Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu sebagai Garda Terdepan Perangi Kekerasan Pada Perempuan dan Anak

19 Desember 2016   08:42 Diperbarui: 9 Januari 2017   12:19 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekerasan Mempengaruhi Psikologis Korban. Sumber Gambar Intipesan.com

Kekerasan pada perempuan dan anak memang telah menjadi fenomena sosial yang sering kita jumpai atau kita baca pada rubrik berita. Faktor lingkungan sosial, pola asuh keluarga, pendidikan, hingga kurangnya mawas diri menjadi penghias penyebab maraknya kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Indonesia. Bila merujuk pada data Komisi Nasional Perempuan yang dikutip dari berita Kompasiana tercatat di tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan pada perempuan dimana jumlah ini meningkat 9 persen dari tahun 2014. Disisi lain Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015 mencatat setidaknya ada 1.698 pengaduan kekerasan pada anak baik berupa kekerasan seksual, penganiayaan, penelataran, dan kekerasan lainnya.

Perempuan dan anak menjadi dua sosok yang seringkali menjadi korban kekerasan khususnya dalam rumah tangga. Ketidakberdayaan dalam membela diri hingga masih ada pemikiran tradisional untuk tidak melawan suami atau orang lebih tua seakan menjadi sikap pasrah yang berujung pada "menerima" sebagai korban kekerasan. Kasus kekerasan suami kepada istri, orang tua pada anak, kakak kepada adik, mertua kepada menantu ataupun sebaliknya menjadi bagian dari kekerasan rumah tangga baik bersifat kekerasan fisik, verbal hingga pelecehan seksual.

Tanpa disadari karakter seseorang menjadi sosok yang tempramental atau terbiasa melakukan kekerasan baik, verbal maupun psikologi kepada orang lain juga dapat disebabkan karena kesalahan pola asuh dari lingkungan keluarga semasa kecil. Mengapa? Bagi sebagian orang tua, ada tindakan yang kurang tepat dalam mengasuh ataupun mendidik anak yang tanpa mereka sadari akibat tindakan tersebut justru membuat anak memiliki karakter yang kurang peduli terhadap orang lain. Apa saja itu?

1. Anak adalah Buah Hati yang Selalu Dibela

Sangatlah wajar orang tua menyayangi putra/i-nya namun menjadi tidak wajar ketika rasa sayang yang berlebihan justru membiarkan sikap anak yang salah dengan tidak ingin menegur karena takut anak menjadi tersinggung atau dicap orang tua yang "jahat". Ingatkah kita tentang pemberitaan dimana orang tua langsung menjadi pembela anak ketika seorang guru menghukum anaknya. Contoh kasus yang terjadi di Makassar dimana seorang guru dipukul oleh orang tua siswa hingga berlumuran darah karena ditegur tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) serta sang siswa justru membalas dengan mengeluarkan kata-kata kotor (baca berita disini). Diketahui belakangan bahwa sosok siswa tersebut memang dikenal susah diatur.

Kekerasan secara psikologis justru lebih meninggalkan luka mendalam pada diri seseorang. Sebagai orang tua, jangan pernah ragu untuk menegur atau menghukum anak bila mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Disaat anak mulai mengeluarkan kata ejekan, hinaan, makian, hingga kata kotor kepada orang lain, tanamkan dalam diri kita bahwa tindakan verbal seperti itu bila tidak diarahkan sesegera mungkin akanmenjadi tabiat yang akan semakin susah untuk merubahnya. Jangan heran bila ada suami memaki istrinya atau bapak mengeluarkan kata kasar pada putra/i-nya karena orang tua tidak pernah menegur sedari awal.

2. Pola Asuh Orang Tua pada Anak, Didik Anak Menjadi Sosok "Pemberani"

Pola asuh orang tua berperan penting terhadap pembentukan karakter anak. Ini dikarenakan orang tua merupakan lingkungan terdekat bagi sang anak sehingga hal-hal yang diajarkan oleh orang tua selama masa kanak-kanak hingga dewasa cenderung akan diingatkan lebih lama dalam pikiran anak. Perlu digarisbawahi bahwa bila orang tua mengajarkan nilai-nilai kebaikan tentu karakter anak akan terbangun positif dengan sendirinya begitupun sebaliknya. Ironisnya masih ada pola asuh yang "kurang tepat" bagi sebagian kalangan orang tua. 

Saya kerap kali masih mendengar istilah, "Jangan Pulang Sebelum Menang". Istilah ini sering saya dengar ketika seorang bapak mendapatkan anaknya menangis atau babak belur ketika berkelahi dengan temannya. Hal menggelitik ketika seorang teman memberitahu saya bahwa hal tersebut adalah hal lumrah di kampung halamannya karena menyangkut harga diri ayah sebagai orang tua yang tidak ingin anaknya menjadi seorang pecundang. Memang baik bila orang tua mengarahkan anak menjadi sosok pemberani dalam membela yang lemah atau berani melawan kejahatan sosial seperti korupsi dibandingkan menjadi sosok "pemberani" ditengah lingkup sosial. 

Didikan "pemberani" ini acapkali menjadi bumerang karena anak terbiasa dengan kekerasan. Sedikit masalah diselesaikan dengan kekerasan maka kekhawatirkan muncul ketika sang anak beranjak dewasa atau bahkan berumah tangga. Sekali anak terbiasa untuk melakukan tindakan kekerasan hanya demi menjaga harga dirinya maka bukan hal mustahil ia akan menjadi sosok tempramental dalam keluarga. Fenomena sang ayah memukul, menampar, melukai, maupun tindakan fisik lainnya kepada istri atau anak-anaknya bisa didorong karena faktor pola asuh yang salah dari orang tuanya terdahulu.

3. Fasilitas Tanpa Kotrol Orang Tua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun