"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".
Begitu kaya Eyang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar yang telah menghasilkan karya-karya yang memukau dunia, dalam salah satu karya fenomenalnya, "Bumi Manusia".
Kalimat adil sejak dalam pikiran ini bisa ditarik dan diterjemahkan dalam berbagai makna. Termasuk dalam menilai karier seorang atlet olahraga. Bahwa kita juga harus memakai "kaca mata" bernama adil ini. Kaca mata adil ini bisa berwujud mengenali dan tahu perjalanan karier sang pemain. Tidak mengenalinya sepotong-sepotong atau di masa tertentu saja.
Ambil contoh pebulutangkis senior Indonesia, Liliyana Natsir. Akan sangat tidak adil bila menilai Liliyana di era sekarang ketika usianya sudah menginjak 33 tahun dan mendekati masa pensiun. Penilaiannya yang muncul bisa jadi Liliyana (bersama Tontowi Ahmad di ganda campuran) itu kalahan karena kini memang mulai sulit bersaing dengan pemain top dunia yang muda-muda.
Adil itu bila bisa mengenali Liliyana melalui jejak rekamnya di lapangan bulutangkis. Bahwa kini dia tinggal menikmati "masa senja" nya setelah menjadi kebanggaan dengan memberi puluhan gelar bergengsi untuk Indonesia. Salah satunya medali emas Olimpiade 2016. Dengan begitu, kita akan mendapati gambaran bahwa dia seorang legenda.
Pun, sama dengan memahami pebulutangkis tunggal putra Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting. Perlu untuk tahu jejak rekamnya dalam beberapa tahun terakhir. Jangan hanya tahu penampilannya hanya dalam satu event saja lantas mengambil kesimpulan. Itu namanya kurang adil.
Tanpa bermaksud membandingkan, faktanya, media-media lebih antusias menyoroti kiprah Jonatan Christie dibandingkan dengan Anthony Ginting. Wajar karena Jojo meraih medali emas dan Ginting meraih perunggu. Namun, alangkah eloknya bila porsi ekspos tersebut tidak terlalu njomplang. Toh, mereka sama-sama tunggal putra andalan Indonesia.
Dan, bila kita (termasuk penyuka bulutangkis yang mulai cinta pada olahraga ini sejak Asian Games 2018 dan mungkin berlanjut menjadi pecinta sesungguhnya sehingga mau mengikuti penampilan pebulutangkis Indonesia di turnamen-turnamen) terus memantau apa yang terjadi selepas Asian Games 2018, kita pasti tidak akan 'cuek' terhadap Ginting. Alih-alih memberikan stigma negatif.Â
Pujian pemain-pemain top dunia untuk GintingÂ
Ya, di dua turnamen level atas BWF World Tour yang diikuti pemain-pemain top dunia (Japan Open dan China Open 2018), Ginting memperlihatkan dirinya sebagai tunggal putra Indonesia yang paling mampu bersaing dengan pemain-pemain top dunia. Utamanya di China Open yang dimulai Selasa (18/9/2018) dan akan berakhir Minggu (23/9/2018) besok.
Ketika terhenti di round 2 Japan Open 2018, orang masih maklum karena dia kalah dari Viktor Axelsen, tunggal putra rangking 1 dunia asal Denmark. Meski, ada juga komentar nyinyir bahwa tunggal putra Indonesia memang "segitu aja". Apalagi Jonatan Christie juga langsung kalah di round 1 dari pemain India, HS Prannoy.