Setiap kali kita membaca betapa pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, kita juga dihadapkan dengan foto-foto yang menunjukkan kualitas udara di negeri tersebut. Tentu saja kita langsung berpikir inilah potret polusi udara. Apakah ini adalah efek CO2 mengingat Cina saat ini adalah negara dengan pembangkit listrik terbanyak di dunia dan pembakaran batu bara memang banyak menghasilkan CO2 ? Sayangnya bukan.
Saat yang sama deindustrialisasi di Eropa telah menurunkan tingkat produksi polutan yang menacapai puncaknya di dekade 1960-an dan 1970-an. Memang kendaraan bermotor sangat banyak di Eropa namun  sejak 2016, Uni Eropa sudah memberlakukan Euro IV standard untuk menekan CO2 dan emisi lainya. Bagaimana hasilnya ? Memang lebih baik tetapi mengandung smog yang jauh lebih tinggi daripada di akhir tahun 1990-an. Foto Paris yang diambil bulan Dsember lalu sebenarnya mengingatkan foto-foto yang diambil di akhir tahin 1970-an.
CO2 bukanlah gas yang berwarna, maka sulit untuk dipotret. Sementara itu semua gas yang mengandunag senyawa noitogen-oksiden (Noitous Oxides -- NOx) cenderung untuk berwarna kecoklatan yang oleh anak anak di Jawa sering disebut sebagai beluk alias asap. Udara berwaran kecoklatan seperti ini banyak terlihat di foto-foto kota besar Cina saat ini. Polutan lainnya adalah particulate matter ,yang seperti NOx mudah disomose oleh paru-paru untuk memasuki aliran darah. Bersama polutan Hidro-Karbon lain (HC) yang dihasilkan oleh pembakaran tak sempurna, semua emisi ini bersifat karsinogenik. Mereka juga berfungsi sebaagai nukleus kondensasi sehingga menghasilkan smog (smoke + Fog) sehingga menghasilakn foto kualitas udara di Beijing dan Paris.
Dalam prakteknya banyak produsen melanggar Euro V dan VI. Pelanggar terbesar tentu saja VW yang mengklaim bahwa semua mesinnya dapat memenuhi Euro VI tanpa menggunakan Add Blue. Caranya ? memasang software di hampir semua mobile bermesin dieselnya -- sebuah solusi yang sangat cerdik! VW dengan sengaja menciptakan software untuk menekan emisi ketika kendaraan sedang diuji. Mengapa ? untuk mengurangi emisi maka mesin harus beroperasi secara tidak ekonmois sehingga tidak akan menarik bagi pembeli.Sekitar 17 juta kendaraan VW di pasar Eropa memakai software ini dan sekitar 7 juta di Amerika Serikat. Ironisnya skandal ini pertama kali terkuat di AS.
Sejak terkuaknya skandal VW dipenghujung 2015, pasar mobil penumpang dengan mesin diesel di AS rontok. VW si raja diesel di AS sudah tidak menjual mobil bermesin diesel satupun ni negara tersebut. VW pun harus memberi kompensasi atau membeli kembali mobil yang telah dijual ke konsumen di AS. Tidak jelas akan dikemanakan mobil-mobil tersebut. Mungkin akan dikirim ke negara yang tidak memiliki aturan emisi ketat sebagai mobil murah. Di Eropa pasar mesih diesel turun dengan tajam walaupun tidak seekstrim di Eropa. Walaupun tidak ada kewajiban untuk membeli kembali, saat ini banyak usulan agar dibuat kebijakan publik untuk membesi tuakan mobil-mobil bermesin diesel, bahkan yang masih berusia kurang dari 5 Â tahun ! Artinya alih alih melindungi lingkungan dengan mengurangai polusi mesin diesel hanyalah sekedar menambah sampah!
****
Terus terang saya memang tertarik dengan teknologi untuk mengurangi efek negatif manusia terhadap lingkungan hidup. Tujuan semua kebijakan low emision engine adalah baik. Namun tidak semua solusi yang ada sebenarnya masuk akal. Dieselisasi adalah salah satu solusi aneh bin ajaib ini. Membawa Indonesia ke standar Euro V adalah keharusan (kalau tidak salah Indonesia sebenarnya sudah mengikuti Euro III sejak tahun 2014). Â Namun, sebenarnya yang diperlukan Indonesia saat ini adalah proses uji emisi yang lebih ketat sehingga tidak ada satupun kendaraan yang diperbolehkan untuk beroperasi apabila tidak memenuhi standar yang diberlakukan.
Dieselisai adalah sebuah kesalahan. Pengalaman di Eropa menunjukan hal tersebut. Kalau kita mengarah kesana, bukan tidak mungkin timbunan mobil yang ditolak di AS dan Eropa akan membanjiri Indonesia. Siapakah yang tidak mau memiliki VW dengan harga Xenia ?
.Â