Mohon tunggu...
Marchel Joshua
Marchel Joshua Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Balada Perindustrian Film Indonesia

25 April 2017   20:34 Diperbarui: 26 April 2017   22:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Film adalah bagian penting dari hidup manusia”. Begitu kata Joko Anwar, salah satu sutradara kawakan Indonesia. Namun perindustrian film Indonesia harus bekerja keras. Mengapa demikian? Di tengah serbuan film-film box office luar negri, film-film lokal kehilangan tempat di hati penikmat film Indonesia. Film-film asing masih menjadi magnet terbesar untuk masyarakat Indonesia. Banyak faktor yang menghambat perkembangan industri film Indonesia. Kondisi penduduk Indonesia yang sebagian besar di dominasi oleh kelas menengah yang paling sering melakukan konsumsi otomatis akan memunculkan lebih banyaknya permintaan akan film – film lokal. Namun dengan segala permasalahan yang ada, bisa jadi film-film lokal akan kehilangan penggemar. Perindustrian film Indonesia harus sering-sering update dengan kondisi industri perfilman dunia.

Apa maksudnya update? Tahun 2016 didominasi dengan film-film bergenre superhero. Lihat saja betapa suksesnya film Deadpool, Suicide Squad, dan Captain America: Civil War. Ketiga film tersebut menempati posisi secara berturut-turut 9,7 dan 1 sebagai film berpendapatan tertinggi di tahun 2016. Mungkin film bergenre superhero menjadi tantangan yang berat bagi sutradara Indonesia. Industri film Indonesia pernah menelurkan film Garuda Superhero, namun berkahir dengan merugi. Terlalu susah untuk bersaing dengan film-film keluaran semacam Marvel dan DC. Namun tanpa perlu berputus asa, di tahun 2016 film-filmremake juga medulang sukses. Contohnya adalah film The Legend of Tarzan dan Jungle Book yang menempati posisi 10 dan 6 sebagai film terpopuler versi IMDb. Jika kita perhatikan, film The Legend of Tarzan dan Jungle Bookhanyalah film yang dibuat berdasarkan buku cerita. Bahkan kita pasti pernah mendengar dongeng tentang mereka sewaktu kecil. Namun mengapa bisa sukses? Mungkin inilah kelemahan perindustrian film Indonesia. Sutradara-sutradara Indonesia kurang bisa mengangkat kisah sederhana menjadi sebuah film yang menarik. Meskipun tema yang diusung sederhana namun jalan cerita menjadi kunci kesuksesan sebuah film. Indonesia kaya akan cerita-cerita tradisional semacam itu. Alangkah baiknya apabila sutradara lokal bisa mengangkat cerita-cerita rakyat menjadi sebuah film. Namun sekali lagi, kreatifitas sang sutradara menjadi modal utama kesuksesan film tersebut.

Bagaimana dengan trend film Indonesia? Sepertinya kancah perfilman Indonesia masih didominasi film beraliran komedi, romantisme, dan tokoh-tokoh berpengaruh, serta film remake. Sebut saja film Warkop Reborn yang menembus angka 6 juta penonton. Meskipun berbeda aliran dengan The Legend of Tarzan dan Jungle Book, namun film Warkop Reborn menunjukkan bahwa film remake bisa sukses asalkan bisa menambahkan warna baru dari film sebelumnya. Film-film komedi seperti Cek Toko Sebelahjuga mendulang sukses. Kepiawaian sang sutradara dalam mengolah premis film menjadi kunci tentunya. Hal semacam ini patut dipertahankan. Bukan berarti perindustrian film Indonesia harus menjadi pengikut tren. Namun perindustrian film Indonesia harus serius dalam menggarap sebuah film, dengan memperhatikan faktor-faktor apa yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

Penulis membandingkan film-film lokal dengan film-film box office, yang notabene menggunakan teknologi mumpun. Sebut saja teknologi CGI (Computer-Generated Image). Indonesia pernah mencobanya dalam film Garuda Superhero, meskipun film tersebut kurang sukses. Namun ini adalah awal yang baik. Hanya perlu dikembangkan. Mungkin membutuhkan waktu yang lama, namun banyaknya film yang menggunakan CGI yang sukses bisa menjadi jaminan. Hal ini bisa menjadi perhatian bagi lembaga pendidikan sinematografi di Indonesia.

Rasanya penulis terlalu memberatkan tugas para kreator film lokal, sehingga melupakan satu hal yaitu media pendukung suksesnya sebuah film.
Salah satu petinggi MD Entertainment, Manoj Punjabi, mengatakan bahwa jumlah bioskop di Indonesia yang hanya 1.117 layar tidak dapat mengimbangi permintaan film lokal dari besar nya jumlah penduduk yang ada di Indonesia. Jumlah tersebut juga tak terdistribusikan dengan rata. Praktis tayangan di bioskop hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Selain itu sedikitnya investor lokal khususnya pemerintah dalam pembuatan hal juga menjadi hambatan. Kita bisa melihat film karya Joko Anwar yang bertajuk A Copy of Mind yang kekurangan sponsor. Tak kehilangan akal, sang sutradara mengikutsertakan film yang dibuatnya dalam Asian Project Market di Busan International Film Festival. Hal ini berbuah manis karena film A Copy of Mind memenangkan hadiah pendanaan proyek sebesar Rp 150 juta. Selanjutnya film tersebut meraih kesuksesan di berbagai festival film dunia.

Segala pemaparan di atas merupakan bukti konkret akan hambatan yang ada perindustrian film Indonesia. Pelestarian dan dukungan akan perindustrian film Indonesia dimulai dari kita dan pada akhirnya semakin banyak yang peduli. Semoga industri perfilman Indonesia semakin maju.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun