Mohon tunggu...
Haditya Endrakusuma
Haditya Endrakusuma Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Equilibrium

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sang Pencipta Semesta

6 Juli 2013   17:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:55 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keterkaitan dan kebergantungan merupakan fitrah yang tidak terbantahkan. Hubungan atau relasi keberadaan yang ada di alam ini merupakan relasi efek kausa, sebab akibat. Tidak ada di alam ini yang luput dari konsekwensi akan hal tersebut. Oleh sebab itu dalam ranah Logika, penerimaan hukum sebab-akibat, juga merupakan menjadi pilar dasar berfikir rasional. Kaidah ini kemudian disebut dengan Prinsip Kausalita (PK) atau Prinsip Sebab-Akibat. Kaitan kausalita dengan pembahasan keberadaan Tuhan merupakan efek komulatif dari diskursus-diskursus yang terjadi dalam ranah kajian Kosmologi (asal-muasal alam). Diawali dari pertanyaan mendasar "Apakah alam ini berawal (baharu)?". Penerimaan atas asas Kausalita dalam rasionalitas tentu akan memberikan jawaban "Alam ini berawal (baharu)". Permasalahan yang terjadi kemudian adalah munculnya pertanyaan "Bagaimana proses awal terjadinya alam ini?".

Ada dua jawaban atas pertanyaaan tersebut. Pertama, "alam mengawali dirinya sendiri, melalui proses kausalita dari sejak azali (infinity regress)". Kedua, "alam ini muncul akibat efek penciptaaan oleh penyebab awal (kausa prima)". Melalui proses komparatif yang berbasis Silogisme Disjungtif kita bisa menilai bahwa proposisi jawaban pertama adalah mustahil dan absurd. Ada beberapa poin kelemahan pada proposisi jawaban yang pertama.

Pertama, statmen "alam mengawali dirinya sendiri". Statmen ini sama saja menyatakan bahwa "alam mengawali dirinya sendiri (mencipta dirinya sendiri)" atau "alam berawal begitu saja dari ketiadaan". Hal tersebut tentu merupakan kemustahilan sebab ketiadaan itu bukanlah apa-apa, sebelum alam itu ada (tiada) maka ia tidak mungkin dan tidak bisa berbuat apalagi mencipta. Statmen ini jelas merupakan pelanggaran atas Prinsip Identas (PI), Prinsip Non Kontradiksi (PNK), Prinsip Ketiadaan Batas Penengah (LEM) dan Prinsip Kausalita (PK) dalam rasionalitas. Kedua, statmen "keberadaan alam muncul dari proses kausalita yang azali (tak berhingga / infinite)". Konsekwensi dari statmen tersebut adalah rangkaian sebab-akibat yang tiada berujung. Ini sama saja menyatakan setiap keberadaan kausa (sebab) itu membutuhkan kausa (sebab) lain yang belum ada (tiada). Hal ini disebabkan, setiap titik kausa dalam rangkaian sebab-akibat tak berhingga tersebut membutuhkan titik kausa lain untuk mengadakan dirinya. Sementara, kausa lain tersebut juga membutuhkan kausa lainnya pula. Hasil dari rangkaian sebab-akibat tak berhingga ini hanyalah berujung pada ketiadaan kausa. Sementara dengan segenap potensi nalar dan empiris (indrawi), alam ini sudah ada.

Dua poin kesalahan proposisi “alam mengawali diriya sendiri, melalui proses kausalita sejak azali” tersebut diatas, melalui bahasa matematis dapat digambarkan sebagai berikut; Didefinisikan S = {s[x] | s[x] = f(s[x+1)); 1 ≤ x ≤ infinite; x –>B}. Dimana; S = Himpunan semesta dari entitas-entitas alam; sx = Anggota himpunan dari s[1] sampai s[tak berhingga/infinite]; s[x] = f(s[x+1)= s[x] adalah hasil atau efek dari (s[x+1); x –>B = x adalah bilangan bulat positif. Keberadaan S menggantungkan keberadaan s[x]. Sedangkan keberadaan s[x] sendiri selalu menunggu keberadaan dari (s[x+1), sedangkan (s[x+1) juga menggantungkan keberadaan (s[x+2). Semantara (s[x+2) sendiri juga bergantung pada keberadaan (s[x+3) dan seterusnya, sampai (s[x+999x10999), (s[x+999x10999+1), (s[x+999x10999+2) sampai tak berhingga atau infinite. Hasil dari set rangkaian tak berhingga (infinite) ini adalah S = {}atau himpunan kosong alias alam tidak pernah ada. Jelas rangkaian ini adalah mustahil dan tidak logis.

Sehingga, pilihan yang paling rasional dan tepat atas pertanyaan ""Bagaimana proses awal terjadinya alam ini?", adalah jawaban yang kedua yakni; ""alam ini muncul akibat efek penciptaaan oleh Penyebab Awal (Kausa Prima)". Kausa Prima inilah yang membuat hukum-hukum yang berlaku di alam semesta ini dan secara rasional pula ia memiliki kelebihan yang Super atau Maha dan berbeda dengan hasil kreasinya. Dia kemudian dikenal dengan Allah subhanahu wa ta'ala.

Seperti yang telah didedahkan sebelumnya, melalui penelusuran yang berbasis rasionalitas telah dapat meneguhkan keniscayaan keberadaan Tuhan sebagai sang pencipta alam ini. Namun selain potensi nalar, manusia juga memiliki emosi, egois dan cenderung punya sifat ceroboh dan tergesa-gesa yang dapat menjauhkan manusia berfikir konsisten sehingga terjerumus untuk menerjang prinsip-prinsip rasionalitas dan proporsionalitas. Konsistensi dalam berpikir inilah sebetulnya yang akan menjaga stabilitas dalam bertindak, merupakan modal dasar bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran secara utuh serta mendambakan kemanfaatan yang lestari. Pada bahasan kali ini, penerjangan atas Prinsip Kausalita lebih lanjut melahirkan pemikiran inkonsistensi / parakonsisten yang berbentuk Atheisme yang kemudian dibungkus seolah-olah ilmiah dengan terma wacana liberalisme pemikiran

Penolakan atas keberadaan Allah sebagai Tuhan pencipta alam ini sebetulnya bermula dari ketidak-cermatan dan kesalahan menganalisa dua argumen. Pertama, argumen “Segala sesuatu butuh penyebab (kausa). Alam adalah sesuatu, jadi alam butuh Kausa. Kausa alam itu kita sebut Tuhan”. Akibat penerimaan argumen ini, para penolak Tuhan ini kemudian berkesimpulan bahwa “keberadaan alam semesta ini berawal dari proses sebab-akibat yang tak berujung, azali, infinite”. Hal ini disebabkan menurut argumen pertama ini, Tuhan adalah sesuatu dan tentu sesuatu itu butuh kausa juga, sehingga konsekwensinya muncul pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?”. Kedua, argumen “Hukum keseimbangan Alam dalam hal ini Tuhan sebagai Kausa Prima yang Maha Pencipta dan Tuhan sebagai pengatur alam semesta”. Para penolak Tuhan dengan menggunakan basis pemikiran parakonsisten berusaha mengaburkan argumen tersebut dengan mengajukan pertanyaan “Jika Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pencipta maka bisakah Tuhan menciptakan Tuhan lain yang lebih Maha Kuasa?” atau “Dengan kemampuan Tuhan yang Maha Kuasa ini apakah Tuhan mampu menciptakan suatu benda yang Maha Berat sehingga Tuhan sendiri tidak mampu mengangkatnya?”. Melalui metode komparatif yang berbasis rasionalitas dan proporsionalitas, dua argumen penolakan atas keberadaan Tuhan itu dapat diuji kevalidannya dan memang secara logika, kedua argumen tersebut ternyata terbukti tidak rasional dan tidak valid.

Pertama, argumen “Segala sesuatu butuh kausa, Alam adalah sesuatu. Jadi alam butuh kausa. Kausa alam itu disebut Tuhan”. Format argumen tersebut jelas format yang keliru dan tidak mendetail. Sebab jelas argumen “segala sesuatu butuh kausa” itu tidak berlaku pada “Sesuatu yang tidak pernah tidak ada”. Sementara, Tuhan adalah Prima Kausa Yang tak berawal dan tak berakhir (tidak pernah tidak ada). Proses Mencipta adalah mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” berarti “Siapa yang menciptakan entitas yang tidak pernah tidak ada?” hal ini berarti juga “Siapa yang mengadakan sesuatu yang tidak pernah tidak ada?”. Pertanyaan ini sama saja dengan bertanya “Selama hidup, si Fulan tidak pernah jatuh ke sumur. Siapa yang membuat si Fulan jatuh ke sumur?”. Tentu pertanyaan seperti ini jelas salah dan absurd sebab sudah jelas si Fulan selama hidupnya tidak pernah jatuh ke sumur, lalu kenapa ditanyakan siapa yang membuat si Fulan jatuh ke sumur. Paparan ini membuktikan bahwa format argumen “Segala sesuatu butuh kausa” adalah keliru.

Sehingga argumen yang tepat adalah “Segala sesuatu yang berawal (ada setelah sebelumnya tiada) pasti butuh kausa / penyebab sehingga ia bisa ada. Manusia, hewan, tumbuhan, bebatuan, dan semua entitas di alam semesta rasa adalah sesuatu yang berawal. Jadi, semua entitas di alam semesta raya ini butuh kausa”. Kemudian; “Sang kausa itu bisa merupakan entitas berawal, dan bisa juga entitas yang tak berawal (tidak pernah tidak ada / azali). Jika ia berawal, maka pertanyaan semula tadi kembali pada argumen awal yakni segala sesuatu yang berawal pasti butuh kausa dan demikian seterusnya sampai rangkaian ini berakhir pada penyebab utama segala sebab (prima kausa) atau terus menerus tak berhingga tanpa akhir. Rangkaian sebab-akibat tak berhingga tanpa akhir jelas suatu rangkaian yang Mustahil menghasilkan keberadaan (seperti yang telah dibuktikan diawal tulisan ini). Jadi pasti alam semesta ini berujung pada Penyebab utama dari segala sebab (Prima Kausa) yang kemudian disebut sebagai Tuhan”.

Kedua, argumen “Jika Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pencipta maka bisakah Tuhan menciptakan Tuhan lain yang lebih Maha Kuasa?”. Para penolak Tuhan terjebak “false dilemma” dengan membatasi opsi jawaban untuk argumen diatas hanya pada dua pilihan: 1.) Jika Tuhan tidak mampu atau tidak bisa melakukan hal diatas maka dengan demikian membatalkan argumen “Prima Kausa sebagai penyebab awal alam semesta”. 2.) Jika Tuhan mampu melakukan maka hal itu juga akan membatalkan argumen “Hukum keteraturan alam: Segala sesuatu yang teratur itu punya pengatur” dengan kata lain Tuhan ternyata bukan pengatur alam semesta. Sesungguhnya jika para penolak Tuhan itu cermat, sebetulnya permasalah utama yang menjadi persoalan hal ini adalah kerancuan dari pertanyaan “Mampukah Tuhan menciptakan Tuhan lain yang Lebih Maha Kuasa?”. Hal ini disebabkan pertanyaan argumen tersebut telah melanggar Prinsip Non Kontradiksi dalam bentang kaidah Rasionalitas.

Tuhan adalah entitas yang Maha Mandiri dan Yang Maha Kuasa kenapa ditanyakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang lain yang lebih Maha. Kalaulah demikian, maka yang terjadi adalah pertanyaan berulang tiada berujung. Hal ini sama saja bertanya “Apakah ada Segitiga yang tiap sudutnya jika dijumlah lebih dari 180 drajat?”. Secara umum definisi Segitiga adalah bangunan tiga sudut yang jika tiap sudutnya dijumlah adalah 180 drajat, lalu kenapa masih ditanyakan adakah segitiga yang lebih dari 180 drajat, bukankah ini pertanyaan sesat dan tidak logis?. Inilah penipuan logika yang digunakan oleh para penolak Tuhan yang sangat tidak rasional. Dalam bahasa matematis, kita dapat buktikan penipuan logika tersebut dilakukan : P = “Pernyataan Q Salah”. Q= “Pernyataan P Benar”. Kita substitusikan P kedalam Q sehingga Q = “Pernyataan bahwa Q salah itu benar” dan sebaliknya. Deskripsi klaimnya menjadi “Q → P → ~Q → ~P → Q → P → ~Q → dan seterusnya”. Artinya “ Jika Q benar, maka Q salah. Dan Jika Q salah, maka Q benar dan seterusnya”. Ini jelas sebuah PENIPUAN sebab proposisi Q itu sendiri secara inheren sudah mengandung kontradiksi, sesuatu yang kontradiksi tentu sangat tidak Rasional untuk dicarikan konsekwensi Logisnya. Konsekwensi yang ada dari sebuah argumen yang sejak awal sudah kontradiksi adalah rangkaian kontradiksi-kontradiksi yang tidak berujung alias Mustahil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun