Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membeli Suara Rakyat dengan Uang Hasil Korupsi?

16 Maret 2019   05:36 Diperbarui: 16 Maret 2019   05:40 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika para pejabat negara tersandung kasus korupsi, sebuah pertanyaan muncul? Mengapa para pejabat yang terhormat dengan fasilitas mewah dan gaji besar masih harus maling uang negara?  Pertanyaan itu wajar, model hidup seperti apa yang diharapkan lagi dengan materi yang melimpah dari hasil korupsi? Dalam dimensi itu, nampaknya, ada pergeseran nilai  dalam masyarakat. Nilai itu, sesungguhnya, meminjam terminologi psikolog  Harvard University Henry Alexander Murray (1893-1988) menyebutnya sebagai 'extraception, yaitu  sikap skeptis  atau biasa-biasa saja seseorang terhadap fenomena  yang ada lingkungannya. 

Respon extraception (ekstrasepsi), muncul karena lingkungan sosial tidak memberikan tekanan terhadap tindakan  yang  melanggar norma, seperti korupsi. Korupsi sudah dianggap tindakan biasa dan umum, karena punishment yang diberikan kepada koruptor  sangat ringan, sehingga tidak memberikan efek jera.

Akibatnya, korupsi  telah mengalami proses internalisasi di  "long term memory otak nya "secara permanen pada  sebagian warga bangsa, dan tidak menimbulkan instabilitas pada diri seseorang bila mereka melakukan korupsi  walau itu melanggar hukum. Celakanya,  tindakan-tindakan yang diakibatkan akan terus menular pada orang lain.

Ekstrasepsi  pun telah membangun  dimensi baru  dalam benak individu, bahwa korupsi menjadi  semacam budaya instan agar bisa kaya dengan cara cepat, karena  adanya pasal karet yang bisa dibeli. Tidak sedikit aparat hukum juga berperan sebagai makelar kasus, sehingga hukuman benar-benar ringan dan bebas. Sampai disini berlaku Teori Ramirez Torres tentang korupsi,  yaitu korupsi adalah kejahatan kalkulasi atau perhitungan (crime of calculation) bukan hanya sekedar keinginan (passion).

Seseorang akan melakukan korupsi jika hasil yang didapat dari korupsi lebih tinggi dari hukuman yang didapat dengan kemungkinan tertangkapnya yang kecil. Lebih-lebih mantan korupsi bisa menjadi pejabat, juga tetap kaya, sehingga terus terpandang.

Dalam masyarakat yang sakit, menjadi pejabat adalah cita-cita agar bisa  mendapat kesempatan untuk merampok uang negara,  sehingga proses menjadi pejabat  serta duduk di lembaga negara dan  di pemerintahan  dapat dilakukan dengan 'menghalalkan segala cara" termasuk membeli suara rakyat  karena punya uang hasil korupsi.

Akibatnya muncul "kondisi masyarakat sakit,   dengan ciri-ciri yang amat jelas, yaitu,  pertama, sistem hukum yang ada terbukti telah gagal melindungi masyarakat dan menghilangkan atau mengurangi kejahatan. Kedua, penegak hukum gagal menjalankan fungsinya secara benar. Ketiga, berkembangnya suasana anarkisme massal, yakni ketika terjadi kecenderungan, bahwa tiap persoalan yang ada di tengah masyarakat, penyelesaiannya ditempuh dengan cara kekerasan. Ketiga ciri itu sangat akrab pada diri masyarakat kita.

Dalam bingkai itu, ekstrasepsi semakin menyuburkan  budaya korupsi pada aras budaya patronase. Tak aneh , bila  bupati, gubernur, DPRD, DPR , MK, DPD  dan teranyar kasus OTT ketua partai  sudah terinfeksi virus korupsi. Peristiwa terakhir menunjukkan bahwa kekuasaan memang sangat menentukan di negeri ini, sebab memperdagangkan pengaruh (trading in influence), juga praktek korupsi, baik memberi tawaran (active trading in influence), maupun menerima tawaran (passive trading in influence).

Akibatnya saat ini, tidak ada institusi  dan entitas  negeri ini yang steril dari virus korupsi. Mulai dari keluarga, suami istri, atau orang tua --anak, berkolaborasi untuk melakukan korupsi. Celakanya, juga entitas penjaga moral dan etika pun tak kebal dari korupsi, sehingga perlu diberikan  antibodi untuk mencegah penyakit korupsi itu.

Entitas kekuasaan memang rentan dengan infeksi korupsi, mana kala pengendaliannya, juga terpapar korupsi. Dibingkai itu, menurut  Klitgaard (1988) dalam buku "Controlling Corruption", menyebutkan bahwa  monopoli kekuatan oleh pimpinan (monopoly of power) ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang (discretion of official) tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Pejabat publik melakukan tindakan korupsi, adalah   penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yaitu  pemerintahan oleh para pencuri.

Kondisi ini telah didengungkan dengan keras oleh Lord Acton (1834 -1902), bahwa kekuasan berkorelasi positif dengan korupsi. Ia mengatakan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun