Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ingin Bahagia? Belajarlah dari Jakarta

29 Oktober 2017   19:11 Diperbarui: 30 Oktober 2017   16:54 4714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: megapolitan.kompas.com

Jika ada yang mengatakan Jakarta adalah salah satu kota dengan tingkat stres penduduk yang tertinggi di dunia, maka kata-kata itu bagi sebagian orang akan terdengar provokatif, sama halnya saat ada yang mengatakan bahwa Jakarta merupakan sepotong surga bagi warganya.

Namun, jika penilaian yang agak ekstrim tentang Jakarta merupakan hasil penelitian, tentu saja semua pihak tidak bisa bereaksi secara berlebihan. Penelitian tetaplah penelitian, dimana hasilnya merupakan sebuah produk akademis yang bisa dipertanggung- jawabkan secara ilmiah, yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Penelitian yang dimaksud adalah "The 2017 Global Least & Most Stressful Cities Ranking" yang dirilis oleh Zipjet, sebuah perusahaan yang berbasis di London-Inggris. 

Hasil penelitian ini menempatkan Jakarta (skor 7.84) sebagai salah satu kota di dunia dengan tingkat stres tertinggi (stressfull cities), yaitu pada peringkat 132 dari 150 kota, atau peringkat 19 dari bawah yang posisinya sedikit lebih baik dari kota-kota yang belakangan sering menjadi area konflik, seperti Caracas di Venezuela, Damaskus di Syria, Baghdad di Iraq, Kabul di Afganistan, atau Lagos di Nigeria. Untuk ukuran Asia Tenggara, posisi Jakarta hanya lebih baik dari kota Manila (peringkat 141).

Pada penelitian tersebut, Zipjet me-ranking 150 kota besar untuk melihat kesehatan mental populasi kota secara keseluruhan dengan mempertimbangkan faktor-faktor utama yang menjadi penyebab stres, termasuk didalamnya pengangguran, hutang per kapita, lalu lintas, transportasi umum, keamanan, polusi dan kepadatan penduduk. 

Zipjet bahkan mempertimbangkan juga kontribusi kurangnya intensitas sinar matahari yang kemudian dikaitkan dengan kesehatan mental yang buruk.

Data-data dari semua 150 kota tersebut kemudian diurutkan berdasarkan scoring 1-10 untuk masing-masing kategori (dimana 1 menunjukkan kota yang paling tidak menimbulkan stres dan 10 untuk tingkat stres tertinggi) dan juga skor rata-rata secara keseluruhan.

Faktor-faktor yang menyebabkan kota Jakarta memperoleh skor terburuk pada penelitian tersebut diantaranya adalah tingkat kepadatan, ketersediaan ruang terbuka hijau, akses ke transportasi publik, dan polusi, yang tentu saja merupakan fakta-fakta tentang apa yang menjadi permasalahan kota Jakarta selama ini.

Rasanya tidak ada warga Jakarta yang membantah fakta tersebut, sebagaimana tidak pernah kita mendengar ada warga yang mengatakan bahwa tinggal di Jakarta itu "mudah".

Namun, ini berlaku juga sebaliknya, jika ditanya tentang apa yang mereka sukai dari Jakarta, maka dengan gampang warga akan menyebutkan banyak hal berbeda yang membuat Jakarta juga memiliki sisi yang membuatnya layak untuk dicintai.

Bagi warga, permasalahan kota Jakarta seolah-olah sudah menjadi suatu hal yang "biasa", bukan dalam konteks pemakluman atau penerimaan terhadap biang masalah yang terjadi selama ini, tapi masalah tersebut tidak akan menghalangi warga untuk menemukan cara untuk bahagia, sesuatu yang tentu saja merupakan solusi efektif untuk mengurangi atau menghilangkan stres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun