Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islamisasi Pemimpin Indonesia

16 Desember 2016   18:42 Diperbarui: 17 Desember 2016   06:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: belaislam.net

Diskursus dugaan tindak pidana penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (alias Ahok) yang berkembang saat ini kalau tidak salah akibat pernyataannya yang disampaikan dalam pidatonya di Kabupaten Kepulauan Seribu pada hari Selasa, tanggal 27 September 2016 yang menyatakan “...dibohonginpakai surat Al Maidah 51...”. Pernyataan Ahoktersebut disatu sisi dinilai telah menista Islam sehingga menimbulkan aksi besar jutaan orang membela Islam, sedangkan disisi lainnya dalam nota keberatan yang dibacakan bersangkutan pada tanggal 13 Desember 2016, telah dibantahnya dengan karena adanya konspirasi oleh oknum politisi yang tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada.

Sampai disini persoalan yang ditangkap dalam pembahasan artikel ini mengenai Islamisasi pemimpin di Indonesia, dan tidak membahas persoalan Ahok yang telah disidangkan pada Pengadilan Jakarta Utara.

Islamisasi pemimpin di Indonesia saat ini dipahami oleh sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim mendekatkan pada realitas produk hukum positif Indonesia dengan teks-teks yang tertuang dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga konsep pengetahuan yang diterima oleh masyarakat mayoritas Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu qauliahdankauniyah (“qauliyah” adalah ayat-ayat yang sudah tertulis dalam Al Qur'an, sedangkan ayat-ayat “kauniyah” adalah ayat-ayat Allah yang ada di sekitar kita alam, kejadian, persoalan hidup, dan semua dinamika yang
 ada dalam kehidupan).

Sementara dengan merujuk pada kutipan pendek “Humaniora dalam Al-Quran” bermaksud menegaskan konsep klasifikasi pengetahuan menjadi tiga, yaitu qauliah,kauniyah, dan nafsiah (“nafsiah” artinya sifat ilmu itu terpisah dengan Zat Allah. Sebab Allah mengetahui sesuatu dengan ilmu-Nya, bukan dengan Zat-Nya), sehingga konsep penerapan Islam pada realitas telah dipahami diawal sebelum realitas muncul, dan bukan dari pengetahuan yang hadir dulu kemudian di Islamkan. Dengan demikian gerakan intelektual Islam sudah harus meninggalkan gerakan “konteks” ke “teks” menjadi “teks” menuju ke “konteks”.

Oleh karenanya dalam menyikapi Islamiasi pemipin Indonesia, kita telah di ingatkan untuk berhati-hati dalam menyikapinya, sebab salah-salah kita terjebak pada “kebencian” yang berlebihan. Bahwa Islam adalah agama “rahmatan lil ‘alamin” artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

 Adapun dalam rangka mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap Islamisasi pemimpin Indonesia tersebut dapat menggunakan pendekatan melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, baik tersirat maupun tersurat. Sebab, jika kemudian persoalan pemimpin di Indonesia didekatkan pada realitas produk hukum positif Indonesia dengan teks-teks yang tertuang dalam Al-Quran dan As-Sunnah, tentunya penerapan Islam akan menimbulkan disintegrasi, dan tidak sebagai “rahmatan lil ‘alamin”. Ini mengapa? dikarenakan di Indonesia menganut kebhinekaan suatu kepercayaan, disinilah letak persatuannya yang dituangkan dalam Sila Pertama Pancasila.

Sumber: www.kabarmakkah.com
Sumber: www.kabarmakkah.com
Oleh karenanya Islam seharusnya sudah dapat dipahami sebagai suatu “pengilmuan”, sehingga Islam tidak lagi dipahami sebagai suatu “syarat”. Namun jika kemudian Islam hanya dikonsepkan sebagai suatu “syarat”, maka secara historisapakah 24 (dua puluh empat) Nabi Islam dimaknai telah Islam?” jika penerapan Islam hanya dipandang sebagai “syarat”, karena “apakah dari 24 (dua puluh empat) Nabi Islam mengucapkan syahadat?".

Begitu pula di Indonesia, “apakah negara Indonesia adalah negara Islam”. Apabila kemudian Islam dipahami sebagai suatu “pengilmuan” dan kemudian diterima secara universal, maka niscaya dengan “pengilmuan Islam” dapat memberikan keyakinan kepada seluruh umat manusia (muslim dan non muslim) sebagai Tauhid yang paling agung dalam menyikapi persoalan kehidupan-kehidupan. Sehingga dengan begitu, “pengilmuan Islam” dalam segala sendi-sendi kehidupan umat manusia akan diterima pula sebagai agama “rahmatan lil ‘alamin”.

Dengan demikian persoalan pemimpin di Indonesia dalam penerapan Islam tidak lagi dipahami sebagai “syarat”, melainkan “pengilmuan” yang dimaksudkan supaya sifat subjektif agama itu berubah menjadi sifat objektif ilmu, sehingga penerapan Islam menjadi gerakan intelektual yang terhormat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun