dan teman-teman jalan ke Ancol (biasalah, acara h+1 acara dinas) terkaget-kaget alang kepalang, gambar Panji Sang Patualang membentang dan membentuk sebuah arena pertunjukan. Saya jepret pamplet arena dari berbagai sudut, lalu mengikuti kata hati saya mencoba masuk arena melalui pintu utama, “Maaf pak tidak boleh masuk, acara baru dimulai pukul satu!” Sergah sekuriti, mencoba halangi saya masuk. Berlagak seperti wartawan dengan kamera Nikon P500 (bukan standar wartawan kali ya?), saya baik-baik ngomong dengan penjaga pintu, “saya bukan mau nonton, saya mau wawancara dengan Panji. Hanya lima menit, setelah itu saya akan keluar.” Entah karena saya kelihatan bego atau mata saya berhasil meyakinkannya, saya diijinkan masuk. Begitu masuk, Panji barusan keluar dari kamar ganti dan langsung saya samper, “Assalamu’alaikum!” (kebiasaan saya kalau muslim saya awali dengan ass jika non muslim dengan selamat pagi/siang/sore dll). Saya tidak tau apa Panji menjawab salam saya atau tidak, bukan urusan. Bersalaman, “Panji, 1000% saya dan keluarga meyakini kamu telah tewas dicabik Komodo. Saya masih ga percaya, kalau kamu masih hidup.” “Saya masih hidup pak, ha ha ha.....” “Lalu tentang berita kematian itu?” “Itu ulah iseng blogger, saya lupa nama blognya.” “Panji, saya ingin kita foto bareng untuk membuktikan kepada anak-anak saya bahwa Panji masih hidup.” Prat-pret....prat-pret, selesai. Dan ini akan menjadi hadiah besar untuk anak-anak di rumah. Persis perkiraan saya, anak-anak di rumah ribut mendebat bahwa itu bukan Panji, saya disebut tukang gosip, kecuali setelah ibunya menjelaskan dengan caranya sendiri. Olala....begitu hebatnya intenet. Jika tidak dicukupi dengan logika-logika, mungkin internet akan menjadi sumber gosip dahsyat. Oke Panji, meskipun saya tahu kamu telah melanggar kode etik Reality Show, you are still my family's favorite.