Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menjadikan Hidup Lebih Berarti dari “Orang-orang Biasa”

20 Mei 2016   13:49 Diperbarui: 20 Mei 2016   13:56 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Don’t expect extraordinary if you keep being ordinary”.

Saya mendapatkan kalimat luar biasa itu dari tulisan status media sosial seorang teman, pagi ini seusai sarapan. Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, makna nya kurang lebih begini “jangan berharap (hal) luar biasa terjadi pada Anda, bila Anda tetap (nyaman menjadi) biasa-biasa saja”.

Bukan hanya mereka yang fasih berbahasa Inggris saja yang bisa memaknai kalimat “don’t expect extraordinary if you keep being ordinary” tersebut. Di luar sana, ada beberapa orang yang rasanya tidak pernah mendengar kalimat itu, juga tidak tahu menahu maksudnya. Tetapi, mereka sudah mampu menerapkan kalimat itu dalam kehidupan nyata dengan begitu hebatnya. 

Mereka itu hanyalah orang-orang biasa. Bukan orang terkenal. Ada yang pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pensiunan guru, hingga ibu rumah tangga. Mereka sepi dalam publikasi. Tetapi hebat dalam kerja dan karya. Mereka menunjukkan kepada kita, arti sebenarnya dari kata menjadi luar biasa. Mereka telah melalui proses panjang jatuh bangun dalam upaya menjadikan hidup mereka lebih berarti. Mereka itulah yang menjadi lakon utama dalam buku “Hidup yang Lebih Berarti: Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia” ini.

p-20160520-050237-573eb1a2a7afbd0007579636.jpg
p-20160520-050237-573eb1a2a7afbd0007579636.jpg
Membaca lembar demi lembar halaman buku ini, kita serasa duduk santai di atas bebatuan di tepian sungai pegunungan, diiringi semilir angin. Sejuk. Dan menyegarkan. Ya, buku ini memang sangat menyegarkan untuk dibaca. Dari halaman pertama sampai akhir. Sejuk karena ada aneka warna pengalaman hidup anak manusia dengan segala kegigihannya dalam berikhtiar, demi mencapai “Hidup yang Lebih Berarti”. Segar karena ditulis dengan bahasa yang ringan sehingga kita tak perlu sampai pusing membacanya.

Ada 20 sosok inspiratif yang diulas ‘apa adanya’ oleh 20 Blogger Kompasiana dalam buku setebal 190 halaman ini. Sosok inspiratif itu berasal dari kota--lebih tepatnya desa dan kelurahan--yang berbeda-beda. Jalan hidup mereka dalam memberdayakan diri nya agar menjadi lebih berarti, juga berbeda-beda. Ada yang memulai untuk berubah karena terdorong keterpaksaan. 

Terpaksa berubah karena himpitan ekonomi dan situasi sosial. Ada yang tergerak memulia perubahan setelah masa pensiun. Ada pula yang awalnya hanya coba-coba peruntungan, kemudian berhasil.  

blogger-kompasiana-573eb1f3c223bde106544d62.jpg
blogger-kompasiana-573eb1f3c223bde106544d62.jpg
Tetapi, pada intinya, ada kesamaan cerita dari kesemua tokoh inspiratif yang telah menjadikan hidup mereka jadi berarti itu. Bahwa, sebuah keterpaksaan dan usaha coba-coba, dimulai dari satu hal. Satu hal bernama “kemauan”. Ya, sosok inspiratif di buku ini telah menunjukkan kepada kita bahwa yang paling penting sejatinya adalah mau atau tidak. Bukan soal bisa atau tidak. Kemauan itulah yang kemudian membawa mereka pada keberhasilan. Karena berawal dari kemauan, pada akhirnya, mereka yang tidak bisa berubah menjadi bisa.

Tentu saja, kemauan itu tidak berupa sulap singkat ala bim salabim. Bahwa ketika seseorang memiliki kemauan, maka dia langsung berhasil. Tidak begitu ceritanya. Tetapi, ada proses panjang di dalamnya. Ada kemauan untuk mengedukasi diri sendiri. Ada kerelaan untuk mengasah skill dengan mengikuti pelatihan-pelatihan. Ada kalanya ketika usaha yang dilakukan tidak berjalan sesuai harapan. Ada yang merugi jutaan rupiah.  Ada yang diremehkan orang lain. Tidak sedikit yang dicemooh karena ide usaha nya yang nyeleneh (tidak biasa). Bahkan ada pula yang nyaris kehilangan nyawanya.

Tengok kisah Pak Suwono (halaman 25), seorang pensiunan PNS yang merintis usaha sedot WC lalu mengembangkannya menjadi pupuk organik dari limba tinja. Ketika memulia usaha pupuk tinja nya, tidak ada yang mau menerapkan pupuk bikinan Suwono karena alasan jijik dan bahkan dianggap haram. Tetapi, kegigihan dan semangat untuk berhasil, membuat dia berhasil. Kini, warga Ponorogo ini tak hanya mendapat keuntungan materi lewatberas organiknya. Dia juga bermanfaat bagi banyak orang dengan menjadi mentor pertanian.

Ada pula kisah Supriyanto (halaman 81) yang mengawali usahanya dengan duka ketika batik kayu yang sedianya akan diekspor, justru rusak menjelang finishing. Dia pun rugi jutaan rupiah. Namun, bermula dari kejatuhan itu, warga Bantul ini semakin termotivasi untuk mengenalkan batik kayu. Lihatlah dia sekarang. Selain punya galeri, dia juga menjual produk batik kayu Lingga via online dan juga sering diundang sebagai pembicara seminar. Melalui batik kayu, Supriyanto tak hanya mendatangkan perubahan lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tetapi juga menawarkan kehidupan lebih baik bagi orang-orang sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun