Mohon tunggu...
Handarbeni Hambegjani
Handarbeni Hambegjani Mohon Tunggu... -

press any key to continue ...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Meramal Indonesia: Dari Mc Kinsey sampai Chaerul Tanjung

23 Oktober 2012   10:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:29 3608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1350988085794510168

[caption id="attachment_219490" align="aligncenter" width="606" caption="Indonesia kita (cpyrght:kritiantowijaya)"][/caption] Seorang Nara sumber pada sebuah seminar mengatakan, "Tahun 80an Anda bisa memperoleh Sepeda motor baru dengan uang 1jt, saat ini dengan uang yang sama Anda hanya dapat membeli sepeda tanpa motor. Kemudian pada seminar lain mengatakan, "Tahun 1975, gaji PNS adalah 300 ribu rupiah, kalau dibelikan emas, bisa mendapat 150 gram emas, Namun dengan gaji PNS sekarang sekitar 4 Juta rupiah, hanya bisa untuk membeli 8 gram emas. Memang kenyataanya kita dapati demikian bukan. Salah satu hikmah yang besar dari krisis yang tengah terjadi di negara kita beberapa tahun terakhir ini, terbitnya kreativitas dan kecerdasan baru di sekitar kita, baik berupa seminar pengetahuan investasi, yang membuka mata kita bagaimana sebenarnya dunia 'di luar' sana, pengobatan dari mak erot samapi klinik tong fang, konsultasi dari jiwa sampai sex.. wah pokoknya di Indonesia ini lengkap. Jika bertanya kepada kawan anda yang ada hidup di Luar negeri, pasti akan kangen situasi seperti di Indonesia saaat ini. sampai sampai, kita kadang bingung, ke mana arah sebenarnya bangsa kita bergerak saat ini. Ramalan Indonesia. Sedikit mengabaikan (baca:melupakan) kondisi diatas, saat ini penulis tertarik ulasan mengenai 'horoskop versi bisnisman', alias 'penanggalan jawa' yang kembali menjadi aktual, ketika seorang pengusaha kenamaan, Chaerul Tanjung, mengatakan bahwa kita akan kembali mengarungi 'wave' itu. Kalender/penanggalan Jawa yang dimaksudkan oleh Chaerul Tanjung adalah bangsa yang dimulai dari abad 7 dilanjutkan Abad 14 dan saat ini Abad 21. Arti dari angka 7, 14 dan 21 adalah angka kelipatan 7 yang menunjukan Indonesia adalah negeri besar. Abad 7 itu, saat diperintahkan Kerajaan Sriwijaya (mengusai seluruh nusantara dan Thailand), Kemudian dilanjutkan Abad ke 14 (Kerajaan Majapahit menguasai seluruh nusantara dan Malaysia, Singapura dan Thailand saat ini) dan abad 21 adalah Indonesia saat ini, dimana diartikan Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi nomor 7 terbesar di dunia, tepatnya pada tahun tahun 2020. Selain itu pula, adapula Analisa Mc kinskey, banhwa tahun 2030 Bangsa Indonesia akan menjadi negara perekonomian terbesar nomor 7 terbesar di dunia dengan tumbuh kelas kosumsi sebanyak 45 juta - 140 juta. Bahkan di tahun 2050 Indonesia akan menjadi ekonomi nomor 4 terbesar didunia. Dua ramalan ini patut kita apresiasikan. sebab, sebagai anak bangsa, jika hal tersebut benar benar kelak terjadi, tentu kita akan merasa sangat bangga, bisa menjadi bagian dunia dimana kita bukan menjadi kelas kambing, tapi kelas macan. Kaya dan Maju Menurut pengamatan penulis, negara negara maju/dikategorikan kaya di dunia saat ini, kebanyakan justru bukanlah negara negara besar. Perancis, Inggris, Korea Selatan, Jepang, Brunei Darussalam dan negara lainnya, justru merupakan negara negara kecil. Negara negara besar (pengecualian Amerika/Australia : kharakter imperialisasi) dengan segala limpahan sumber daya alam/manusia, kebanyakan malah hanya mampu bertengger maksimal sebagai kelas menengah di dunia ini. Sebut Indonesia, Brazil, India, Rusia, China, ke-semuanya sebenarnya masih berada dalam tataran kelas menengah tadi. Lalu China, yang tengah menggeliat ekonominya, Rusia dengan kekuatan politik global dan persenjataanya, penulis lebih menilai negara negara tersebut memang kuat dan kaya, namun bukan dalam pengertian 'sugih' yang sebenarnya, melainkan kekayaan dalam 'kontrol media'. Tidak perlu berkunjung ke sana, silahkan di mbah-google, atau ketik youtube saja, akan menunjukkan, banyaknya kemiskinan, kesenjangan sosial yang terjadi di negara-negara itu. Jurang antara megapolitanisme Kota kota besar dengan desa desa pinggiran serta pedalaman yang begitu kentara. Sebailknya, bandingkan dengan pengertian miskin yang ada di negara, tidak terlalu jauh, Brunei Darussalam. Pengamatan langsung penulis, orang miskin di Brunei, at least-punya 1 buah kendaraan roda 4 butut, keluaran tahun 70-80 an. Penulis lebih senang mendeskripsikan kekayaan dan kemajuan, Kaya adalah ketika seorang individu rakyat suatu negara memiliki pendapatan yang mencukupi pengeluaranpokok dan mencukupi beraktualisasi non konsumsi seperti transportasi dan lainnyua, tanpa adanya kanibalisme dari hak hak yang seharusnya ia peroleh, baik dari pungutan liar dan sebagainya. Sedangkan Maju, adalah ketika individu rakyat suatu negara mendapatkan hak yang sama, kesehatan, memperoleh pengetahuan dan pendidikan, tanpa adanya kotak kotak di sekolah sekolah, pemerasan dengan nama uang sumbangan, berindependensi secara politik tanpa 'bullying' oleh pihak yang lebih berkuasa dan sebagainya. Mc Kinskey & Chaerul Tanjung : Sebuah Kesalahan Penulis ingin sampaikan, sebenarnya merupakan kesalahan fatal ketika Seorang Chairul Tanjung begitu percaya terhadap 'wave' dari sebuah penanggalan '7' Jawa ataupun seorang Mc Kinsky dengan ramalan 2030-nya. Sebab, saat ini Indonesia, bisa jadi secara technikal analys, ter-representasikan oleh dua 'ramalan terssbut, namun apakah secara 'fundamental analyst' kita cukup bahan bakar untuk membumbung dalam angan harapan? Sebab 5 mainstream utama yang seharusnya lebih menjadi 'next to watch' ketika Negara Indonesia sedikit berada 'moving average', diatas angin sebagaimana saat ini. 1. Manajemen Konsumsi : Higest Economic Opportunity Secara mendasar, peluang ekonomi negara manapun, pasti akan gagal, jika tidak bisa memanagement produksi konsumsinya. Inilah jawaban paling fundamental kenapa negara maju dan kaya saat ini adalah negara negara kecil. Pengalaman penulis menyaksikan langsung bagaimana proses manajemen produksi konsumsi di Indonesia dan membandingkan dengan negara lain antaranya Mesir, Dubai, Brunei Darussalam, menyaksikan dengan jelas perbedaan managemen (baca : peraturan pemerintah) antara negara negara tersebut. Jika sedikit mundur kebelakang, sebenarnya peluang ekonomi sebuah negara tidak akan lari dari kebutuhan pokok manusia : makan. Pada negara negara kecil, penulis mendapati tidak adanya kapitalisasi pasar yang signifikan oleh perorangan/perusahaan tertentu, sehingga peluang ini dapat dipelihara dan diusahakan secara bersama sama, selain itu, rakyat juga masih mendapatkan margin untung yang tinggi, sebab, ketika produk sejenis dari negara lain masuk ke negara tersebut, akan bertambah harga oleh bea masuk. Sebaliknya, di negara kita, betapa jelas kapitalisasi perorangan menguasai produksi konsumsi. Selain itu, sebab masih berada dalam satu negara, lalu lintas produk antar provinsi/kabupaten tentu sangat bebas, tidak ada beaya penambahan import. Bedakan kondisi ini dengan negara kecil. Sehingga seringkali barang dari tempat lain masuk ke suatu daerah, alih alih jika benar dari daerah lain, terkadang, produk tersebut bahkan merupakan import, meski daerah tersebuh juga menghasilkan produksi konsumsi yang sama, dalam kondisi demikian, hukum pasar lah yang berlaku, membeli yang lebih murah. Sehingga yang terjadi adalah saling membunuh antara rakyat sendiri, selain penumpukan kekayaan pada seseorang/perusahaan tertentu saja, inilah yang lambat laun 'membunuh' beih benih kekayaan dalam diri rakyat bangsa kita ini. Seharusnya, ada managemen (baca : peraturan pemerintah) yang mengatur, seumpamanya, barang sejenis dilarang masuk ke suatu provinsi jika provinsi tersebut menghasilkan produk yang sama. Atau harusnya setiap provinsi ada semisal instansi bea cukai, yang mengontrol dan menetapkan pajak nilai lebih jika suatu barang masuk ke lain provinsi. Sehingga tidak terjadi kapitalisasi pasar oleh satu individu atau satu perusahaan, sebaliknya rakyat di provinsi tersebut mendapatkan proteksi daya ke-ekonomian mereka. 2. National Debt vs Freeport Yang kedua adalah, hutang nasional kita. jika kita perhatikan, media sepertinya lengah, untuk meliput hal yang satu itu. Apalgi ketika angin segar berita Mc Kinsey ini keluar. Sebagai informasi yang saya dapat bahwa hutan RI hingga September 2012 mencapai Rp 1.975,62 triliun. Dibanding akhir 2011, jumlah utang ini naik Rp 166,67 triliun. Atau dalam dolar AS, jumlah utang US$ 206,05 miliar. naik US$ 199,49 miliar dari akhir 2011, dan hutang baru untuk tahun 2013 disetujui Rp 161,4 triliun oleh DPR. Adapun pemberi utang ke Indonesia hingga Juli 2012 antara lain Jepang (Rp 283,86 triliun) Bank Dunia (Rp 115,49 triliun) Bank Pembangunan Asia (ADB) (Rp 96,57 triliun) Prancis (Rp 23,2 triliun) Jerman (Rp 19,25 triliun) Islamic Development Bank (IDB) (Rp 4,23 triliun) Sebagai pembanding, negara Asia lain, yakni Jepang, jumlah hutang 1.024 triliun yen atau 13,13 triliun dolar AS. Sehingga, mungkin para pejabat yagn diatas beranggapan, hutang kita terlalau kecil jika melihat perbandingan tersebut. Namun, berapakah sebenarnya nilai dari hutang yang benar benar dijadikan modal untuk infrasutruktur ataupun modal sistem? Konon, ada yagn berdalih bahwa kita masih memilki cadangan sumber daya Alam yang kelak bisa membayar hutang tersebut. Atas pendapat ini saya menjadi ciut hati, bagaimana mau membayar, wong saat ini saja, satu demi satu kekayaan alam itu sudah kita serahkan kepada pihak, atau setidaknya kroninya yang memberikan hutang ke Indonesia ini. Mau punya apa kita di masa yang akan datang (Baca : hancur?) 3. World Now : Hedging Negara negara maju, sebenarnya bukanlah negara yang rakyatnya adalah pekerja kantoran dengan gaji tinggi. Seperti informasi teman penulis yang tinggal di Jepang, ada juga yang bekerja ndesoni, alias macul (mencangkul-pen), ngarit, bertani, beternak. Di Brunei Darussalam, konon negara terkaya ke-5 di dunia, sebgian orang orang kaya di sana pun bukanlah eksekutif pabrik/kantor, maklum Bunei bukan negara Industri, tapi bahkan mereka mendapatkan kekayaannya dengan bertani, budidaya Cabai, Jagung, Durian, Aneka Sayuran. Dari fakta ini, jika kita mau sedikit belajar ilmu investasi, Jepang berani memiliki hutang yang tinggi, karena sebenarnya Jepang tengah melakukan -apa yang dalam bahasa investasi/keuangan katakan-Hedging (perlindungan nilai). Memang Jepang tidak meilki tambang emas, tambang minyak, Namun Jepang sebenarnya tengah menhedging perekonomiannya dengan Etos Kerja yang Tinggi. Atas etos kerja tinggi ini, adakah bangsa di dunia yang menafikkan fakta ini? oleh sebab Jepang sudah punya modal untuk melakukan hedging inilah, maka pemerintah Jepang sepertinya santai saja atas fakta hutang yang ada. Lalu Brunei Darussalam, penulis pun mengamati bahwa sebenarnya Brunei berprestasi menjadi negara terkaya ke-5 di dunia , juga melalui hedging. Namun dalam kasus Brunei, modal hedgingnya adalah 'granted', alias 'bejo'. Kebetulan di brunei ada kandungan minyak yang banyak, melalui minyak inilah Brunei melindungi dirinya, semakin tinggi harga minyak dunia, maka Brunei semakin Kaya, demikian pula yang tengah terjadi dengan kuwait, Arab saudi (sehingga mudah membeli kemajuan). Lalu bagaimana Indonesia, apakah Indonesia bisa menhedging dirinya dengan Etos kerja yang tinggi sebgaimana Jepang? saya kira masih jauh dari itu. Ataukah dengan sumber daya alam minyak/emas? Boro boro mau buat hedging seperti Brunei, lha wong malah 'dikeramatkan', alias dikontrakkan . Itulah sebabnya, jika kelak mata uang Kuwait, Brunei akan terus mengejar US Dolar, sebaliknya, Rupiah semakin menjauhi U$ Dolar, sebab Ekonomi kita tidak punya hedging apa apa, alias, saat ini sebenarnnyua kita telanjang bulat. 4. Next War : Curency, not Tank Masih ingat median 1990-1996, jamannya Pak Harto, ekonomi Indonesia rasanya 'empuk tenan'. Mal mal mulai dibangun, orang orang pada bikin banyak Rumah Makan plus lesehan2 juga menjamur dekat domisili penulis, tempat wisata ramai ramai, jadi PNS mudah, baru wiyata bhakti beberapa bulan saja dah diankat PNS, mau kerja di Jakarta, beberapa bulan, balik rumah, sudah bisa beli sepeda motor Yamaha Alfa, yagn harganya sekita 3 jutaan waktu itu. Lalu tahun 1997-1998, tiba tiba rupiah menjadi Rp 15.000 per Us dolar, membuat berlipat lipat hutang Indonesia, dan dari sekian efek dominonya, usaha menjadi sepi, tempat wisata sepi, kerusuhan dimana mana dan sederet deskripsi lain yang terlalu panjang untuk disampaikan. Sebuah kesyukuran jika anda sedikit tahu atau bahkan terjun dalam dunia Foreign Exchange. Melihat hal diatas tidak akan serta merta kaget lalu 'mak bruk'. Menelusuri kejadian krisis moneter tsb diatas, akhirnya konon, ada yang mengakui bahwa hal tersebut terjadi karena 'kesalahan' spekulasi terhadap perekonomian Asia. Anehnya, 'Orang' tersebut dalam beberapa ulasan media, ternyata pada waktu yagn sama melakukan aksi beli saham saham yang tengah jatuh di Indonesia ini, lalu rupiah perlahan berjalan sehingga menjadi 9500-an spti saat ini. Pada saat yang sama pula ketika Ekonomi Rupiah membaik, dan harga saham saham yang dibeli beranjak naik, menjadikan 'Orang Tersebut' tampil sangat murah hati dengan berbagai Yayasan Amalnya di seluruh dunia, tidak luput Indonesia kita ini. Dan orang tersebut adalah Goerge Soros. Penulis yakin, Goerge Soros tentu bukanlah satu satunya aktor dibalik semua itu. Ada sekian ratus Aktor dan Faktor. Jika kita bertanya siapa? maka itulah pertanyaan yang cedas. Sistem perekonomian dunia yang sangat terbuka seperti saat ini, untuk menjatuhkan sebuah negara, tidak perlu main 'bedil bedilan', atau dengan meriam meriam seberat ratusan ton sebagaimana jaman Sriwijaya, Majapahit dahulu, dengan tank leopard yang tengah dibeli, atau mengerahkan Anjing seharga ratusan Juta untuk menjagi Bapak Presiden. Menjatuhkan negara, yang diperlukan adalah bagaimana menggoyang sisi fundamentalnya sehingga otomatis akan membuat lemah mata uangnya. Kalau mata uang lemah, maka serentetan peristiwa akan terjadi secara otomatis, bak 'expert advisor' di Meta trader tanpa perlu adanya komando lagi. Menarik bukan?dan ironisnya, krisis moneter 1997 yang lalu terjadi ketika tengah tengah Indonesia menjadi Sorotan Dunia, sebab saat itu, Indonesia adlah Macan Asia!. Dan saat ini, lagi lagi dunia tengah menyorot kita yang bergeliat bangkit dari krisis dan menggeser jiran yang sempat 'pethentang-pethenteng'. Lalu hardir juga Mc Kinskey, yang tiba tiba menjadi indonesianist, memuja Negara kita ini. So what.., hanya mengingatkan kita saja bahwa The Next War is Curency, not Tank. Dan yang parah, pemerintah kita sepanjang yang di ekspose ke -rakyatnya, belum memiliki protokol untuk itu. Keculai selalu berkoar : Ekonomi kita dalam Kondisi yang Meyakinkan. Entah, meyakinkan itu adalah seperti apa. 5. Entrepreneur? Untuk membentuk negara maju, menurut suatu data, dibutuhkan entrepreneur sekian persen per sekian jumlah penduduk. Dan, Pemerintah (lagi-lagi) mengatakan bahwa Entrepreneur kita belum cukup syarat sbgai faktor menjadi negara maju. Mulailah Pemerintah menggalakkan program entrepreneurisasi dimana mana, dan mendorong bank untuk mau membuka kran kredit kepada rakyat yagn dianggap bukan entrepreneur itu. Saya tidak habis pikir, dari warung rokok yang jumlah nya ribuan di pinggir jalan yang kita lalui, atau jangankan warung rokok, orang orang yang berjualan di bis bis kota menjajakan Aqua, arem arem. Mungkin lupa belum ikut di sensus hitung sebagai Entrepreneur. Lalu yang disebut Entrepreneur itu apa? Selanjutny, kenapa mesti Kredit bank, bukan penunjukan Instansi Pemerintah pendamping program penggalakan Entrepreneur ini. Apakah memang mau menumbuhkan generasi Entrepreneur atau mau membunuh Entrepreneur sebenarnya. Kita tahu, Kredit bank tentu memilki bunga sekian persen. Logikanya, pun pengalaman penulis, seorang pengusaha di wajibkan memilki margin keuntungan sekian persen (tentu) harus diatas jumlah bunga bank. Apakah mudah? Dimana dalam bisnis, setiap orang meiliki nassib nya sendiri sendiri, belum lagi kondisi demografi masyarakat, dan peluang setiap usaha yagn berbeda beda. Plus lagi, menjamurnya berbagai ritel usaha di Indonesia ini. Selain itu, pun juga tahu bahwa dalam sistem cicilan bank, yang berarti terjadi Grafik Modal turun, seorang enterpreneur tetap dipaksa menghasilkan untung yang sama? Atau sebenarnya tengah terjadi ambiguitas pemaksaaan makna entrepreneur sebagai sebuah sikap hidup vs entrepreneur dalam arti pengusaha fisik?, jika Entrepreneur sbg sikap hidup, tentunya penjual rokok, tukang becak, tambal ban, mereka patut disebut sebagai entrepreneur, menumbuh kembangkan kemampuan berwira dalam dirinya. Dalam Kondisi demikian, seharusnya bukan Bank yang didorong untuk memberikan kredit, namun instansi daerah yang berkompeten dalam hal semacam ini untuk memberikan pendampingan dan upgrading kemampuan masing masing individu diatas untuk memiliki entrepreneurship yang lebih tinggi. Memberikan kemudahan modal bank tanpa adanya pendampingan, bagaikan pisau bermata dua yang diberikan kepada anak kecil, sangat berbahaya. Selain itu, efek domino lainnya, jika terjadi ribuan triliun rupiah pijaman bank se-antero indonesia ini berhasil dilakukan, dimana berlaku sistem bunga, maka secara langsung efek inflasi terjadi. Lagi lagi, rakyatlah yang dihadapkan pada efek riil mikro dari sebuah ambiguitas makro. 5 hal tersebut tentu masih sangat mendasar, dan memilki 'furu' lain yang tidak kalah beratnya, baik dari masalah politik, keamanan, birokrasi sistem pendidikan,..... "Pokoknya masih banyak lagi dah!", kata Afiqa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun