Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Spanyolisasi Era Edy Rahmayadi

14 Januari 2017   11:01 Diperbarui: 22 Januari 2017   18:38 2011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: realzaragozafans.com

Setelah Madrid dan Barcelona secara konsisten menguasai sepakbola Eropa dan dunia dalam  beberapa dekade terakhir, Tim nasional Spanyol pun kebagian getahnya. Memang, ‘tiki taka’ milik Barcelona-lah yang akhirnya diklaim oleh federasi sepakbola Spanyol sebagai identitas mereka. Namun, kehebatan Madrid mengenai hal mempertahankan prestasi dengan caranya sendiri (baca: membeli pemain bintang kelas satu) tak bisa dipinggirkan kontribusinya demi menjadikan kompetisi La Liga terbaik di dunia.

Belum lagi Atletico Madrid yang sejak ditangani Diego Simeone berubah wujud menjadi tim yang kuat dan berhasil mengganggu harmonisnya persaingan El Classico (Barca vs Madrid) di kancah domestik Negeri Matador. Dengan Madrid, Barca, dan Atletico plus Sevilla si raja Europa League (kompetisi antar klub kasta kedua di benua biru) federasi Spanyol boleh berbangga ditasbihkan sebagai yang terbaik saat ini.

Keberadaan pemain-pemain macam Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Antonie Griezman, Gareth Bale, Luiz Suarez, dan Neymar Junior juga tak kalah pentingnya. Karena sejatinya mereka-lah yang menghadirkan persaingan dan nilai bisnis yang tiada tara. Program jangka panjang juga amat diperhatikan di Spanyol, kehadiran akademi La Masia, Cantera Madrid dan akademi-akademi lainnya merupakan tempat produksi pesepakbola berkualitas di dunia saat ini.

Tak sedikit pula Negara-negara serumpun dengan Spanyol di Eropa yang memiliki kompetisi berkualitas, tertarik mengandalkan tiki-taka. Misalnya, Pep Guardiola yang dua musim ini, setelah sukses di klub Katalunya, Ia kebanjiran tawaran, Bayern Munchen dan Manchester City mau membayar berapa pun demi menyaksikan permainan timnya di Spanyolisasi. Padahal, Bayern dan Manchester City punya karakternya atau caranya sendiri untuk merengkuh gelar dan tak perlu-perlu amat mengubah kiblat permainan.

Maka tak heran jika ketua umum PSSI terpilih (Edy Rahmayadi) mengubah kiblat sepakbola nasional ke Spanyol, hal tersebut dipastikan setelah kongres PSSI perdana di Hotel Arya Duta, Bandung. dari keputusan-keputusan yang dibuat, nyaris semua hasil kongres yang lahir mengundang kontroversi. Memang pengambilan keputusan setiap pemimpin selalu diiringi dengan pro kontra, namun dikemudian hari kita akan paham betul apakah keputusan tersebut tepat atau sebaliknya.

Yang cukup disayangkan, dari keputusan yang sudah dibacakan dan disetujui peserta kongres tidak ada pembahasan mengenai sepakbola akar rumput alias pembinaan usia dini. Padahal, sektor ini sangat krusial dalam permainan beregu bernama sepakbola. Ada kesan seolah PSSI era hari ini ingin meraih prestasi secara instan.

Jika diistilahkan, kepengurusan PSSI saat ini tidak ingin berinvestasi (menanam) dengan menekankan pembentukan karakter pesepakbola cilik, dan seolah hanya mau membeli prestasi (mencari pelatih berkualitas yang harganya selangit). Padahal, ilmu sepakbola paling dasar (teknik dasar) diberikan sejak usia dini bukan ketika pemain sudah memasuki kategori senior. Di Indonesia nyaris tidak ada identitas dalam bermain bola karena tidak adanya arahan dari pusat mengenai filosofi yang bisa menyeragamkan permainan khas Indonesia.

Bhineka Tunggal Ika tidak bisa digunakan dalam hal program sepakbola, toh kita tidak bisa berbeda, harus sama untuk tetap satu tujuan. Artinya fondasi mereka itu apa, misalnya jika Indonesia lebih cocok bermain dari kaki ke kaki (bola bawah) ajarkan mereka sejak dini permainan atau filosofi tersebut. Seperti sebuah kurikulum di sekolah, harus ada keseragaman. Tapi sayang, mungkin untuk saat ini kita harus gigit jari menerima tidak adanya pembahasan mengenai sepakbola akar rumput.

Kita tinggalkan sejenak kekecewaan sepakbola akar rumput yang masih enggan disentuh. Ada keputusan yang mengundang pembahasan menarik lainnnya, salah satunya penunjukan pelatih Tim Nasional Indonesia. Dari semua kandidat kita bisa menyaksikan dengan seksama bahwa seluruhnya memiliki identitas permainan sepakbola khas Spanyol. Dari senior ada Luis Milla Aspas dan Luis Fernandez. Sedangkan di junior ada nama Indra Sjafri dan Fachri Husaini yang mengagungkan permainan ala Spanyol.

Luis Milla merupakan eks pelatih Timnas Spanyol U-19, U-20, U-21, dan U-23. Dia pernah menjuarai kompetisi Eropa U-21 pada tahun 2011 silam dan pada tahun sebelumnya nyaris membawa Spanyol U-19 menjadi juara namun sayang pada akhirnya Luis hanya mendapatkan medali perak. Pelatih berusia 50 tahun ini juga cukup punya nama besar di pesepakbolaan Spanyol.

Ketika masih aktif sebagai pemain, Ia menjadi simbol kejayaan klub besar Spanyol; Barca dan Madrid. Milla pernah membawa Barca juara La Liga 1984/85 dan pernah juga menghadirkan dua trofi untuk Madrid 1994/95 dan 1996/97. Gelar piala raja pun Ia persembahkan untuk kedua klub tersebut sebagai pemain maupun pelatih. Milla terbilang lengkap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun