Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Matinya Toekang Kritik" dan Mengapa Mesti Mengkritik Pejabat Publik

14 Januari 2017   18:24 Diperbarui: 14 Januari 2017   19:16 2448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam epilognya untuk buku “Matinya Toekang Kritik” (Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2006, cet. II) karya Agus Noor, Seno Gumira Ajidarma menulis, “Ketika dunia jadi harmonis, yang layak diimpikan meski yang berlangsung adalah sebaliknya, maka Toekang Kritik tidak akan dibutuhkan lagi. Mungkinkah? Dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu berlaku suatu diktum: kritik itu mutlak demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama dan seterusnya” (halaman 251).

Tentang hal di atas, saya sepakat dengan Ajidarma. Konyol kalau bilang Indonesia itu negara demokratis kalau pejabat publik sok-sokan kebal kritik. Memangnya kau malaikat? Kalaupun kau malaikat, tempatmu bukan di bumi melainkan di alam lain. Itu pun kalau di sana ada sistim pemerintahan seperti yang ada di sini. Kalau kau menjadi pemimpin entah presiden, entah gubernur, entah bupati, entah camat, entah lurah, dan kursi kepemimpinan itu ada di Indonesia maka mau tidak mau kau mesti bersedia dikritik. Titik.

Perlu saya tegaskan bahwa tidak semua pejabat publik suka dikritik. Itu bawaan emosional sedari kecil. Ingat, sedari kecil. Artinya, saat ini, rata-rata pejabat publik di Indonesia tidak ada yang anak kecil. Dengan demikian, alangkah lucunya jika seorang pejabat publik yang percaya diri bahwa ia sudah bekerja dengan baik namun merasa risih ketika dikritik dan akhirnya mengerahkan segala upaya untuk membungkam si pengkritik. Pada bagian lain epilognya, Ajidarma menulis, “lenyapnya Toekang Kritik bukanlah sukses kebudayaan, sebaliknya adalah awal ketertindasan baru”. Dari penalaran seperti itu, ia berkesimpulan, “harmonis itu ternyata tidak terlalu baik, karena untuk menjadi harmonis mustahil tiada kelompok yang ideologinya tidak tertindas. Bukankah ‘Kesaktian Pancasila’ nan ideal berarti musnahnya komunisme (baca: pemusanahan manusia yang ‘dianggap’ komunis) (halaman 252).

“Tersinggung”

Buku yang memuat sembilan monolog itu mengupas tuntas keseharian hidup yang cenderung luput dari pengamatan manusia. Dengan gaya penuturan yang lugas, jujur, dan ‘tembak langsung’, Agus Noor membincangkan kehidupan berpolitik di Indonesia dengan begitu bagus. Dalam monolog, “Matinya Toekang Kritik” yang digunakan sebagai judul buku itu, terdapat dialog menarik mengenai pentingnya kehadiran tukang kritik. Denmas, nama tokoh yang hobinya mengkritik mengatakan,

Saya ngritik bukan karena sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru diganti. Dikritik memang sakit.... Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengeritik justru lebih merasa sakit bila kritikannya nggak didengerin. Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik.Saya nggak pernah marah, meski disepelehkan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya (halaman 98).

Ada kalimat bagus dari paragraf di atas yang mesti direnungkan oleh para pejabat publik yang antikritik: Dikritik memang sakit, jauh lebih sakit jika, kritik tidak didengar. Itu berarti, ketika mendapat kritik, pejabat mesti tersinggung. Kalau dia biasa-biasa saja maka bisa jadi oknum itu robot. Saya katakan demikian karena sebelum ada upaya perbaikan terhadap apa-apa yang orang kritik, dibutuhkan terlebih dahulu rasa “tersinggung”. 

Jika dikaitan dengan kebijakan politik yang memengaruhi kehidupan banyak orang maka istilah yang tepat yaitu “tersinggung secara politis”. Contohnya, ketika ada orang yang mengkritik kebijakan bupati yang sama sekali tidak memprioritaskan kepentingan rakyat maka bupati itu harus tersinggung secara politis. Kalau ada bupati yang tidak tersinggung, bisa jadi dia bukan manusia. Atau kalau pun manusia, dia sudah mati rasa.

Kritik Itu Bukan Berarti Tidak Suka

Salah kaprah yang sering menjangkiti pejabat publik di Indonesia ketika mereka dikritik yakni: “Jangan sampai pengkritik itu tidak suka saya atau benci saya”. Tokoh lain dalam monolog “Matinya Toekang Kritik”, Bambang mengatakan,

Memang dia suka bangek ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok. Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun