Mohon tunggu...
Abdul Karim Abraham
Abdul Karim Abraham Mohon Tunggu... wiraswasta -

Anak Muda Bali yang BEBAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bali; Wacana, Kekerasan, dan Citra

6 Mei 2013   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:01 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gambaran akan keindahan alam dan budayanya yang unik, menjadikan Bali sebagai daerah yang selalu disanjung-sanjung. Deburan ombak, suasana sunset yang tiada tara dengan pantai berpasir putihnya, tarian gadisnya yang molek dan sensual, serta anggapan akan keramahan orangnya, menjadikan banyak pengunjung jatuh hati pada Bali. Kemudian dikenallah Bali sebagai pulau yang tiada cacat, sempurna, dan disebutlah Pulau Surga, The Last Paradise.

Begitulah Bali dikenal atas bangunan citra yang dipopulerkan sejak lama, sebelum kemerdekaan. Pulau sorga, pulau eksotik, the last paradise, dan berbagai citra positif akan Bali, bukanlah datang dengan sendirinya. Citra publik tersebut sengaja dibentuk oleh pihak kolonial Belanda pasca terjadinya perang puputan Badung 1906 yang menewaskan kurang lebih 4.000 orang termasuk rajanya.

Perdebatan Kasta

Penyerangan kolonial Belanda terhadap kerajaan Badung mendapatkan kecaman dari negara-negara Eropa, karena hanya menunudukan kerajaan kecil Badung tidak menggunakan cara-cara diplomasi, justru menggunakan penyerangan yang menewaskan Raja Badung. Pihak kolonial Belanda kemudian berencana untuk memulihkan kebijakannya yang salah tersebut dengan memamerkan kebudayaan Bali di Eropa. Dengan memamerkan kebudayaan negeri jajahan, menunjukkan pada negara-negara Eropa bahwa pihak Belanda sebenarnya juga memiliki kepedulian terhadap negeri jajahan (Bali). Dipentaskanlah tarian-tarian Bali, disebarkan juga untuk pertama kalinya brosur wisata tujuan  Bali, dengan penggambaran pulau tropis yang eksotik, wanitanya masih bertelanjang dada, dan muncullah istilah the last paradise.

Pada masa-masa setelahnya, Bali terus dijaga untuk membedakannya dengan dua pulau yang mengapitnya, Jawa dan Lombok. Dua pulau yang berada disisi barat dan timur Bali tersebut memiliki agama yang beda dengan penduduk mayoritas Bali. Namun bagi pihak Belanda, yang terpenting bukan hanya melindungi Bali dari pengaruh agama Islam, tapi yang terpenting membendung dari arus pemahaman nasionalisme dari arah barat.

Dibuatlah identitas semu tentang siapa orang Bali sebenarnya. Pihak kolonial terus mensosialisasikan akan identitas ke-bali-an terus dijaga. Orang Bali adalah seniman, patuh dan tidak membangkang. Jangan bicara politik. Politik hanya dibicarakan di Batavia, pembangkangan hanya terjadi di Jawa, bukan di Bali.

Salah satu cara membendung arus pemahaman anti kolonialisme dari Jawa, pihak Belanda mengangkat kembali Raja-Raja Bali di delapan daerah, yang saat ini menjadi delapan Kabupaten. Raja-Raja tersebut memimipin kerajaan boneka Belanda. Segala kebijakan Belanda, dijalankan oleh masing-masing Raja. Dan kebijkan-kebijakan tersebut, sangat menyengsarakan rakyat Bali. Seperti kerja paksa, dan pembayaran pajak yang tinggi. Akibatnya, bukannya melawan pihak kolonial, justru rakyat Bali membenci pihak kerajaan, termasuk golongan kasta tinggi yang mendapat keistimewaan di setiap kebijakan yang dibuat masing-masing kerajaan.

Dalam menanggapi perlakuan istimewa terhadap golongan kasta tinggi (Triwangsa) oleh pihak kerajaan maupun kolonial, sekelompok pemuda terpelajar berkasta rendah (Sudra) mengorganisir diri dalam kelompok yang diberi nama Surya Kanta. Surya Kanta berdiri pada tahun 1925 di Singaraja, dan keberadaannya untuk menyuarakan kesetaraan hak masyarakat Bali tanpa membedakan kasta, dengan menerbitkan media surat kabar yang juga diberi nama Surya Kanta.

Surya Kanta, yang diredakturi kaum Sudra terpelajar, sangat kritis terhadap adanya perbedaan kasta dan hak istimewa kasta, serta mengkritik pemerintah kolonial yang menyokong sistem itu. Koran ini menyerukan pemerintah kolonial agar mendasarkan seleksi pejabat pemerintah pada kriteria pendidikan dan mutu ketimbang kasta. Koran ini juga mendesak penyederhanaan upacara agama untuk meringankan beban ekonomi orang Bali biasa, dan menuntut demistifikasi pengetahuan agama untuk mengurangi kekuasaan sosial religius yang berlebihan pada Pedanda. Akhirnya koran ini menyerukan pelonggaran dalam hubungan sosial khususnya dalam bahasa, busana, dan aturan perkawinan lintas kasta. (Robinson,2006:52)

Wacana yang didengungkan untuk membongkar hegemoni kasta, sungguh telah menyita perhatian pihak Belanda dan para petinggi yang berkasta tinggi. Dalam menanggapi wacana baru Surya Kanta tersebut, Kelompok Triwangsa menerbitkan koran tandingan bernama Bali Adnyana, yang dengan jelas menyatakan bahwa untuk menjunjung konsep kasta sebagai fondasi prinsipil masyarakat Bali.

Bali Adnyana, yang diredakturi kaum triwangsa dan dijuluki oleh Korn sebagai “koran eksklusif kaum bangsawan”, menanggapi kritik Surya Kanta dengan sengit. Dalam masyarakat dan dalam bahasa, demikian dikemukakan redakturnya, hierarki adalah prinsip alami yang tak boleh diganggu-gugat oleh manusia belaka. Hampir mirip para pejabat Belanda, redaktur Bali Adnyana juga mendengungkan tanda peringatan akan “Bahaya Merah” yang mereka klaim direpresentasikan oleh Surya Kanta dengan “filosofi” komunis-nya.(Robinson,2006:53)

Polemik publik di Bali Utara ini secara tidak langsung juga memecah perhatian masyarakat Bali secara umum akan perkembangan pergerakan nasional di Jawa pada tahun 1920-an. Sehingga tak salah jika banyak pengamat Bali mengatakan bahwa saat berlangsung Kongres II Pemuda Indonesia, yang diikuti dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928, bisa dipastikan tidak ada perwakilan Pemuda Bali yang hadir. Saat itu sedang sibuk-sibuknya anak muda Bali dan masyarakat Bali secara umum dalam perang wacana kebudayaan antara Sudra melawan Triwangsa, Surya Kanta melawan Bali Adnyana.

Dan perdebatan identitas ke-bali-an tersebut, seolah tak pernah menemukan titik temu, hingga sekarang. Dan entah sampai kapan.

Yang Tertutupi

Geoffrey Robinson mengawali tulisannya: menyusul kudeta militer Indonesia pada Oktober 1965, pulau Bali meledak dalam kekerasan politik yang menyebabkan kira-kira 80.000 orang, atau sekitar 5 persen penduduknya tewas. Dalam hal intensitas dan proporsi penduduk yang terbunuh, kekerasan di Bali itu bisa jadi melebihi yang disaksikan di Jawa pada masa yang sama. Penduduk di seantero pedesaan dieksekusi; para korban ditembaki dengan senapan otomatis atau dicincang sampai mati dengan belati dan parang. Konon, sejumlah pembunuh meminum darah korbannya atau berjingkrak-jingkrak di atas sekian banyak orang yang mereka habisi.

Orang mungkin mengira bahwa kejadian tersebut akan merangsang suatu perbincangan serius tentang masyarakat dan politik Bali. Betapapun, pembantaian tidak cocok dengan pandangan yang diterima luas bahwa Bali adalah surga dunia, dengan warganya yang artistik dan sangat religius hidup harmonis bersama alam dan sesama. Namun demikian, jauh dari memancing suatu pertimbangan kembali terhadap citra yang sangat lazim tentang Bali atau perdebatan mengenai politiknya, pembantaian itu telah diperlakukan entah sebagai bukti dan praanggapan tentang eksotisme Bali, atau sebagai anomali tak mengenakkan yang kiranya lebih baik dilupakan. (Robinson,2006:1-2)

Pembantaian massal para anggota dan simpatisan PKI di Bali, bukanlah sesuatu yang alamiah tanpa sebab. Bahkan untuk mengaburkan kekejaman para penjagal, pembantaian itu dilakukan demi semangat pengusiran setan, yang telah merusak keseimbangan di Bali. Tanpa merasa bersalah dan berdosa, mereka beralasan membunuh untuk upacara penyucian pulau.

Suryawan (2010) menganalisisnya bahwa otoritas militer, partai, dan religius di bali giat membentuk dan mendorong wacana populer antikomunis yang sengit, yang didasarkan pada gagasan religius dan analogi kultural yang ada. Fakta bahwa kekerasan massif terkadang bisa dibenarkan atau dijelaskan dengan masuk akal dalam kerangka kepercayaan religius dan analogi kultural, tak syak lagi, punya andil dalam pembunuhan itu. Namun hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa viktimisasi dan pembasmian fisik terhadap PKI bukan sekedar, atau bahkan terutama, konsekwensi dari dorongan religius yang spontan atau alami, melainkan hasil dari proses politik dan historis dimana manusia adalah agen yang memainkan peran sentral.

Saat Orde Lama berhasil diruntuhkan, dan berkuasanya Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto, menetapkan Bali sebagai pusat Pariwisata Indonesia. Sehingga, segala bentuk kejelekan dan keburukan tentang Bali, termasuk pembantaian sadis yang sudah menimpa pulau ini, harus ditutupi serapat-rapatnya, agar tidak mengganggu jalannya proyek pariwisata Bali. Kejadian 1965, tragedi berdarah antar saudara sesama orang bali, dilupakan begitu saja, seolah kejadian sekeji itu tidak mungkin terjadi di Bali.

Dalam masa-masa dibawah kekuasaan Orde Baru yang otoriter, sangat begitu ampuh untuk menyedot wisatawan untuk berkunjung ke Bali, dan yang terpenting citra Bali yang harmonis, aman, damai, dan indah, berhasil diciptakan sebagai doktrin dalam penggambaran Bali. Berbagai konflik adat, agama, kemiskinan, dan ketimpangan lainnya yang terjadi di Bali, tidak pernah diketahui publik. Dan anehnya lagi, Pemerintahan Bali pun lebih mementingkan pembanguanan pariwisata, melayani wisatawan, dan melupakan kepentingan rakyat Bali.

Dan tiba-tiba, semua bangunan citra atas Bali yang dibentuk tersebut hancur berantakan, menyusul tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002. Bom meledak di Jalan Legian, Kuta, tepat di denyut jantung pariwisata Bali. Tercatat 202 jiwa tewas terhempas dentuman bom yang tidak hanya meluluhlantakkan bangunan di sekitar Jalan Legian, tapi juga merobohkan pondasi Citra manis-romantis pariwisata Bali.

Suryawan (2010) mengutip pernyataan Degung Santikarma dalam melakukan perbandingan antara peristiwa ledakan Bom Legian Kuta (2002) dan tragedi pembantaian massal sesama manusia bali pada tahun 1965. Dengan satir Santikarma menuliskan :

Dua ladang kekejaman dimana lebih dari dua ratus jiwa meninggal dunia. Yang satu menjadi pusat perhatian umum, bahkan ada rencanayang masih diperdebatkan untuk dijadikan monumen. Yang satu lagi menjadi dokumen terlarang dibaca, seperti “buku kiri” yang dikunci di belakang perpustakaan di zaman Orde Baru-meskipun tak ada dari pihak penguasa yang berani memahami tentang apa yang dilarang. Yang satu masuk media internasional, media berita utam diseluruh dunia. Yang satu lagi terkubur, tanpa kabar, tanpa batu nisan, apalagi upacara. Yang satu punya saksi yang berjejer di ruang sidang untuk mengumumkan ingatan mereka. Yang satu lagi punya saksi tanpa pendengar dan pelaku yang tak hanya bebas tetapi dipanggil Pahlawan. Yang satu menjadi tempat peziarah, destinasi “wajib” dikunjungi oleh setiap orang yang datang ke Bali. Yang satu lag  menjadi tempat tak tersebut dan terhapus dalam peta, dikunjungi hanya oleh seseorang yang masih berani setia pada ingatan kawan-kawan yang meninggal dengan cara yang begitu bengis.(Santikarma,2003)

Belum juga usai para Pejabat dan Pemodal melakukan recovery memulihkan pariwisata Bali yang sempat mati, Bali kembali diguncang Bom kedua. Kali ini bom terjadi pada 1 Oktober 2005, meledak di Kuta dan Jimbaran. Sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka. Dan semua itu menyadarkan masyarakat Bali akan ancaman yang akan datang kapanpun tanpa diduga-duga. Keamananan Bali sangat terancam. Dan semua tergerakkan untuk menjaga Bali, memiliki Bali, dan tentunya menghalau mereka yang “tercap” sebagai biang kerusakan pada Bali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun