Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hadiah dan Gratifikasi dalam Hukum Syariah Islam

16 Juli 2013   16:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:28 5633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_266885" align="aligncenter" width="275" caption="foto : majalah.hidayatullah.com"][/caption]

Tadi pagi saat sahur, saya menikmati tayangan bincang-bincang tentang bisnis syariah di TV One yang hadir setiap jam 4 pagi, dipandu Syakir Sula dengan nara sumber tetap Syafii Antonio. Beliau pakar ekonomi syariah yang sudah sangat kondang, tapi beliau lebih suka disebut akademisi. Ada yang menarik dari tayangan padi tadi yang topiknya tentang “HADIAH” dalam pandangan Islam. Saling memberi hadiah dalam Islam sangat dianjurkan karena dapat mempererat tali silaturahmi. Tapi, hadiah yang seperti apa dulu?

Menurut Pak Syafii Antonio, hadiah dalam Islam dibagi menjadi 3 macam :

1.Hadiah dari seseorang yang posisinya “di bawah” kepada orang yang posisinya “di atas”, semisal hadiah dari bawahan kepada atasan, dari seorang yang memiliki kepentinganbisnis kepadan orang yang punya kewenangan mengambil keputusan atas bisnis tersebut. Hadiah semacam ini yang tidak diperbolehkan.

2.Hadiah dari seseorang kepada orang lain yang setara, misalnya antar teman, kerabat, keluarga, tetangga. Hadiah semacam ini boleh dan dianjurkan sepanjang saling memberi manfaat dan mempererat persahabatan/persaudaraan.

3.Hadiah dari seseorang yang posisinya “di atas” kepada orang yang posisinya “di bawah”, dimana si pemberi tak memiliki kepentingan terhadap yang diberi dan tak ada pamrih untuk mendapatkan balasan. Seperti hadiah dari majikan kepada pekerjanya, hadiah dari pejabat kepada bawahannya, hadiah dari orangkaya kepada kaum fakir, dll. Inilah bentuk hadiah yang sangat dianjurkan.

Pak Syafii Antonio mengisahkan tentang seorang petugas pemungut zakat pada masa Rasulullah. Saya rasa sebagian besar sudah banyak yang mendengar kisah ini. Ceritanya ada seorang pemungut zakat yang dia memang bekerja untuk Baitul Maal dan digaji oleh negara untuk profesinya itu. Seperti kita tahu, dalam negara Islam zakat seperti halnya pajak. Suatu kali, sepulang dari memungut zakat, si petugas ini datang kepada Rasulullah dan melaporkan hasilnya. Ia menyerahkan hasil zakat dari kaum Muslim yang didatanginya. “Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi”. Mendengar hal itu Rasulullah lalu memerintahkan agar ia mengembalikan. Alasannya : “Jika sekiranya engkau tak aku tugaskan untuk memungut zakat darinya, apakah hadiah ini akan diberikannya padamu? Bukankah kamu sudah digaji oleh negara untuk tugas ini?”.

[caption id="attachment_266886" align="aligncenter" width="297" caption="foto : forum.kompas.com"]

13739677862012967687
13739677862012967687
[/caption]

Nah, sedemikian ketatnya Rasulullah Muhammad SAW menjaga agar abdi negara yang telah diberikan gaji dan fasilitas oleh negara, tidak lagi menerima pemberian apapun dari masyarakat. Tak peduli apakah pemberian itu menyebabkan kerugian negara atau tidak. Tak peduli apakah si penerima hadiah memberikan janji-janji yang akan menguntungkan si pemberi hadiah atau tidak. Begitu hati-hatinya Rasulullah, sampai hadiah yang dilaporkan pun tetap harus dikembalikan atau diberikan ke Baitul Maal untuk menjadi hak negara yang akan didistribusikan kepada kaum yang berhak. Anda yang ingin membaca lebih banyak soal ini dan kupasannya dari sudut pandang Islam secara lebih mendalam, tadi saya menemukan BLOG INI, yang mungkin bisa memberikan penjelasan lebih detil ketimbang tulisan saya sebagai orang awam.

Yang menarik bagi saya, dalam kasus ini Rasulullah spontan seketika itu juga melarang penerimaan hadiah itu, tanpa perlu mempertanyakan apakah ada kecurangan dalam penghitungan zakat si wajib zakat ataukah si penerima menjanjikan kemudahan bagi si pemberi hadiah. Ini karena pada dasarnya hadiah yang diterima terkait dengan posisi si penerima, sudah dapat dikategorikan sebagai GULUL dalam Islam, yaitu gratifikasi dalam istilah kita. Dalam bahasa Pak Syafii Antonio : mereka yang punya (kewenangan) tanda tangan, punya pengaruh, punya keputusan, maka haram hukumnya menerima hadiah dari pihak lain yang mana jika saja ia tak duduk di posisi itu niscaya hadiah itu tak akan diberikan padanya.

Kenapa saya katakan menarik? Karena belakangan banyak yang berdalih “apakah ada kerugian negara?” dalam suatu kasus dakwaan penerimaan gratifikasi. “Bukankah belum terjadi kerugian negara karena uangnya belum sampai?” Atau dalih lain : “Bukankah Pak XYZ tidak menjanjikan apa-apa kepada si Fulan?”. Bahkan terkadang seolah berlepas tangan : “itu kan karena si Fulan makelar, dia sudah biasa memberikan hadiah kepada siapa saja. Ada banyak orang yang menerima hadiah dari si Fulan” dan banyak lagi alasan pembenar.

Jika menyimak penjelasan Pak Syafii Antonio pagi tadi, tidak peduli apakah ada pihak yang dirugikan atau pihak yang diuntungkan, atau dalam pemberian hadiah tersebut tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, tetap saja menerima hadiah dalam kaitan dengan posisi/profesi seseorang itu dilarang/haram hukumnya. Apakah negara dirugikan atau tidak, selama si penerima hadiah menjalankan profesinya itu mendapatkan gaji dari negara, maka tidak boleh ia menerima hadiah. Begitupun apakah si penerima hadiah menjanjikan sesuatu atau tidak, si pemberi hadiah mengharap sesuatu atau tidak, tetap saja tidak diperbolehkan menerima hadiah dan itu tergolong gulul atau gratifikasi.

[caption id="attachment_266888" align="aligncenter" width="221" caption="foto : www.al-khilafah.com"]

1373967909290839001
1373967909290839001
[/caption]

Dalam kisah si pemungut zakat yang membuat Rasulullah marah itu, si pemberi hadiah memberikannya begitu saja tanpa meminta kemudahan untuk pemungutan zakatnya. Sebaliknya si penerima hadiah juga tak melakukan penyimpangan dalam menghitung zakat si muzakki (wajib zakat) yang memungkin si muzakki diuntungkan. Si penerima zakat juga tak menjanjikan apapun dan sama sekali tak ada kerugian negara (baitul maal). Tapi tetap saja Rasulullah marah dan melarang petugas pemungut zakat itu menerima hadiah yang tidak mungkin akan dia dapatkan seandainya dia tak ditugaskan oleh negara menjadi pemungut zakat. Sebab dampaknya bisa jadi tak terjadi saat itu, tapi di kemudian hari si penerima hadiah akan bersikap lebih lunak pada pemberi hadiah.

Dalam contoh kasus misalnya saya sebagai seorang yang berprofesi sebagai bagian HRD di Perusahaan, lalu saya menerima hadiah dari calon karyawan yang akan mengikuti seleksi penerimaan. Terlepas apakah saya menjanjikan dia akan saya luluskan atau tidak, apakah saya akan memberikan kelonggaran padanya atau tidak, maka menerima hadiah dari calon karyawan itu haram hukumnya bagi saya. Beberapa tahun lalu, ada salah satu peserta seleksi yang sudah lolos seleksi dan tinggal tahap akhir. Lalu peserta ini menanyakan nomor HP saya yang saya tolak untuk menyebutkan dengan alasan silakan saja dia menghubungi nomor kantor untuk menanyakan perihal pengumuman hasil akhir seleksi, jangan ke HP saya pribadi. Ternyata saya salah duga, dia katakan bahwa dia akan ke ATM untuk membeli pulsa untuk saya. Tak terkira amarah saya waktu itu, tapi saya usahakan untuk menahan, dengan menjawab : “Maaf HP saya pasca bayar dan sudah dibayar Perusahaan”. Dia pun pergi dengan menahan malu. Pada tahap berikutnya, saya sengaja tak meloloskan orang itu, meski mungkin dia cukup punya peluang untuk lolos. Kenapa?! Ya, karena mentalitasnya saya nilai sudah tidak baik. Lagi pula ia tak punya cukup rasa percaya diri untuk berkompetisi secara fair. Jadi bagaimana mungkin saya yakin orang seperti itu bagus kualitasnya?

Dulu saya pernah punya teman yang ditempatkan di bagian keuangan, bertugas memverifikasi kelengkapan dokumen tagihan darivendor sebelum diajukan ke Bendahara untuk dilakukan pembayaran. Tanpa ia meminta, beberapa vendor sering memberinya hadiah, mulai dari sekedar cemilan, benda-benda yang mungkin dibutuhkannya, sampai uang sekedarnya. Mereka menyebutnya “ongkos ngetik”. Teman saya itu – sebut saja namanya Mbak Ita – sampai bisa mengelompokkan mana vendor yang pelit dan mana yang pemurah. Ketika saya desak apakah ia melakukan “diskriminasi” pada vendor-vendor itu, Mbak Ita mengelak. Tapi tak dipungkiri bahwa ia akan lebih mudah menolong vendor yang pemurah kalau kelengkapan tagihan kurang, ia akan segera menelpon. Sebaliknya kalau vendor yang pelit, tetap dilayaninya tapi jika kelengkapan kurang ia akan memberitahu jika si vendor sudah datang lagi. Bukankah mau tak mau perilaku terbiasa menerima hadiah ini lama-lama bisa membentuk sikap mentalnya?

Ketika kemudian dipindahkan ke bagian Personalia dan bertugas untuk memverifikasi pengajuan kredit karyawan baik ke koperasi perusahaan maupun ke bank yang bekerja sama dengan perusahaan, perilaku Mbak Ita tak berubah. Ia tetap enjoy menerima “tanda terima kasih” dari karyawan yang sudah dia uruskan kreditnya. Meski ia tak pernah meminta dan tetap melayani mereka yang tak memberinya hadiah, namun tak bisa dipungkiri bahwa ada perbedaan sikap dalam melayani dan memudahkan urusan, yang semestinya sudah menjadi tugasnya.

[caption id="attachment_266889" align="aligncenter" width="259" caption="foto : koruptorindonesia.com"]

1373968000727151231
1373968000727151231
[/caption]

Jadi, sekali lagi, kembali ke hukum syariah Islam, maka menerima hadiah terkait dengan posisi/ jabatan/ profesi/ kewenangan seseorang, maka itu tergolong gulul atau gratifikasi dan HARAM hukumnya. Tak perlu lagi diperdebatkan apakah ada pihak yang diuntungkan atau dirugikan, adakah kerugian negara atau tidak, apakah si penerima menjanjikan sesuatu atau tidak, apakah si pemberi menyampaikan harapan/keinginannya atau tidak, gulul tetaplah gulul dan tidak bisa disebut hadiah silaturahmi belaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun