"Sudah ikut berkali-kali, tapi tetap gagal juga!"
Keluhan yang entah sudah yang keberapa kalinya saya dengar. Kewajiban mengikuti TOEFL bagi mahasiswa yang sebentar lagi menyandang gelar sarjana. Tidak lulus TOEFL sebenarnya tidak masalah, namun keuntungan mendapat ijazah berbahasa Inggris (selain ijazah yang sesuai dengan jurusan) jadi terbang melayang.Â
Kalau untuk guru bahasa Inggris atau jurusan Sastra Inggris, wajib lulus TOEFL. Masa sudah jurusan Inggris, gak lulus TOEFL! Malu, dong.
Kalau tidak salah, dulu waktu saya masih kuliah, nilai TOEFL minimal untuk mahasiswa FKIP program studi Pendidikan Bahasa Inggris (S1) adalah 450 dan mahasiswa dari fakultas lain cukup mendapat minimal 400.
Untuk mendapat nilai minimal di atas, sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Setelah berkali-kali mengikuti TOEFL, akhirnya saya lulus. Dari pengamatan, saya menyimpulkan, ada tiga sebab mengapa TOEFL menjadi momok calon sarjana menjelang wisuda.
1. Sebab 1 - Jarang mendengarkan percakapan atau pemaparan dalam bahasa InggrisÂ
"Bicaranya terlalu cepat."
"Waktunya terlalu singkat untuk mengerjakan."
"Gak ngerti si bule ngomong apa."
Sebenarnya, masalah terbesar dari kesulitan mengerjakan soal listening adalah tidak terbiasa mendengarkan percakapan atau ujaran lisan dalam bahasa Inggris.Â