Seorang sarjana yang tidak juga mendapat pekerjaan setelah melamar kerja kemana-mana, akhirnya menjadi tukang ojek. Orang sering mengejek dia, "Hei, sarjana ojek, mau kemana?" Malang, motornya dicuri orang. Kemudian sebuah gagasan muncul di kepalanya. Dia berhasil menciptakan dan memasarkan alarm anti maling. Kemalangan menciptakan peluang. Itulah pesan salah satu iklan rokok.
Banyaknya sarjana pengangguran (yang punya datanya silahkan menambahkan) memunculkan ungkapan, "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya menjadi pengangguran?" Maka berbondong-bondong dan berduyun-duyun siswa/mahasiswa mengikuti program-program pendidikan yang menjanjikan kerja setelah lulus kuliah.
Sebenarnya, tujuan bersekolah adalah untuk ‘mencari ilmu sampai dapat'. Dengan bersekolah, seorang anak akan belajar bersosialisasi dengan anak-anak lain dan belajar berpikir ‘ilmiah'. Sehingga, ketika menghadapi masalah, dia dapat mencari solusinya. (seperti iklan rokok itu, misalnya).
Pendidikan, memang, tidak hanya di sekolah. "Sekolah adalah bentuk pendidikan formal", begitu kata yang ahli. Program pendidikan 12 tahun perlu didukung oleh berbagai pihak. (Serius banget sih. To the point aja)
Seorang anak tetangga, yang terlalu dimanja oleh ibunya, tidak mau sekolah. Sang ayah mencak-silat, silat-kata, kata-sambung, sambung-putus-sambung lagi. Sebaliknya, sang bunda merestui ‘keputusan' putra sulungnya itu. "Anak gak mau sekolah koq dipaksa-paksi," dia berkata sembari mengelus kepala putranya yang baru berumur dua belas tahun itu.
Hingar bingar seperti debat pansus ini dilakukan di bagian depan rumah. Secara kebetulan (atau kebeneran, ketepakan) saya juga sedang berada di situ. Saya sich tidak perduli. Namun, sang ibu rupanya ingin mencari dukungan dari saya. "Gimana menurut kamu, Cak?"
"Buat apa sekolah, toch banyak sarjana yang nganggur" saya berkata, acuh.
Merasa mendapat dukungan, mummy blue itu semakin bersemangat. "Iya ‘kan?"
"Iya," saya bilang. "Lha sarjana aja nganggur, apalagi yang gak sekolah. Mau jadi apa?"
"Iya, ya."